Ilmu Nahwu merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari gramatika (tata bahasa) Arab sebagai media dalam dalam mengkaji pustaka-pustaka klasik (kitab kuning). Ilmu Nahwu di kalangan pesantren bukan merupakan hal baru, manfaatnya baru bisa dirasakan ketika sang penuntut ilmu sudah mampu menguasai pustaka-pustaka klasik tersebut dari sisi penjelasannya. Namun, ada hal yang sepele yang jarang kita perhatikan, bahwa di antara nadzom-nadzom (baris berupa syair) karya ulama-ulama Nahwu, mengandung mutiara-mutiara hikmah yang sangat berarti sebagai bekal dalam menuju kebahagiaan hidup penuntut ilmu dan kita semua.
Dalam pembukaan kitab ‘Imrithi, dituturkan oleh Syekh Syarifuddin sebuah nadzom yang berbunyi;
[Idzil Fataa Hasba I’tiqoodihi Rufi’]
[Wa Kullu Man Lam Ya’taqid Lam Yantafi]
Nadzom ini secara lughowi (bahasa) mengandung arti seorang pemuda dengan memperhitungkan itikad (keyakinan atau ilmu)-nya dia akan memperoleh keluhuran, sementara itu, pemuda yang tidak memiliki itikad (keyakinan atau ilmu), maka dia tidak akan bermanfaat. Secara luas, nadzom ini mengandung makna bahwa seorang penuntut ilmu, seorang pencari jalan Allah, haruslah memiliki keyakinan (ilmu) yang paripurna. Keyakinan ini sebagai bekal baginya dalam menentukan ke mana arah yang seharusnya ia tempuh. Bagi seorang penuntut ilmu, ia harus memiliki keyakinan (ilmu) akan kebenaran fatwa-fatwa sang guru, dengan disertai landasan hukum yang logis. Meskipun dalam kajian ilmu Fiqh, seorang penuntut ilmu tidak diwajibkan untuk melakukan ittiba’ (mengikuti hukum suatu masalah dengan mengetahui landasan hukumnya). Akan tetapi, alangkah lebih baiknya, jika dalam segala hal, seorang penuntut ilmu memiliki keyakinan (ilmu) dengan disertai landasan hukum yang tepat (asasul hukmi).
Sebaliknya, bagi seorang guru, dituntut untuk menjelaskan sebuah jawaban dengan gamblang disertai metode berfikir (manhajul fikr) yang sesuai dengan tahapan-tahapan proses pengambilan hukum yang sudah ditetapkan oleh para Mujtahid Mutlak. Dengan cara seperti ini, seorang penuntut ilmu akan mendapatkan keyakinan (ilmu) yang paripurna atas konsep-konsep yang dipelajarinya, bahkan mampu menganalogikan konsep-konsep yang tertulis dalam pustaka-pustaka klasik pada saat ini.
Begitu juga bagi sang pencari jalan Allah. Ia harus benar-benar membangun pondasi keyakinannya yang paripurna tentang konsep-konsep yang berkaitan dengannya, terutama yang berkaitan dengan ilmu syari’at (undang-undang yang dibebankan kepada mukallaf atau orang yang sudah dikenakan hukum). Sehingga, apa yang menjadi tujuannya dalam rangka menuju Allah akan berhasil dengan paripurna.
Dengan keyakinan (ilmu) yang dimiliki, niscaya akan bermanfaat bagi masa depan, baik sang penuntut ilmu maupun sang pencari jalan Allah. Dengan keyakinan (ilmu) yang berbasis landasan hukum yang logis, seorang penuntut ilmu tidak akan kesulitan ketika ditanya tentang masalah-masalah yang up-to-date (terbaru), apalagi sampai keluar jawaban seperti “wong dari gurunya seperti itu kok!” atau jawaban seperti “maaf, di kitabnya tidak ada!”
Selain itu, dengan keyakinan (ilmu) yang paripurna, niscaya ia akan memperoleh kemuliaan, baik kemuliaan di mata manusia maupun di sisi Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Hujurat ayat 12; “Allah Swt. akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kamu sekalian dan orang-orang yang dianugerahi ilmu beberapa derajat."
Dalam kitab Riyadus Sholihin diterangkan bahwa jarak antara satu derajat dengan derajat yang lainnya adalah sama dengan jarak antara langit dan bumi. Ayat ini sungguh menjelaskan kepada kita, bahwa bagi sang penuntut ilmu dan sang pencari jalan Allah yang memiliki keyakinan (ilmu) yang paripurna, niscaya ia akan memperoleh kemuliaan di sisi Allah Swt. Sementara itu, bagi orang yang tidak memiliki keyakinan (ilmu), maka ia tidak akan bermanfaat, bagi dirinya sendiri apalagi bagi orang lain.