Semua orang di sini adalah relawan. Tak seorang pun bisa merelakan sehelai rambutnya untuk dinikmati sendiri. Keadaan mengharuskan semuanya musti berbagi, dan semuanya harus dibagi. Sekalipun belum saling kenal satu sama lain, apapun musti dinikmati bersama, termasuk air mata.
Tak jarang saat aku berjaga pada malam yang penat, sebagian dari bapak-bapak di sini masih harus melepas senyum kepada kawan-kawannya. Kemudian saat aku akan kembali ke dapur, disorot binar remang lampu kamp, bayangan mereka tampak tertunduk dan wajah serta kepalanya memaksa lutut untuk melap air matanya. Perbincangan di antara mereka sayup-sayup terdengar penuh kesan di telingaku.
Bapak-bapak itu sekilas terlihat mengatur kembali napas mereka.
○○○
Aku sangat jengkel suasana seperti ini. Hampir semuanya harus dinikmati bersama. Sulit rasanya menelan nasib begitu saja.
Andai ayah tak merelakan nyawanya padaku, sudah pasti ayah yang menemaniku. Aku tidak tahu mengapa ayah tega melepas nyawanga begitu saja. Bahkan, aku tidak sadar kapan ayah melepas nyawanya begitu saja. Yang kuingat hanya aku yang tidur siang. Bangun-bangun aku sudah tak kenal tempat asing itu. Itu pun karena dibangunkan ibu, saat ayah mau dimakamkan.
Aku tak paham, kenapa ibu bilang "Ayahmu ingin agar kau bisa terus bermain dan belajar. Kau musti berterima kasih. Jangan sedih."
Kenapa perkataan ibu seperti menerima begitu saja, bahwa nyawa ayah memang seharusnya diberikan kepadaku. Padahal aku sudah punya nyawaku sendiri. Malah jika tanpa ayah aku tak tahu bagaimana aku bisa terus bermain dan belajar. Adikku juga masih terlalu kecil untuk diajak bicara. Yang dia tahu hanya kata 'mama' untuk memanggil ibu. Padahal tidak ada yang memanggil ibu dengan sebutan 'mama'.
Mainan dan buku dan apapun yang kumiliki juga tertinggal bersama reruntuhan rumah. Aku tak mungkin mengambilnya. Memaksapun sama saja dengan memberikan nyawaku kepada entah siapa.
Di kamp ini aku tak mengenal siapapun, kecuali si bocah nakal Ghozal. Aku tidak mau bermain dengannya. Ghozal adalah teman sekelasku dulu di sekolah. Dia super jahil. Makanya aku tidak mau main dengannya.
○○○
Berat sekali rasanya hidup dalam kungkungan nasib seperti ini. Aku tak mampu membayangkan untuk berada di posisi mereka.
Relawan di sini--termasuk aku--sering bercerita tentang keluarga dan masa lalu di Indonesia. Bersamaan dengan bertugas, sesekali kami menyempatkan berbincang via telepon dengan keluarga di sana.
Seperti halnya mereka, saat aku berbincang di telepon dengan keluarga pun selalu saja aku dipaksa mengatur napas. Aku selalu meyakinkan bahwa aku masih baik-baik saja. Seringkali saat telepon, aku mengalihkan pembicaraan dengan mencari adikku yang masih kecil untuk kuajak bicara. Aku tidak mau keluargaku khawatir. Itu semua sebelum Israel memutus jaringan seluler dan internet.
○○○
Sayup-sayup dari tadi aku mendengar suara anak yang terus-terusan merayu entah siapa untuk berhenti menangis. Di sini, aku merasa tugasku tidak hanya menyediakan makanan, tapi juga diharuskan menghibur sebagian dari mereka.
Setelah kulihat, tampak di kamp pengungsian ada dua anak yang salah satu dari mereka masih sangat kecil. Si kecil itu baru menginjak usia 3 tahun kukira. Si kakak tampak menenangkan adiknya yang masih menangis. Aku tak tega. Kudekati mereka berdua.
Jarakku sudah sangat dekat. Aku sudah di depan mereka. Tampak jelas sudah kuyup dan bengap wajah adiknya. Ia terus menguras air matanya. Tak peduli bengap wajahnya atau basah pakaiannya.
"Tadi baik-baik saja. Kita bermain lempar batu. Tapi, tiba-tiba dia diam, kemudian menangis seperti yang kau lihat." tegas si kakak menggunakan bahasa Arab Levant.
"Kau lapar?" Kuambil semangkok bubur di belakangnya, mencoba kusuapkan.
"Ah, aku capek. Diamlah! Jangan menangis," geram kakaknya. "Dia tak mau makan. Sudah coba kusuapkan tadi. Ah, terserah sajalah."
"Matamu bengap sekali." kataku. Dia meronta tak mau kugendong.
Dia masih terus bergumam dalam tangisnya, "Mama, mama, mama ...."
"Sudahlah! ibu sudah memberimu nyawa." Tegas kembali kakaknya.
"Maksudmu?"
"Entah. Aku tidak tahu."
○○○
Aku tak paham, kenapa ibu bilang, "Ayahmu ingin agar kau bisa terus bermain dan belajar. Kau musti berterima kasih. Jangan sedih."
Kenapa perkataan ibu seperti menerima begitu saja, bahwa nyawa ayah memang seharusnya diberikan kepadaku. Padahal aku sudah punya nyawaku sendiri. Malah jika tanpa ayah aku tak tahu