Semalam kami berkumpul, melingkari unggunan api dan grill sedang untuk memanggang ayam. Tidak hanya ayam, unggunan api juga untuk membakar apapun, termasuk jagung dan ... apapun. Perayaan kecil itu untuk menyambut pergantian tahun. Aku membeo saja, tanpa tahu perayaan pergantian tahun itu untuk apa. Ada yang bilang, "sekejap saja, untuk melupakan derita tahun ini." Itu dia sampaikan sebelum dentum jam 00.00. Begitu yang dia sampaikan, tapi yang kutangkap malah menyambut derita yang kelak juga musti dilupakan, sekejap saja.
Motif yang sangat picisan di balik gemerlap unggunan api dan teriakan mercon.
Kita lupakan saja, motif untuk sebuah momen. Tokh, saat ini kita sudah merasai Senin pertama di tahun 2024. Meskipun, pagi ini, dan detik ini juga aku belum merasakan bedanya 2024 dengan tahun sebelumnya. Mungkin yang berbeda hanya kalender di tembok, dan segala kemungkinan lain yang belum kutemukan. Sembari berjalan keluar, mataku rasanya masih pedas, dan semakin pedas setelah kubasuh barusan. Pikirku, ini karena aku terbangun pagi sekali, sekalipum semalam hanya tidur 2 jam saja. Aku menuju selasar depan, menyulut Samsu Refill sambil menontoni tanaman dan lalu lalang kendaraan. Hari ini masih libur, seperti setahun ke belakang. Aku pengangguran.
Di balik sibuknya dunia ini, hidupku masih penuh dengan baca buku dan ngopi sana-sini. Begitu saja seterusnya, sampai akhirnya aku mendapat hinaan bertubi-tubi. Seperti semalam, saat perayaan kecil itu, misalnya.
Mulanya, temanku Dio meminta rokokku. Sembari mengambil sebatang, Dia bilang, "Inilah yang membuat Indonesia merugi."
"Maksudmu?" timpalku.
"Di pelabuhan Tanjung Priok, telah diteken perjanjian ini," kata Dio, sambil mengisyaratkan sebatang rokok yang barusan ia sulut. "Merugikan Indonesia."
"Renvile. Bukan refill," sahut yang lain.
Begitulah plesetan yang kerap menghangatkan momen di tengah kami.
"Yaiyalah rugi, wong pimpinan delegasinya Amir Sjarifuddin," tambah Dono.
"Betul."
"Kenapa?" tanya Dio.
"Dia penyerang sayap kiri."
"Ohh ... Vinicius," jawab Dio.
"Sayap kiri," tegas Dono, sambil melirik.
"Ohh ... Komunis?!"
Perbincangan kami tidak berkonsen pada rasionalitas, apalagi fakta empiris. Pertahanan terkuat di lingkaran kami hanya humor. Dan kebanyakan logika humor sengaja disetel cacat, agar hidup ini tidak bertahan dengan keseriusan dan keseriusan. Sementara perbincangan ini belum selesai sampai di sini.
"Mis, kau masih kiri?"
Feeling-ku hampir tidak pernah salah.
***
Kukira ini masih tahun baru, tapi lalu-lalang di jalan masih ramai seperti bukan hari libur. Sepertinya kendaraan-kendaraan itu berlibur dan memadati tempat wisata, juga jalanan depan rumah. Jika benar begitu, itu artinya mereka pergi ke tempat dimana kelas pekerja tidak libur.