disarikan dari Buku Lentera Kehidupan dan Perjuangan Kiai Yahya
Pondok Pesantren Miftahul Huda atau yang masyhur dikenal dengan sebutan Pondok Gading merupakan salah satu dari sepuluh pesantren tertua di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa eksistensi Pondok Gading bermula sejak dua setengah abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1768. Pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Gading adalah Kiai Hasan Munadi. Pada era itu, sosok Kiai Hasan Munadi dikenal sebagai figur yang karismatik. Beberapa sumber mengisahkan, karisma itu bermula dari keberhasilan Kiai Hasan Munadi dalam ‘menaklukkan’ daerah Desa Gading dan sekitarnya yang sebelumnya terkenal angker. Atas keberhasilan itu, penguasa setempat menghadiahkan tanah tersebut (saat ini lingkungan Gading) kepada Kiai Hasan Munadi.
Tidak hanya itu, kharisma Kiai Hasan Munadi juga tercermin dalam aktivitas keseharian beliau. Kisah ini bermula tatkala Kiai Hasan Munadi sedang membersihkan halaman sambil mencabuti rerumputan di muka ndalem. Kala itu seorang petugas dari kecamatan tengah melintas dengan mengendarai kuda.
Petugas tersebut berkata, “Lha inggih ngngoten, Pak! Sampeyan terusaken nganti bersih suketé! Lha inggih ngoten, Pak! Sampeyan terusakan nganti bersih suketé kabeh!”
Mendengar suara tersebut, Kiai Hasan Munadi terkejut dan berkata, “Sopo iku? Gak weruh wong tuwo tah! Ngomong kok ora gelem mudun soko jaran”
Tanpa dinyana, petugas yang melintas dengan tetap menunggang kuda tadi menjadi buta seketika.
Kiai Hasan Munadi mengasuh Pondok Gading kurang lebih selama 90 tahun hingga beliau wafat pada tahun 1858 dalam usia 125 tahun.
Sepeninggal Kiai Hasan Munadi, kepengasuhan Pondok Gading lantas diteruskan oleh putra beliau yakni Kiai Isma’il. Nama asli Kiai Isma’il adalah Muhyidin. Beliau adalah putra kedua Kiai Hasan Munadi dari empat bersaudara. Secara berurutan putra Kiai Hasan Munadi adalah Mbah Mujannah, Kiai Isma’il (Kiai Muhyiddin), Kiai Ma’shum (Kiai Muhyi Ibad), dan terakhir Kiai Muhyini.
Sebagaimana Kiai Hasan Munadi, Kiai Isma’il juga masyhur dikenal sebagai tokoh yang kharismatik. Kharisma Kiai Isma’il bisa dilihat dari para tamu terutama kalangan pejabat bila hendak sowan (menghadap) menghadap Mbah Isma’il. Mulai masuk halaman ndalem hingga bertemu Mbah Isma’il mereka berjalan dengan cara berjongkok sebagai wujud penghormatan.
Kiai Isma’il tidak mendapat karunia keturunan sementara beliau sangat mendambakan seorang penerus perjuangannya terutama sebagai pengasuh Pondok Gading. Oleh karena itu, beliau bersama istri melakukan sholat istikhoroh untuk memilih siapakah diantara kemenakan beliau yang sesuai untuk tujuan tersebut. Berdasarkan hasil istikhoroh itu, kemenakan Kiai Isma’il benama Abdul Majid (yang kelak dikenal dengan Kiai Abdul Madjid) dan kemenakan Nyai Isma’il bernama Ngatminah (yang kelak dikenal dengan Ibu Nyai Ngatminah) diambil sebagai anak angkat dan dinikahkan.
