Dia adalah pemikir dan pembaca giat. Dari siang tadi, dia sudah memulai rutinitas duduknya sendiri di kafe yang kondisinya di antara ramai dan sepi. Matanya sesekali mengawang saat memikirkan buku yang menjadi bahan bacaannya. Sekelilingnya berhias tanaman rambat dan bunga-bunga dengan pot kecil, tapi dia tidak cukup menghayati hiasan-hiasan itu. Angin yang menyapu asap rokoknya pun tak ia pedulikan.
Di bangku selain bangku yang ia duduki, makin sore makin berpenghuni. Namun, sejak siang tadi ia asik saja baca-baca dan bermenung sendiri. Teman-temannya ia tepikan dulu di tiap rutinitasnya seperti saat ini. Telepon seluler ia mode pesawat. Sesekali saja ia gunakan kuotanya untuk mencari kata yang cukup baru dan perlu dipahaminya.
Semakin malam, bangku-bangku di kafe itu semakin penuh. Sampai akhirnya tak kosong satu pun kursi, kecuali kursi di hadapan si pemikir yang hanya terpisah bangku di antaranya.
Hari semakin sore. Matahari condong di barat, dan horizon pun perlahan menutup matanya. Angin sudah membawakan hawa dingin ke lorong-lorong kota, termasuk ke kafe yang dihuni si pemikir sejak siang tadi. Si pemikir sembari membaca bukunya, perlahan mengenakan jaket parkanya. Jaket itu dia beli di toko trifting yang murah. Ia memilihnya karena merasa lebih butuh bacaan ketimbang sandangan.
Sambil mengenakan jaket, ia berdiri kemudian menuju kasir dan memesan lagi. Kali ini yang ia pesan adalah wedang ronde dan gorengan untuk mengganjal perut. Cukup lama ia berdiri di depan kasir. Bukan menunggu wedang dan gorengan pesanannya, tapi menunggu kembaliannya yang tidak begitu banyak, tapi cukup berharga baginya untuk tambahan di tanggal tua, yakni 1500 rupiah.
Setelah ia terima uang kembaliannya, ia menitipkan meja yang ia duduki tadi kepada pegawai kafe.
Ia meninggalkan tas dan bukunya di sana. Sambil menunjuk dan bergumam, Ia mengisyaratkan hendak pergi ke minimarket di seberang jalan, untuk beli rokok. Di minimarket inilah ia kembali menunggu kembaliannya. Karena memang ia menolak berdonasi, meski hanya 200 rupiah, maka ia harus rela berdiri di depan kasir itu. Sampai akhirnya 200 rupiah itu tidak ketemu, dan oleh kasir di sana diberi begitu saja dengan 500 rupiah. Ah, rejeki, katanya dalam hati.
Si pemikir sudah mendapatkan semua yang ia mau, sementara ini. Dengan begitu ia bisa kembali ke bangku dan kursinya, kemudian melanjutkan rutinitasnya kembali. Ia menyeberang dengan tenang, tapi pikirannya bekerja sedikit sebagai usaha mencerna cara kerja alam semesta. Sisanya untuk melambaikan tangan sebagai isyarat kepada pemotor agar memberinya kesempatan mengyeberang.
Sesampainya di kafe, ia mendapati dua orang yang asik berbincang di meja dengan wedang ronde dan gorengan yang terhidang. Mereka berdua duduk berjejer di kursi yang tak dihuni, tapi di depan kursi yang sebelumnya ia duduki, yang hanya dipisah meja di antaranya.
Mengetahui hal tersebut, ia lantas duduk begitu saja di kursinya semula.
"Maaf, Mas. Ikut nimbrung, di sana-sini penuh," kata salah satunya.
"Gapapa, Mas. Silakan saja," timpal si pemikir.
"Masnya sendiri?"
"Iya. Sudah biasa begini,"
"Ouh, Iya, Mas. Maaf, ya. Jadi ganggu," kata salah seorang, yang satunya lagi.
"Iya, Mas. Gapapa."
Setelah cukup lama berbasa-basi, dan mengetahui latar belakang masing-masing, si pemikir menguap. Si pemikir yang sebenarnya mahasiswa ekonomi pun bertanya kepada salah satunya, yang sebenarnya adalah santri yang mondok sambil kuliah.
"Kenapa, ya kita bisa menguap?" celetuk si pemikir.
"Ada dua kemungkinan, Mas," kata si santri. Mendengar jawaban kawannya, salah seorang lainnya yang merupakan mahasiswa sastra pun ikut penasaran.
"Kemungkinan pertama, karena lelah," ujar si santri melanjutkan jawabannya. "Yang kedua, karena lapar."
"Ouh...," ujar si pemikir sambil mengambil gorengannya.
Si pemikir pun memahami alasan dirinya sendiri menguap adalah karena lelah. Tak heran, memang dia sudah mangkir di kafe sejak siang tadi. Sendiri.
"Berarti saya lelah, Mas."
"Nah, iyuaah." Si santri juga ikut menguap. Kawannya, si mahasiswa sastra pun ikut menguap, sambil bilang, "uaaahhku tidak lelah."
"Uaaahh... aku juga tidak lelah," si santri menambahkan.
"Hehe, iya, Mas."