Di Ujung Ajal Bromocorah
Tidak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Tidak ada yang tahu kapan terakhir napas berhembus. Tidak yang yang tahu nasib di ujung hayat. Tidak ada yang tahu siapa yang akan melayat. Tidak ada yang tahu di tempat mana malaikat maut mencabut. Tidak ada yang tahu. Camkan saja, bahwa benar tidak ada yang tahu. Kecuali Allah.
Namun, siapa sangka, jika penduduk di desa Wohjati sudah mulai memperdebatkan ajal yang akan menjemput seorang bromocorah di desa itu.
“Aku tidak percaya kalau itu benar sakaratul maut,” Jung menyangkal.
“Kau tidak lihat? Si Sabin itu sudah tiga malam tiga hari ini bersusah payah agar dia bisa lekas mati.”
“Kau seperti tidak tahu saja lakon si Sabin. Sudah berapa kali dia menipu kita? Bisa saja, karena dia menyesal setelah perlakuan buruknya kepada orang-orang, dia merekayasa sakaratul mautnya sendiri. Dia itu gengsi untuk minta maaf. Dan, undangan Yasinan ke rumahnya yang sejak kemarin itu, tak lain tak bukan agar kita memaafkan kesalahan-kesalahannya.”
“Tapi, Jung, aku lihat sendiri bagaimana dia sangat bersusah payah. Suaranya serak sekali seperti kerongkongan sapi yang disembelih. Khokk … khokk begitu seterusnya. Aku tak tega.”
“Sol, semua orang bisa meniru suara itu. Suara-suara seperti itu hanya dikeluarkannya saat ada tamu yang menjenguknya. Saat tamu-tamunya undur diri, dia pasti ketawa-ketiwi.”
“Terserah kau saja,” Sol pasrah.
“Tapi, kalau itu benar sakaratul maut, kasihan juga, ya … hihihi.”
“Kan … sepertinya semua orang harus memberinya maaf terlebih dulu, Jung. Agar dipermudah sakaratul mautnya.”
“Kalau musti begitu, jangan diberi maaf saja sekalian. Biarkan saja dia khok … khokk … khook sampai anak kita tua, hihihi.”
“Sudah punya anak masih saja ngawur!”
“Lah,” wajah Jung mulai merah. “Kau pikir Sabin ga ngawur? Nyolong bawang daganganku itu namanya ga ngawur. Malak-malak seenaknya sendiri itu ga ngawur? Mau kau namai apa perbuatan-perbuatan seperti itu? Khilaf, terhasud setan, atau memang perbuatan yang seharusnya itu seperti yang sering Sabin lakukan?” Jung kebakaran jenggot. “Mau kau namai apa, heh?” mata Jung semakin bulat. “Jawab, Sol!”
Jika sudah begini, Sol hanya bisa diam dan melihat saja. Sol tak mampu berkata dan berbuat apapun, selain mengangguk dan berkata “Iya” dengan nada paling rendah.
***
Entah seberapa berat dosanya, sampai sebegitu parah Sabin merasakan sakaratul maut. Sabin, sang bromocorah itu sudah merasakan betapa sakitnya sakaratul maut sampai tiga malam tiga hari. Dan itu belum rampung hingga kini.
Pada malam pertama sampai hari selesai dan berganti malam, Sabin ditunjukkan amal buruknya sendiri di ujung matanya—mata yang tampak hanya putih saja—semasa hidup ketika masih sehat dan segar bugar. Dengus napasnya berat. Kepalanya—di atas bantal—mendongak-turun, begitu terus menerus.
Di malam kedua sampai hari kedua selesai, di pergantian menuju malam ketiga, Sabin diperlihatkan lagi amal buruknya yang lain lagi, dengan kondisi yang lebih parah ketimbang malam pertama. Di waktu ini, dengan mata yang hanya putih, dadanya naik-turun dengan cepat, menghantam dipan berulang-ulang. Keluarganya ikut kesakitan. Para pelayat—termasuk si Sol—sampai menutup mulut saat menyaksikannya. Dan di antara para pelayat itu, terdengar pilu ucapan, “Ya Allah ….” yang terus berulang.
Setiap habis isya—sejak malam kedua sakaratul maut Sabin—di setiap malam terus diadakan pembacaan Yasin. Dari hari ke hari pelayat makin banyak. Ada yang sudah mengikuti sejak hari pertama, ada juga yang baru datang di hari-hari selanjutnya. Dan, dari banyaknya pelayat, kesemuanya adalah saksi daripada Sabin semasa hidup. Keluarganya bilang, bahwa Sabin tidak minum tidak makan sejak malam pertama hari pertama sakaratul maut. Orang-orang sangat kasihan mendengarnya.