Setelah pernikahan Kiai Abdul Majid dan Ibu Nyai Ngatminah, Kiai Isma’il bersama Ibu Nyai menunaikan ibadah haji ke Mekah yang menghabiskan waktu selama tujuh bulan. Sepanjang perjalanan haji, Kiai Isma’il beserta istri senantiasa memohon kepada Allah SWT agar Kiai Abdul Madjid dan Nyai Ngatminah segera dikaruniai banyak keturunan. Permohonan itu diulang-ulang di tanah suci. Di samping itu, KH. Ismail dan Ibu Nyai sering memberi makan burung merpati di tanah suci seraya memohon kepada Allah SWT agar Kiai Abdul Majid dan Nyai Ngatminah segera dikaruniai banyak keturunan sebagaimana yang Allah SWT berikan kepada burung merpati yang diberi makanan.
Benar saja, betapa gembira KH. Isma’il dan Ibu Nyai manakala tiba di rumah lantaran doa tersebut dikabulkan Allah SWT. Ibu Nyai Ngatminah sudah hamil sebulan. Seraya meluapkan rasa gembira dan syukur kepada Allah, K.H. Ismail berkata kepada Kiai Abdul Majid dan istri “Iku anakku lho! (itu anakku, lho)” Alhasil janin yang dikandung Ibu Nyai Ngatminah itu diambil anak angkat KH. Ismail sejak berusia satu bulan dalam kandungan. Setelah lahir anak tersebut diberi nama Daiyah yang tidak lain adalah Ibu Nyai Hj. Siti Chodijah. Berkat barokah doa KH. Isma’il, Kiai Abdul Majid dan Ibu Nyai Ngatminah dikaruniai 4 orang anak (3 perempuan dan 1 laki-laki), yaitu Ibu Nyai Hj. Siti Chodijah, Ibu Nyai Hj. Chumaiyah, Kiai Hasyim dan Ibu Nyai Hj. Siti Zulaihah.
Sebagai generasi kedua, Mbah Kiai Ismail (panggilan KH. Ismail) mengasuh Pondok Gading dibantu Kiai Abdul Majid hingga beliau wafat pada 1908 dalam usia 75 tahun. Tercatat KH. Isma’il telah mengasuh Pondok Gading kurang lebih selama 50 tahun (1858 – 1908). Selanjutnya Kiai Abdul Majid menjadi pengasuh tunggal hingga beliau wafat pada tahun 1935. Sepeninggal Kiai Abdul Majid, amanah kepengasuhan Pondok Gading diemban oleh menantu beliau (yang bisa juga disebut sebagai menantu KH. Ismail) yakni KH. Muhammad Yahya yang lebih dulu menikah dengan Ibu Nyai Nyai Hj. Siti Chodijah pada tahun 1930.
Suksesi kepengasuhan kepada KH. Muhammad Yahya berlangsung dengan baik dan terbukti berhasil. Pada satu sisi, KH. Muhammad Yahya mampu menjaga dan mempertahankan sistem dan nilai khas Pondok Gading yang selama ini di-ugem (Jawa: dipegang teguh) oleh para pendahulu. Sementara di sisi lain, KH. Muhammad Yahya juga meletakkan landasan pembaharuan dan revitalisasi pendidikan pesantren yang terus dianut hingga kini.
Langkah pertama yang ditempuh KH. Muhammad Yahya adalah menyematkan frasa “Miftahul Huda” sebagai pelengkap nama Pondok Gading. Keputusan itu dibuat pada tahun 1935. Alhasil jadilah nama Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading. Penyematan frasa “Mifathul Huda” dimaksudkan agar pesantren ini mampu menjadi wasilah turunnya hidayah Allah SWT, terutama hidayah ilmu manfaat dan barokah kepada para santri yang sedang tafaqquh fi-ddin (memperdalam agama) demi tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sejak didirikan, Pondok Gading beserta pengasuhnya terkenal dengan kharisma dan ilmu tasawuf. Kharisma Pondok Gading saat itu tersebar luas di kalangan masyarakat karena keluhuran perilaku dan keteladanan Kiai Hasan Munadi serta Kiai Isma’il.
