Basa-Basi dan Pikir Sana-Sini
“Monggo, Cak.”
Dengan mata yang masih dihunjam rasa ngantuk, aku hanya bisa menanggapi basa-basi tujuh turunan itu dengan senyum dan menundukkan muka. Rasanya aku masih butuh waktu untuk tidur lagi. Tapi tidak mungkin di antara piring dan gelas kopi, apalagi di sini, di kedai Makni.
Ah, ngantuk sekali. Masih sangat berat rasanya untuk menanggapi sebuah basa-basi. Mau dia mengatakan bahwa tela ungu adalah jingga, pasti kuiyakan saja. Semau-maunya.
“Niki loh, Cak, rokok.” Kulihat-lihat memang itu bukan kompor, tapi aku tahu maksudnya menawari.
“Nggih, nggih,” jawabku.
***
Mimpiku tidak buruk, kukira. Di dalamnya aku bisa menemukan batu pualam di tempat sampah, kemudian pulang dan menjualnya, lantas menjadi kaya. Kemudian cerita itu tak jelas, karena latarnya berubah di tengah lautan, tapi di atas kapal pesiar. Ringkas saja. Aku tidak mungkin tahu setiap detil yang ada, sampai akhirnya barulah semua kusadari sebagai mimpi, tepatnya setelah di atas kapal itu terjadi gejolak hebat antar kelompok, dan aku pun terbangun karena ada pertengkaran kucing yang mengotori lenganku dengan cakarnya, juga kamar yang akhirnya harus dibersihkan dari tai dan kencing kucing.
Dengan berat kubuka mata, lantas kumaklumi sendiri tidur sekejapku ini. Selain masalah kucing tadi, sebenarnya aku juga lapar. Jujur, malas rasanya jika harus pergi sarapan sendiri. Sudah kutanyai satu-satu siapa saja yang kutemui, semuanya menjawab “kenyang” sambil memegang perut, dan dengan wajah yang mengisyaratkan “maaf, kalau kau yang traktir, aku mau”.
Akhirnya kubulatkan dan kuputuskan saja untuk pergi sendiri. Tidak mungkin juga aku menraktir mereka di akhir bulan seperti saat ini. Sambil masih kutahan rasa lapar dan nyawa separuhku, aku pergi mencuci muka dan tangan, melihat bebarapa tanaman dan burung di sangkar, dan sebentar juga melihat langit yang sudah cerah, yang sama saja seperti biasanya. Sudah siang, batinku. Semprul juga rasanya hidup gini-gini saja. Bangun-tidur-makan-ngopi-tidur-bangun-makan-mandi. Namun, setelah jauh kupikir lagi, malah kutemukan feed dalam ingatanku. Ia melintas saja dengan headline “Tidak Tidur Sebulan, bla bla bla, dan bla”.
Najis! Mengerikan rasanya jika menjalani hari-hari seperti itu. Aku tidak sampai membayangkan diriku sendiri pontang-panting menyusun rencana 24 jam penuh kali 30. Bisa saja aku membuat list “Kegiatan Hari-hariku” yang selalu ada kata “tidur” meskipun pada akhirnya aku akan lebih membenci diriku sendiri karena list harian itu. Lagipula, berita luar negeri itu selalu saja aneh-aneh, jika bukan memang yang sampai di pembaca Indonesialah yang aneh-aneh.
Perutku makin berkerincing. Kupakai jaket semi parka yang sudah menunggu di cantolan. Aku bergegas menuruni tangga, lantas kutemui lagi pelaku itu: dua kucing yang sebelumnya tengkar, kini sudah saling meraung lagi dan bertatap-tatapan di depanku persis. Tidak pernah jelas ada masalah apa di antara keduanya. Ah, untuk apa juga aku ikut campur masalah kucing di saat-saat perutku harus diisi.
Andai aku ditakdirkan jadi salah satu dari kedua kucing tadi, maka kuputuskan untuk cari makan saja. Siapa peduli kawan, siapa peduli lawan, lapar tetap saja yang dibutuhkan adalah makan. Bila perlu dan butuh, kawan atau lawan itulah yang kumakan.
Sembari terus menekuri kisah-kisah ganjil yang spontan saja di kepala, tidak terasa, aku sudah tiba di gang dekat kedai. Lantas aku menguap lagi. Padahal, bau kemangi itu sudah tercium. Bau kemangi itu tak cukup merepotkan rasa kantukku.
Entah kenapa, sesampainya di kedai, tiba-tiba saja aku makin meyakini bahwa tidurku harus remidi. Aku sudah membayangkan kelanjutan mimpiku. Jika boleh memutuskan kelanjutan mimpiku, maka aku akan kebingungan harus membeli apa dengan harta kekayaanku.
“Makan?” ucap Makni.
“Nasi setengah, sayur bayam, sama kerang,” jawabku, “Dan kopi pahit.” Semoga mataku melek.
Dengan lekas Makni menghidangkan nasi beserta lauk dan sayur pesananku. Tak lama kemudian sudah bisa kubawa masuk dan kumakan di dalam. Tampaknya aku akan duduk sendiri di dalam. Kedai ini sebenarnya adalah rumah, di terasnya diisi etalase dan aneka lauk. Sedangkan untuk makan, pembeli boleh memilih di dalam atau di teras dekat etalase. Di dalam, disediakan meja, tapi di luar tidak. Tak lama kemudian datang kopi pesananku.
“Terima kasih,” ucapku lirih.
Sesuap demi sesuap akhirnya habis juga. Perutku sudah kenyang. Kemudian, sambil menyenderkan kepala di meja, aku memegang kuping cingkir, lantas di pikiranku terbesit masa-masa kuliah yang datangnya masih dua bulan lagi. Sementara aku sudah sangat muak untuk kembali berambisi.
***
“Cak.”
Tanganku masih menggenggam kuping cingkir. Sambil membelolokkan mata, lantas terlintas di pikiranku, aku seperti mengenal wajah orang di depanku ini, tapi mataku terlalu berat untuk mengatakan iya.
“Monggo, Cak.”
Dengan mata yang masih dihunjam rasa ngantuk, aku hanya bisa menanggapi basa-basi tujuh turunan itu dengan senyum dan menundukkan muka sekilas. Rasanya aku masih butuh waktu untuk tidur lagi. Tapi tidak mungkin di antara piring dan gelas kopi, apalagi di sini.
Ah, ngantuk sekali. Masih sangat berat rasanya untuk menanggapi sebuah basa-basi. Mau dia mengatakan bahwa tela ungu adalah jingga, pasti kuiyakan saja. Semau-maunya.
“Niki loh, Cak, rokok.” Kulihat-lihat memang itu bukan kompor, tapi aku tahu maksudnya adalah menawari.
“Nggih, nggih,” jawabku; sambil kuambil sebatang. Saat kusulut rokok yang ia tawarkan, aku melihat lagi wajahnya. Setelah berbulan-bulan lamanya baru kusadari, tampaknya aku harus menyusun ulang rencana-rencanaku. Pasalnya, wajah seorang yang kulihat sekarang adalah orang yang kelak akan banyak mengambil alih hampir tiga perempat citra yang sudah kubangun.