Semangat Hijrah Sebagai Esensi Tahun Baru Islam

Senin, 21 Mei 2018, 18:35 WIB
Semangat Hijrah Sebagai Esensi Tahun Baru Islam
Siapa Aku

SEJARAH HIJRAH

Seiring dengan keberhasilan dakwah Rasulullah SAW, semakin hari jumlah orang Islam semakin bertambah. Tentu saja hal ini membuat orang-orang kafir Makkah semakin memberikan tekanan bahkan siksaan terhadap kaum muslimin pada waktu itu. Merasa kurang memperoleh kebebasan dalam menjalankan agama, para sahabat banyak yang berpindah dari Makkah ke Yatsrib. Di sana mereka mendapatkan sambutan yang luar biasa dari penduduk setempat.

Bagaikan memperoleh kediaman baru terjadilah gelombang perpindahan dari orang-orang Islam Makkah menuju Yastrib. Semakin hari jumlah umat Islam yang berpindah kesana semakin banyak. Sampai akhirnya jumlah umat Islam yang masih tinggal di Makkah tinggal sedikit, yaitu Rasulullah SAW dan beberapa sahabat.

Keadaan ini menyebabkan kemarahan yang luar biasa dari orang kafir Quraisy Makkah. Berkatalah mereka: “Islam sudah mulai menampakkan perkembangan yang pesat di Yastrib. Sebelum bertambah banyak jumlahnya dan menjadi kuat, mereka harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Jika mereka sudah kuat, tentulah mereka akan memukul balik kita. Mulai sekarang kita harus mendongkel akar-akarnya yang baru tumbuh itu. Karena itu, Muhammad harus dibunuh sekarang juga sehingga Islam akan terkubur bersamanya”.

Orang-orang kafir Makkah semakin nekat dan kalap. Mereka seperti tidak sabar untuk segera membunuh Nabi SAW dan disusunlah rencana untuk itu. Namun Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala tipu daya mereka. Karena itulah Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk hijrah ke Yatsrib.

HIJRAH SEBAGAI MOMENTUM STRATEGIS DAKWAH

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, mulai ada pemikiran kapan dimulainya tanggal satu pada kalender Islam. Ada yang mengusulkan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai awal dimulainya kalender Islam. Ada pula yang mengusulkan awal dimulainya kalender Islam adalah tahun wafatnya Nabi Muhammad SAW. Tetapi semua usulan itu belum mencapai kata sepakat.

Barulah pada tahun 17 H (638 M), khalifah Umar bin Khattab RA menetapkan awal kalender Islam adalah tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Umar bin Khattab RA memilih peristiwa hijrah Rasulullah SAW karena peristiwa hijrah mengandung makna yang amat dalam dan arti yang sangat penting bagi perkembangan Islam.

  1. Hijrah merupakan garis pemisah antara periode Makkah dan Madinah. Periode Makkah ditandai dengan penekanan dan penyiksaan, sedang periode Madinah ditandai oleh suasana kemenangan umat Islam.
  2. Hijrah merupakan ujian terberat bagi umat Islam pada waktu itu. Didorong oleh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka rela meninggalkan kota kelahiran yang mereka cintai. Mereka harus berpisah dengan rumah, keluarga, harta benda, dan sahabat yang dicintai. Mereka harus berjalan kaki menempuh perjalan sekitar 500 km yang amat berat dan penuh resiko.
  3. Hijrah merupakan momentum yang sangat menentukan dalam perjalanan sejarah umat Islam, baik ditinjau dari segi militer, ekonomi, geografis, maupun dari segi perkembangan Islam.
  4. Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa jika tidak ada hijrah, maka tidak akan ada kejayaan khulafaurrosyidin. Tanpa khulafaurrosyidin, Islam tidak akan sampai ke penjuru dunia. Tanpa hijrah tidak ada Madinah Al Munawwaroh. Tanpa Madinah Al Munawwaroh tidak ada akan ada Baghdad dan Kordova. Tanpa Baghdad dan Kordova, Islam tidak akan sampi ke Eropa danke negeri Timur.

HIJRAH UMAT ISLAM MASA KINI

Peristiwa hijrah sudah sudah berlalu sekitar 15 abad yang lalu, namun nilai-nilai hijrah masih tetap ada sampai hari ini bahkan hingga hari kiamat. Sebab hijrah yang semestinya dilakukan oleh umat Islam saat ini adalah hijrah qalbiyah, yaitu berusaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri menuju yang lebih baik. Oleh karena itu yang perlu kita lakukan adalah hijrah dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat, hijrah dari kemusyrikan menuju tauhid, hijrah dari kebodohan menuju kemajuan, hijrah dari kemiskinan menuju kehidupan yang layak.

Sabda Nabi Muhammad SAW [Shohih Ibnu Hibban, Juz 1, hal. 116]. “Yang disebut muslim adalah seseorang yang mana orang-orang muslim selamat dari lisan dan tangannya. Sedangkan yang disebut orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.” (HR Ibnu Hibban).

 MENYONGSONG HARI ESOK

Hari ini kita jumpai dan lalu saat ini tidak akan temui lagi. Demikian juga kemarin kita berjumpa dengan Tahun Baru Hijriyah, maka seumur hidup kita tidak akan berjumpa dengan tahun baru itu lagi. Waktu yang berlalu tidak akan kembali lagi bersama kita.

Detak demi detak jantung dan detik demi detik waktu itulah waktu sesungguhnya yang kita miliki. Selebihnya adalah waktu yang sudah lewat berlalu dan waktu yang akan kita jalani. Dua-duanya bukan milik kita. Betapa banyak waktu yang bukan milik kita dan betapa sedikit waktu yang kita miliki. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan kita untuk menggunakan waktu yang kita miliki itu dengan sebaik-baiknya untuk meraih keberuntungan akan hari akhirat datang. Kita perlu muhasabah (mengadakan perhitungan) amal yang sudah kita perbuat selanjutnya kita jadikan refleksi (renungan) untuk waktu yang akan datang.

Firman Allah  [Al Hasyr (59): 18] “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah  dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah , sesungguhnya Allah  Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ada dua hal yang bisa kita petik dari ayat ini [Tafsir Al Qurthubi, surah Al Hasyr (59): 18].

  1. Allah mengulangi kata ittaqulloh (bertakwalah kalian kepada Allah) dua kali. Yang pertama adalah bertaubat terhadap dosa-dosa yang sudah lewat, sedang yang kedua adalah takut terjerumus ke dalam kemaksiatan di waktu yang akan datang.
  2. Allah menggunakan kata ghodin (hari esok) yang berarti akhirat. Hal ini menunjukkan betapa waktu itu sangat dekat, sebagaimana kata syair Sesungguhnya hari esok bagi orang yang berpikir amatlah dekat

Berkata Imam Hasan dan Imam Qotadah: Amatlah dekat waktu itu sehingga Allah  menggambarkannya seperti esok pagi. Tidak diragukan lagi bahwasanya setiap perkara yang akan datang amatlah dekat sedangkan mati pasti akan datang.

Dakwah Santri  KH. Shohibul Kahfi, M.Pd  Pondok Gading  Pondok Pesantren Gading  Pondok Pesantren Miftahul Huda  Santri Gading 
KH. M. Shohibul Kahfi, M.Pd.

Penulis adalah Dewan Masyayikh Pondok  Pesantren Miftahul Huda Jl. Gading Pesantren 38, Malang

Bagikan