Keberhasilan Kiai Yahya meneruskan dan mempertahankan kharisma Pondok Gading antara lain disebabkan Kiai Yahya lebih suka menggunakan pendekatan keilmuan dan akhlaqul karimah dalam menyelesaikan permasalahan. Cara ini ternyata cukup berhasil, karena dengan kharisma dan ilmu akhlak itu, beliau mampu mengurangi terjadinya kekerasan, baik antar masyarakat maupun antara santri dengan masyarakat di luar pondok.
Sikap hormat dari pihak penguasa juga terus berlanjut hingga masa pemerintahan kolonial Belanda maupun pemerintah Pendudukan Jepang. Terbukti dengan diberlakukannya status ‘otonomi’ bagi Pondok Gading sebagai lembaga pendidikan keagamaan tanpa intervensi dari pemerintah/ tentara Belanda maupun Jepang.
Karisma ini terus dipertahankan di masa kepengasuhan KH. Muhammad Yahya. Bahkan di masa perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), beliau mampu memanfaatkan otoritas Pondok Gading sebagai sarana perjuangan kemerdekaan. Pasukan pejuang ‘Garuda Merah’ di bawah pimpinan Brigjen (Purn) KH. Sullam Syamsun menjadikan Pondok Gading-yang oleh Belanda dijuluki daerah netral sebagai tempat persembunyian para pejuang sekaligus pos terdepan untuk penyerangan ke tangsi Belanda atau peledakan fasilitas umum milik Belanda di Kota Malang.
Sebagai pengasuh generasi ketiga, KH. Muhammad Yahya memiliki kebijaksanaan yang luar biasa terkait pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengembangan lembaga pesantren. Salah satu kebijaksanaan KH. Muhammad Yahya yang dinilai cukup berani dan tepat adalah mengizinkan para santri untuk menuntut ilmu di lembaga atau sekolah formal di luar pesantren. Tentu pada masa itu keputusan semacam ini dinilai langka dan progresif mengingat hampir seluruh pesantren salaf saat itu belum terpikirkan untuk memperbolehkan adanya pendidikan lain di samping pengajian pondok.
Keputusan memberlakukan pendidikan dua jalur dalam satu sistem pesantren ini secara tidak langsung telah memudahkan pengasuh dalam memusatkan konsentrasi pendidikan santri pada pendidikan keagamaan baik keilmuan maupun pengamalan. Berdasarkan khittah yang digariskan KH. Muhammad Yahya ini, maka PP. Miftahul Huda tidak akan mendirikan lembaga pendidikan formal umum untuk memenuhi pendidikan para santri. Namun demikian, KH. Muhammad Yahya secara tegas mengharuskan para santri yang sekolah di luar untuk tidak terjerumus pada orientasi keduniaan dengan mengesampingkan dimensi akhirat. Pada setiap kesempatan menerima santri baru, KH. Muhammad Yahya selalu berpesan: “Niyate ojo keliru, nomer siji niyat ngaji, nomer loro niyat sekolah, Insya Allah bakal hasil karone” (Jawa: Jangan keliru niat. Yang pertama harus niat mengaji, niat kedua baru sekolah. Insya Allah, keduanya akan berhasil).
Adapun upaya yang ditempuh KH. Muhammad Yahya dalam mempertahankan sistem salafiyah pesantren adalah dengan mempertahankan sistem pendidikan tradisional berupa metode wetonan dan sorogan. Sistem ini, lebih mengutamakan keterbukaan dan ketidakterikatan dalam memberikan pelajaran kepada santri. Melalui metode wetonan, KH. Muhammad Yahya bisa menyampaikan informasi keagamaan secara ilmiah dengan menggunakan literatur kitab kuning yang sudah masyhur dipakai di semua pesantren. Adapun melalui metode sorogan, KH. Muhammad Yahya bisa lebih intensif mengawasi dan memantau pekembangan pengetahuan dan keterampilan membaca kitab para santri. Materi sorogan cukup beragam, mulai pengajian pembacaan Al-Qur’an hingga kitab kuning seperti kitab Sulamut Taufiq, Baijury, Dahlan (Sebutan lama untuk kitab Jurumiyah-Imrithi) dan Bidayatul Hidayah.
