Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Qomariyah, terletak setelah bulan Muharram dan sebelum Robiu’l Awal. Secara bahasa, kata Safar/Shofar artinya kuning atau kosong. Warna kuning dalam bahasa Arab maknannya pucat, kalau pucat itu kosong. Mengapa dinamakan ‘Safar’ (Kosong)? Ibnu Manzur mengatakan dalam kitabnya Lisanul Arab ; “Karena kosongnya Makkah dari penduduknya apabila mereka bepergian”. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan At-Taubah ayat 36 yang membicarakan tentang jumlah bulan dalam satu tahun dan diantaranya ada empat bulan yang mulia, beliau menjelaskan bahwa penamaan Safar terkait dengan aktivitas masyarakat Arab terdahulu. Kala itu masayarkat Arab berbondong-bondong keluar mengosongkan daerahnya, baik untuk keperluan perang ataupun menjadi musafir.
Mengenai bulan Safar, dahulu ada anggapan sebagian masyarakat Arab kuno yang mengkonotasikan Safar dengan bulan sial. Dalam kitab Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah Was-Shuhur karya Syeikh Abdul Hamid Quds diterangkan bahwa menurut sebagian bangsa Arab kuno, Safar bagaikan seekor ular di dalam perut yang menggigit manusia apabila ia lapar. Selain itu, mereka juga menganggap sial bulan Safar karena menyangka bahwa di dalam bulan itu terdapat banyak bencana dan cobaan. Anggapan ini seolah-olah menyalahkan bulan Safar itu sendiri secara sepihak. Padahal, Rasulullah telah memberikan sanggahan atas anggapan ini dalam hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Laa adwa wa laa thiyarota wa laa haamata wa laa shofaro wa firro minal majdhumi kama tafirru minal asadi”. Artinya: “Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauhi dari singa.”
Perkataan Nabi“wa laa safara”, masih dijelaskan dalam kitab yang sama-Kanzun Najah Was-Surur, maksudnya adalah Nabi menyanggah perbuatan bangsa Arab dahulu yang mengundurkan bulan Muharram hingga Safar dan menjadikan Safar sebagai bulan Haram serta mengaggapnya bulan sial (Tasa’um). Meski dalam sejarahnya, di bulan Safar pernah terjadi peristiwa yang bernuansa duka, namun tidak sedikit pula peristiwa-peristiwa penting yang bernuansa baik terjadi di bulan Safar. Artinya, alih-alih menolak keberadaan peristiwa baik atau buruk yang terjadi di bulan Safar, penolakan pada anggapan sebagian masyarakat Arab kuno tersebut sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Bahwa semua yang terjadi di alam raya ini, Allah-lah yang Maha Menentukan, yang memberi pengaruh, bukan yang lain. Sebab, selain Allah adalah makhluq, dan sifat makhluq adalah “laa naf’a wa la dharra” (tidak bisa memberikan kemanfaatan maupun kemudharatan kecuali atas izin Allah). Maka, dalam pembahasan ini, kurang pas jika mengatakan Safar-lah yang menyebabkan bencana. Padahal ia sama halnya dengan bulan-bulan lainnya, yang tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa kecuali atas se-izin Allah.
Deretan Peristiwa Penting di Bulan Safar
Yang jelas, dalam sejarahnya, bulan Safar memiliki sejumlah peristiwa penting, baik suka maupun duka. Untuk peristiwa yang baik dan bahagia, kitab Mandhumah Syarh al-Atsar fi Ma Warada 'an Syahri Safar karya Habib Abu Bakar al-'Adni telah merekam deretan peristiwa penting yang terjadi di bulan Safar. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa bulan Safar bukanlah bulan sial dimana kita tidak boleh melakukan aktivitas apa pun. Diantara peristiwa penting di bulan Safar adalah pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah al-Kubra, dan pernikahan Sayyidah Fatimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Bahkan, hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah dan perang Abwa yang merupakan perang pertama dalam Islam juga terjadi di bulan Safar.
Sementara itu, dalam kitab Nurul Absor, diceritakan bahwa Nabi SAW pernah menderita sakit menjelang akhir hayatnya di bulan Safar. Pada saat itu, malaikat Jibril turun menemui Rasulullah yang sedang sakit. Terjadi percakapan yang serius antara baginda Nabi dan malaikat Jibril. Lalu bertanyalah baginda Nabi kepada malaikat Jibril: “Wahai Jibril, apakah engkau masih akan turun ke bumi setelah sepeninggalku nanti?” Jibril pun menjawab: “Iya ya Rasulallah, setelah sepeninggal engkau, aku masih akah turun ke bumi sebanyak sepuluh kali." Nabi bertanya lagi : “Gerangan mau apa engkau turun ke bumi wahai Jibril?”, Jibril menjawab : “Aku akan mencabut sepuluh jawahir/keindahan-keindahan dari bumi”. Nabi kembali bertanya tentang maksud malaikat Jibril turun ke bumi selama 10x itu akan melakukan apa saja. Lantas malaikat Jibril menjelaskan maksud turunnya ke bumi dari yang pertama hingga yang terakhir. Pertama, malaikat Jibril turun untuk mencabut barokah yang ada di bumi. Kedua, akan menghilangkan rasa cinta antar makhluq satu sama lain. Ke-tiga, akan menghilangkan kasih sayang dari hati antara saudara dan kerabat (sifat persaudaraan). Ke-empat, akan menghilangkan sifat adil dari pemimpin dan pejabat. Ke-lima, akan menghilangkan sifat malunya perempuan-perempuan di bumi. Ke-enam, akan menghilangkan sifat sabar dari hatinya orang-orang fakir. Ke-tujuh, akan menghilangkan sifat waro’ dan zuhudnya para ulama. Ke-delepan, akan menghilangkan sifat dermawan dari orang-orang kaya. Ke-sembilan, (ini sangat gawat sekali). Malaikat Jibril akan mengangkat Al-Qur’an dari bumi. Sementara turunnya malaikat Jibril yang terakhir, yang ke-sepuluh (ini paling berbahaya). Malaikat Jibril akan menghilangkan iman dari bumi.
Kabar dari malaikat Jibril tersebut tentunya patut membuat kita untuk selalu siaga menjaga keimanan, memelihara syari’at Islam, serta senantiasa meningkatkan ketaqwaan. Tak lupa juga, untuk mememinta perlindungan kepada Allah SWT agar kita diselamatkan dari segala bala’/bilahi dan marabahaya.