“Ini tidak lumrah. Seharusnya dia sudah mati.”
“Iya.”
“Betul.”
“Kasihan.”
“Sangat tidak wajar.”
“Tidak, sudah sepantasnya begitu,” kata seorang yang masih menyimpan dendam kepada Sabin.
“Ya Allah … kasihan ….”
Pada malam ketiga sampai hari ketiga rampung, di ujung waktu undurnya matahari dan waktu masuknya bulan, Sabin diperlihatkan lagi amal buruknya kepada sesama semasa hidup. Meskipun Sabin adalah bromocorah yang banyak membuat resah masyarakat, tapi kalau urusan ibadah kepada Allah itu jelas bukan urusan manusia, maka urusan ini tidak perlu diceritakan. Sehingga yang sangat bisa menjadi pertimbangan adalah dia merupakan orang yang suka mencuri, kemudian merampok, kemudian merampas, kemudian menipu, kemudian memakan hak anak yatim, kemudian mengganggu pengajian, kemudian berteriak dengan kata kotor seenak lidah, kemudian meludah di sembarang tempat sampai membuat resah pejalan kaki, kemudian dan kemudian, seterusnya dan seterusnya.
Amat disayangkan. Kondisinya di malam ketiga hari ketiga ini tidak membaik. Meskipun, dadanya tidak lagi naik-turun menghantam dipan, kerongkongannya yang kerontang itu mengeluarkan suara seperti suara kerongkongan sapi yang disembelih.
Di setiap selesai pembacaan Yasin, wakil dari keluarga, yakni Pak Modin mengatakan kepada hadirin untuk memaafkan perbuatan Pak Sabin semasa hidup. Karena, bisa jadi perbuatan-perbuatan buruknya kepada sesamalah yang mempersulit sakaratul mautnya. Sehingga, harapannya, Pak Sabin bisa sesegera mungkin meninggal dunia dengan tenang.
“Tunggu dulu, Pak Modin. Siapa yang akan mengganti beras sekarung saya yang dicuri Sabin? Memang itu sudah dulu dan berlalu, tapi karena beras itu dicuri, saya sekeluarga makan singkong satu bulan penuh, Pak. Belum lagi saat saya datangi si Sabin untuk meminta ganti, dia bilang, ‘Allah yang ganti’ sambil bawa celurit. Saya masih belum terima, Pak. Dan mengganti saja tidak cukup, Pak. Saya ingin sabin lebih mendrita lagi.”
“Iya, Pak. Dia juga menjala ikan di tambak saya, Pak. Kemudian saya dipaksa membelinya agar ikan saya kembali. Saya diperas, Pak!”
“Iya, Pak. Biarkan saja dia menderita, Pak.”
Masih banyak yang belum bisa menerima kepergian Sabin. Dari keseluruhan hadirin, kebanyakan mereka dari mereka yang datang adalah untuk meminta ganti rugi.
***
Hari berganti hari, malam berganti malam; matahari berganti bulan sudah berulang-ulang, yasinan sudah berturut-turut dilakukan, tapi uang ahli waris belum habis buat jamuan. Meskipun mulai bosan; semua kesalahan Sabin hadirin sudah memaafkan. Dan, semua yang meminta ganti rugi, ahli waris sudah memenuhi. Namun, Pak Modin tak habisnya heran, “Kenapa kondisi Pak Sabin masih saja sama?”
Di desa Wohjati ini, Yasinan di rumah Sabin seperti sudah menjadi sebuah rutinitas baru. Hampir satu minggu terlewat, dan setiap habis isya Yasinan terus dilakukan. Namun, seperti sia-sia saja, kondisi Sabin tak ada bedanya dengan kondisi di malam ketiga. Suara khok … khokk … khokkk … masih keluar dari kerongkongannya yang kerontang. Di mata Sabin tak ada hitam di atas putih. Belum lagi tenaga Sabin yang semakin habis terkikis, tapi tak kunjung mati juga.
***
Pagi hari di hari kedelapan sakaratul maut—setelah Yasinan ketujuh semalam—di kamar Sabin yang luas tapi pengap, Pak Modin dan Sol melihat bagaimana penderitaan Sabin. Mereka berdua melihat ruas jari Sabin yang semakin kurus, perut yang perlahan menyusut, lafal khokk yang terus-menerus, serta mata Sabin yang hanya putih tak bisa merem. Pak Modin bingung, apa lagi yang harus dilakukan. Yang ada di pikiran Pak Modin adalah dia sudah berusaha agar penderitaan Sabin selesai, serta bisa hidup tenang tanpa direpotkan Sabin. Ini musti segera dirampungkan, pikirnya
“Khong … khoung … khung ….”