Identitas Pondok Gading sebagai pondok tasawuf kian kukuh manakala KH. Muhammad Yahya mendapat ijazah sebagai khalifah dan guru mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Peristiwa ini terjadi pada saat jamaah warga Jalan Jombang, Kelurahan Gadingkasri mengundang ulama dari Boyolali, Jawa Tengah yaitu Syekh Zainal Makarim untuk membai’at jamaah Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah. Sebagai ulama dan sesepuh, KH. Muhammad Yahya turut diundang hadir. Tatkala Syekh Zainal Makarim bertemu untuk pertama kali dengan KH. Muhammad Yahya, beliau seakan-akan langsung memahami profil KH. Muhammad Yahya. Lantas Syekh Zainal Makarim berpesan kepada para jamaah bahwa untuk masa yang akan datang tidak perlu mencari guru thoriqoh jauh-jauh, cukup kepada KH. Muhammad Yahya saja. Pada saat itu pula KH. Muhammad Yahya dibaiat oleh Syekh Zainal Makarim, baik untuk ijazah thoriqoh maupun sebagai mursyid. Kedudukan KH. Muhammad Yahya sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah dikuatkan oleh pimpinan Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia waktu itu, yakni Al-Mukarrom Romo KH. Muslih Mranggen, Semarang, pada 30 Oktober 1967.
Selama mengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading, KH. Muhammad Yahya dibantu oleh putra sulung beliau yakni Gus Dimyati (panggilan akrab Kiai Ahmad Dimyati Ayatullah Yahya) dalam mengasuh pesantren, membina masyarakat, maupun jamaah thoriqoh. Selain mengajar santri, Gus Dimyati juga terlibat langsung dalam mengatur pengelolaan pesantren. Beliau senantiasa mengarahkan dan memberikan nasehat kepada para pengurus dalam menjalankan program dan kebijakan kepengurusan. Selain memberikan pengawasan dan pembinaan, Gus Dimyati juga aktif menyumbangkan ide dan inspirasi bagi pengembangan pesantren dengan melakukan berbagai terobosan dan pembenahan manajemen.
Sebagai langkah pertama, Gus Dimyati mencoba untuk menata kelembagaan (institusi) pesantren dengan merumuskan arah, prioritas, identitas dan spesialisasi pendidikan yang telah dan akan dilaksanakan oleh Pondok Gading. Mengingat corak pendidikan di Pondok Gading selama ini lebih tertuju pada pembekalan ilmu dan amaliah tasawuf menuju santri yang bertakwa, maka beliaupun akhirnya menetapkan garis pendidikan tersebut sebagai identitas lembaga. Atas izin KH. Muhammad Yahya maka sejak tahun 1960-an, Pondok Gading memiliki tambahan nama depan “Lembaga Pembina Jiwa Taqwallah” selain label Pondok Pesantren Miftahul Huda yang sudah terlebih dulu ditetapkan. Atas inisiatif Gus Dimyati pula logo resmi pondok dirancang dan digunakan sebagai simbolisasi kelembagaan layaknya organisasi pada umumnya. Logo tersebut dibuat dengan memperhatikan misi dan visi pondok yang telah ditetapkan. Bersama para pengurus beliau juga membenahi pelayanan administrasi serta mekanisme kepengurusan menjadi lebih teratur dan rapi.
