Bagi seorang anak orang tua adalah figur teman/sahabat yang paling dekat bagi dirinya. Kedekatan itu jelas beralasan, karena, selain sebab merekalah kita ada (bukan dalam arti hakiki) orang tua bagi anak juga selalu menjadi tempat bersandar sejak dilahirkannya dia.
Dari sampai buang air, makan, waktu senang, sedih atau ketika butuh uang. Hubungan ini yang kemudian membuat orang tua punya ruang tersendiri di hati anak. Sehingga anak akan senantiasa bercita-cita untuk selalu membahagiakan orang tua.
Masa sekarang kita harus akui bahwa uang sudah dianggap (padahal tidak) kebutuhan pokok yang harus di miliki oleh seseorang. Hal ini terjadi dikarenakan kebutuhan yang dulunya bukan menjadi kebutuhan utama sekarang seakan sudah tidak bisa diganggu gugat untuk dipenuhi. Contohnya seperti hp, motor, paketan, pulsa dan mungkin bedak bagi cewek.
Hal-hal inilah salah satu sebab yang membuat seseorang tanpa sadar menggantungkan dirinya dan meyakini bahwa harta adalah hal yang bisa membuat saya hidup enak dan bahagia. Hal ini terjadi disekitar masyarakat kita. Dan bisa saya bilang bahwa mereka adalah mayoritas (menurut saya) didalam masyarakat kita.
Pengaruhnya, standard enak / bahagia (sukses) bagi masyarakat pun berubah. yaitu, kalau kamu sudah punya mobil atau rumah maka kamu sukses. Begitulah pandangan orang banyak. Dan apa yang terjadi pada orang banyak tersebut mungkin juga terjadi pada orang tua kita. Sukses adalah kaya.
Saya kira saya tidak setuju dengan anggapan tersebut. Pernyataan bahwa harta adalah kebutuhan pokok atau harta adalah lambang kesuksesan. Beberapa tahun yang lalu guru kami secara tegas menyatakan tidak setuju dengan pendapat itu. Ustadz Tamim namanya. Beliau mengambil dalil zuyyina linnasi hubbussyahawati minannisa wal baninna wal qonatiril muqotroti minatdahabi wal fiddoh .
Penafsiran beliau terhadap ayat tersebut ialah bagaimana bisa harta menjadi kebutuhan pokok??. Padahal, diayat tersebut Allah memasukannya pada kategori zuyyina yang artinya hanya hiasan. Dan sebagaimana hiasan dia hanya menghiasi tidak memiliki pengaruh (yang prinsip) sedikitpun .
Saya beri contoh pakaian. yang menjadi kewajiban dari pakaian adalah menutup aurot. Jikalau tidak ada pernak pernik hiasan dipakaian kita maka tidak masalah kita tetap dihukumi menutup aurot. Kenapa?karena pernak pernik itu hanya hiasan. Dan hiasan tidaklah berpengaruh pada hal yang prinsip. (Begitu singkatnya penjelasan beliau)
Selain itu, jika kita melihat kepada tujuan besar manusia dibumi yaitu beribadah kepada Allah (yang artinya selau mendekat kepada Allah) wa maa kholaqtu jinna wal insa illa liya' buduun. Maka tidak ada hubungannya banyak harta dengan kesuksesan seseorang. Walaupun harta tersebut juga bisa digunakan untuk beribadah seperti sodakoh dan yang lain.
Kalau melihat dari tujuan, maka, bisa ditarik kesimpulan bahwa orang yang paling sukses dihitung dari seberapa bertaqwanya ia kepada Allah dengan ibadah yang ia jalankan. Dan ibadah itupun bisa jadi murni ibadah seperti sholat dll atau tidak murni seperti mengajar, mengabdi pada masyarakat dll. Dengan syarat digunakan untuk mengingat (mendekat) Allah dan tidak dibarengi penyakit-penyakit hati seperti sum'ah, hasud, riya dll.
Dan tak perlu takut dengan makan dan minum kalian. Karena, selama seorang hamba masih mau bekerja sesuai apa yang di perintahkan Allah tidak mungkin orang tersebut mati kelaparan. "Wama min dzabbatin fil ardi illa alallahi rizquha alayah." (Tidak ada darisatu makhlukpun dibumi yang tidak dijamin rizqinya).
Walaupun bisa jadi rizki tersebut tidak kemudian menggunung hingga kita menjadi saudagar kaya. Namun bisa dikatakan bahwa rizki itu pasti cukup untuk kita menghadapi dunia ini. Dan walaupun hanya kecukupan saja kita tetap bisa bahagia.
Sama seperti para shohabat yang pada waktu itu tetap bahagia walaupun tak bergelimang harta dengan islam dihati mereka dan alquran pedomannya. "Faimma ya' tiyannakum minni hudaya faman thabia hudaya falaa khouffun alaihim walaa hum yahzanun." (manakala datang petunjukku, barang siapa mengikuti petunjukku niscaya tiada ketakutan dan kesedihan baginya). Kesimpulannya adalah harta bukan kesuksesan dan harta bukan kebahagiaan.
Sebagain anak di masyarakat kita mengalami dilema dikarenakan apa yang menjadi mainset masyarakat (tentang sukses) yang kemudian berpengaruh kepada orang tua mereka. Sebagaimana yang saya sebutkan diawal anak sangat menginginkan membahagiakan orang tua dan kebanyakan orang tua akan bahagia mana kala anak mereka (mereka anggap) sukses.
Yang menjadi dilema ialah ketika standar sukses yang digunakan anak sudah benar (lebih memikirkan untuk mendekat kepada Allah) dan orang tua salah (kaya dan berharta). Inilah sesuatu yang akan membebani anak yang bisa jadi kemudian menyeret anak untuk tidak memilih yang benar dan berpindah kepada yang salah. Dan tentunya, sewajarnya hal yang salah tidaklah baik.
Hal inilah yang tentu seharusnya kita perhatikan dan cermati karena kita besok merupakan orang tua bagi anak2 kita. (hehe anak-anak kita). Jangan sampai kita yang menjadi penunjuk / pengarah mereka supaya berada pada jalan yang diridhoinya malah secara tidak sengaja menyeretnya kedalam jalan yang salah.
Oleh karenanya kalau menurut saya dari awal orang tua harus langsung berkata bahwa dia tidak butuh anaknya kaya tidak butuh anaknya terkenal tidak butuh anak selebgram, yang dia butuh kan dan tekankan ke anak adalah bagaimana anak bisa menjadi soleh dan bertaqwa kepada Allah. Dan hal itulah yang akan membuat dia bahagia dan anak bahagia.