“Erangannya berubah, Pak Modin,” Sol menemukan sedikit kejanggalan, meski sangat samar. Sol pikir, ada yang hendak disampaikan Sabin.
Pak Modin lebih saksama lagi mendengar erangan Sabin.
“Khung … khung …,” suara Sabin melemah.
“Apa, ya, Pak Sol?”
“Coba Pak Modin dengarkan lagi baik-baik.”
“Loh, iya. Maksud saya, apa yang dimaksud Pak Sabin ini?”
“Khung, khung, khung,” Sol menirukan erangan Sabin dengan bibir mecucu dan alis naik turun yang meyakinkan.
“Maksudnya?”
“Apa, ya?” Sol belum sepenuhnya tahu, dia hanya mencoba memperjelas erangan Sabin.
“Khung, khung,” Pak Modin menerka-nerka lagi sambil menirukan.
“Khung, khung … apa, ya?”
Sementara Sabin masih saja terkapar dan mengerang. Kondisinya masih saja sama. Keluarganya di luar kamar, masih menangis dan saling menenangkan. Sedangkan, Pak Modin dan Sol masih mencari maksud erangan Khung yang keluar dari kerongkongan Sabin.
“Apa, ya, Pak Modin?”
“Aduh … apa, ya?”
“Khung,” Sabin terus mengerang.
Pikiran Sol menebak-nebak. “ Eeee … Sikhung.”
“Hah, Sikhung?” Pak Modin bingung dengan jawaban Sol.
“Sigung, Pak Modin. Nama hewan.”
“Oh … Sigung ….”
“Khung … khung ….” Sabin masih dengan erangan yang sama.
“Sigung, Sigung, Sigung, Sigung,” Pak Modin sembari mengetuk-ngetuk dahinya mencari maksud dari kata sigung—hal apa yang berkaitan antara hewan Sigung dan khung erangan Sabin. “Ada apa dengan Sigung, Pak Sol?”
“Saya juga kurang tahu, Pak Modin,” nada bicara Sol merendah.
“Apa, ya?” Pak Modin masih mengetuk dahi.
“Sigung, Sigung, Si … Jung, Sigung, Si Jung,” Sol menyetop bicaranya. Dia telah menemukan apa yang dimaksud dengan erangan Sabin. “Si Jung, Pak Modin.”
“Sijung? Apa lagi Sijung ini?” Pak Modin semakin bingung.
“Iya. Si Jung. Si … Jung. Jung teman saya, Pak. Penjual bawang. Petani bawang.”
“Oh, Pak Jung ….” Pak Modin barusan ngeh.
“Nah … iya, itu.”
“Ada apa dengan Pak Jung, Pak Sol?”
“Apa, ya …,” Sol mencari kaitannya antara Jung dan Sabin. “Nah,” Sol sudah menemukan jawabannya. “Saya baru ingat, kalau Jung masih punya dendam sama Sabin, Pak. Dan, sepertinya dia tidak pernah datang saat Yasinan, Pak. Bagaimana kalau kita datangkan si Jung saja, Pak,” Sol memberi usul.
“Oh, gitu, ya,” Pak Modin mulai menemukan sedikit harapan.
***
Malam sudah di tengah waktunya. Sabin telah disemayamkan lima hari yang lalu. Sabin menerima ajalnya setelah delapan malam tujuh hari menderita karena sakaratul maut—tepat setelah Jung memaafkannya. Kemudian Sabin disemayamkan menjelang dzuhur. Ahli waris Sabin akhirnya bisa tenang kembali, tidak perlu mengkhawatikan Sabin lagi. Istri Sabin hampir saja kehabisan air mata, sesak dadanya sudah bertalu-talu, pusing kepala hampir mengambang; saking sakitnya. Belum lagi anak-anak dan saudara-saudaranya Sabin. Padahal, seharusnya Sabin bisa segera wafat, jika Jung segera memaafkannya. Namun, ya begitulah adanya.
Sementara itu, awan dan langit yang hitam, serta angin dan bulan di ujung jendela seakan-akan hendak meremukan Jung secara bebarengan. Jung meringkik di atas dipan ditenangkan istrinya. Jung bergidik mengingat kembali sakaratul maut itu. Jung ketakutan, jika dia juga akan menerima penderitaan seperti Sabin saat sakaratul maut. Karena dia pikir, setelah delapan malam tujuh hari dia mengulur waktu untuk memaafkan Sabin, dia merasa dialah yang memang pantas disalahkan, karena memang dia yang mengulur penderitaan Sabin. Sampai akhirnya dia mau memaafkan kesalahan Sabin. Dan sayangnya, dia belum sempat meminta maaf kepada Sabin sampai akhirnya Sabin, si bromocorah itu meninggal dunia.