Usai manajemen pesantren putra relatif membaik, berikutnya Gus Dimyati mengusulkan kepada KH. Muhammad Yahya untuk segera membuka dan mengembangkan pesantren putri. Gagasan ini timbul ketika Gus Dimyati melihat banyak pihak meminta KH. Muhammad Yahya untuk membuka pendidikan bagi santri putri. Usai melakukan pertimbangan dan istikharah, akhirnya KH. Muhammad Yahya meluluskan gagasan tersebut. Salah satu pertimbangan utama melakukan rencana tersebut karena KH. Muhammad Yahya melihat bahwa pondok putra dipandang dipandang cukup kuat, sehingga memungkinkan dibuka pondok putri. Tak berselang lama, mulailah Gus Dimyati membuat perencanaan dan persiapan-persiapan mulai dari kesiapan fisik bangunan, pendanaan, sampai program pendidikan yang akan dilaksanakan. Perencanaan pembangunan pondok putri dikerjakan langsung oleh beliau, termasuk pemilihan lahan serta bentuk dan ukuran bangunan. Dalam beberapa bulan, pondok putri telah berdiri dan sejak saat itu pula Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading menerima pendidikan santri putri. Langkah ini merupakan langkah yang cukup maju, mengingat pada masa itu di Kota Malang masih belum ada pondok putri.
Era kepengasuhan Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading generasi ketiga berakhir pada tahun 1971. Tepat pada pada 27 Sya’ban 1391 H (27 Oktober 1971 M) Kiai Ahmad Dimyati Ayatullah Yahya dipanggil Allah SWT. Beliau wafat dalam usia yang relatif muda, yaitu 32 tahun. Hanya berselang 37 hari, Pondok Gading dan masyarakat Malang harus kehilangan dua ulamanya sekaligus. Ayah dan putra yang selama ini selalu bersama menegakkan kalimah Allah itu pergi bersama hanya dengan selisih waktu satu bulan ramadhan. Pada 4 Syawal 1391 H bertepatan dengan 23 November 1971 M, KH. Muhammad Yahya wafat, menghembuskan nafas terakhir, menghadap Allah SWT pada usia 68 tahun.
Sepeninggal KH. Muhammad Yahya dan Kiai Ahmad Dimyati Ayatullah Yahya, estafet kepengasuhan Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading diteruskan oleh para putra KH. Muhammad Yahya. Generasi ke-empat pengasuh Pondok Gading meliputi KH. Abdurrochim Amrullah Yahya (wafat 2011), KH. Abdurrahman Yahya (wafat 2018), dan KH. Ahmad Muhammad Arif Yahya. Selama mengembangkan pesantren, para pengasuh juga dibantu oleh KH. M. Baidlowi Muslich dan KH. M. Shohibul Kahfi (wafat 2020) yang merupakan putra menantu KH. Muhammad Yahya.
Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading Malang
KH. Hasan Munadi (1768 – 1858)
KH. Isma'il (1858 – 1908)
KH. Abdul Majid (1908 – 1935)
KH. Muhammad Yahya (1935 - 1971)
Kiai Ahmad Dimyati Ayatullah Yahya (1960 an – 1971)
KH. Abdurrochim Amrullah Yahya (1971 - 2011)
KH. Abdurrahman Yahya (1971 - 2018)
KH. Ahmad Muhammad Arif Yahya. (1971 - sekarang)
KH. M. Baidlowi Muslich
KH. M. Shohibul Kahfi
Ibu Nyai Hj. Dewi Aisyah (Pesantren Putri)
Visi, Misi, dan Tujuan Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading Malang
Visi | : Sebagai lembaga pembina jiwa taqwallah. |
Misi | : Membentuk insan-insan yang bertaqwa dan berakhlak mulia. |
Tujuan | : Mencetak kader-kader agama dan bangsa sebagai uswatun hasanah di masyarakat yang memiliki kedisiplinan tinggi, bertanggungjawab dan berkepribadian luhur dengan bekal ilmu (lisanul maqal) dan amal (lisanul hal) |
Tim redaksi website PPMH