Setelah tauhid tertanam kuat, barulah kita diperintahkan untuk belajar, memikirkan tentang penciptaan alam ini. Sebagaimana kelanjutan ayat 191 surat Ali Imran, “…dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi...” Ulul Albab adalah mereka yang memperhatikan, mengambil manfaat, mencari petunjuk melalui ciptaan-ciptaan Allah, dan mengambil hikmah dari kemaha-agungan Allah.
Sebagian ulama berkata bahwa, ”aktifitas berfikir itu dapat menghilangkan kelupaan dan menarik hati menjadi takut akan siksaan Allah Swt." Ilmu apapun yang dipelajari, apabila pemiliknya adalah seorang muslim yang berkeimanan kuat, niscaya dapat mengantarkan menuju ketaatan kepada Allah. “Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang dapat mengantarkan pemiliknya untuk lebih takut kepada Allah."
Kriteria Allah untuk Ulul Albab (sebagai orang yang mau memikirkan penciptaan langit dan bumi) memberikan pengertian kepada kita bahwa umat Islam juga harus pandai dan menguasai ilmu pengetahuan. Umat Islam juga harus mempunyai kecerdasan intelektual (IQ), yaitu kecerdasan berpikir rasional untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan. Kita dapat melihat kemajuan yang begitu pesat, komunikasi yang semakin tanpa jarak, kecanggihan teknologi yang semakin modern, sebagai kerja akal rasional manusia. Ketika umat Islam mampu mengoptimalkan kecerdasan intelektualnya, tentu hasil-hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kemashlahatan umat ini juga.
Namun kecerdasan intelektual inilah yang rawan diselewengkan. Akal mudah melenceng dari rel kebenaran bila tidak didasarkan pada kecerdasan spiritual atau keimanan. Misalnya, masih ada orang-orang yang beranggapan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) adalah segalanya. Segala hal harus dirasionalkan dan yang tidak rasional (tidak masuk akal) tidak mereka percayai, dan tentu saja dianggap salah. Banyak hal-hal yang tidak rasional namun harus kita percayai, misalnya kita jumpai dalam ajaran agama. Hal-hal yang belum rasional belum tentu dikemudian hari akan tetap tidak rasional. Kemajuan teknologi membuat banyak hal yang dulunya tidak rasional menjadi rasional kini.
Dalam surat Ali Imran ayat 191, terdapat dua kata yaitu yadzkuru (dzikir) dan yatafakkaru (fikir). Dari kedua kata tersebut kita dapat mengetahui, bahwa untuk dzat Allah, kita hanya diperbolehkan untuk berdzikir (mengingat-Nya). Sedangkan untuk ciptaan Allah, maka kita diperbolehkan untuk memikirkannya (tafakkur). Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammmad Saw., “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kalian memikirkan Dzatnya Allah.”
Larangan memikirkan Dzat Allah adalah karena kelemahan akal kita sendiri. Akal mempunyai kemampuan terbatas, untuk memikirkan semua ciptaan Allah saja belum tentu kuat, apalagi memikirkan Dzat Yang Maha Mencipta.
Selain kita harus cerdas secara spiritual dan intelektual, kita juga harus cerdas secara emosional. Penggalan terakhir ayat 191 surat Ali Imran berbunyi, “…(seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari api neraka."
Penggalan ayat tersebut menunjukkan sikap seorang Ulul Albab, yang dengan ilmu-ilmu yang diperolehnya menumbuhkan rasa empati (perhatian), pengagungan terhadap Allah, dan rasa takut/taqwa kepada-Nya. Kecerdasan Emosional (EQ) merupakan kesanggupan untuk memperhatikan atau menyadari situasi tempat kita berada untuk membaca emosi orang lain dan emosi kita sendiri, sehingga mampu bertindak secara tepat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa siapa yang memandangi langit dan bintang-bintang, kemudian membaca surat Ali Imran:191 diatas, maka ia akan diampuni dosa-dosanya sebanyak bilangan bintang yang terlihat dilangit. ”Siapa yang berbaring, kemudian melihat kelangit dan bintang-bintang, kemudian berdoa: Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah tuhan dan pencipta seluruh alam, ya Allah ampunilah aku. Maka Allah akan merahmati dan mengampuni dosa-dosanya”.
Jadi, Ulul Albab adalah mereka yang dapat menggabungkan ketiga kecerdasan (SQ, IQ dan EQ) dengan seimbang dalam kehidupan ini. Ulul Albab merupakan manifestasi ketauhidan yang dilengkapi dengan penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan serta rasa pengagungan terhadap Allah yang menimbulkan semangat pengabdian dan ketaqwan terhadap-Nya. Inilah keseimbangan yang menyelamatkan; baik di dunia maupun di akhirat. Semoga kita dapat memperoleh gelar Ulul Albab tersebut.
Penulis adalah Alumni Fak. Tarbiyah UIN Malang dan Santri PPMH Gading Malang.