Menikah dan Hikmahnya (Bagian 3) - Tanggung Jawab Pernikahan

Jumat, 07 Jan 2022, 10:30 WIB
Menikah dan Hikmahnya (Bagian 3) - Tanggung Jawab Pernikahan
Rumah Tangga Islam

Sesuatu yang mempunyai manfaat banyak, tentunya mempunyai resiko dan konsekuensi yang besar pula. Begitu juga dengan ikatan pernikahan yang dalam Al-Quran di ibaratkan dengan kata-kata mitsaqon gholidlon (perjanjian yang kuat). "…Dan mereka (istri-istrimu) telah mengmbil dari kamu perjanjian yang kuat" (QS. An-Nisa: 21). Kata mitsaqon gholidlon ini hanya terdapat pada tiga tempat dalam Al-Quran yaitu berhubungan dengan perjanjian para Nabi untuk mengemban risalahnya, perjanjian kaum Bani Israil, dan perjanjian/ikatan yang kuat dalam pernikahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa pernikahan bukanlah hal yang sepele. Ikatan pernikahan merupakan ikatan suci yang membutuhkan persiapan yang matang baik jasmani maupun rohani. 

Agar bangunan rumah tangga dapat kokoh dan sejalan dengan harapan agama, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: mempersiapkan umur pernikahan. Menurut Ali bin Abi Thalib ra, “Pertumbuhan tinggi badan seseorang itu menjadi maksimal pada usia 25 tahun, sedangkan akal dapat sempurna (dapat mengimbangi nafsu) jika usia seseorang telah mencapai 28 tahun.” Oleh karena itu agar pertimbangan untuk menikah dapat lebih jernih sebaiknya seseorang menikah ketika kondisi akalnya sudah dapat mengimbangi nafsunya atau sekitar usia 28 tahun. Selain umur, faktor agama dari pasangannya adalah sesuatu yang sangat penting karena Nabi sendiri pernah bersabda, “Wanita itu dapat dinikahi karena empat faktor: karena kecantikannya, hartanya, keturunannya, dan karena agamanya. Maka dapatkanlah wanita yang kuat agamanya, niscaya kamu akan beruntung” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Jika agama dan akhlak tidak dijadikan prioritas utama, maka selain berdosa juga akan timbul musibah, “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita itu karena kecantikannya, karena kecantikannya itu boleh jadi akan membinasakannya; dan jangan kamu kawini mereka karena hartanya, karena boleh jadi harta bendanya itu  akan membuat mereka aniaya (congkak). Akan tetapi kawinilah mereka itu atas dasar ketaatannya terhadap agama” (HR. Ibnu Majah). Ilmu-ilmu tentang nikah dan segala hal ihwalnya juga sangat penting diketahui oleh setiap pasangan, karena dengan ilmu itulah kita dapat melangkah sesuai dengan yang digariskan oleh agama.

Namun bagi sebagian orang, disamping persiapan utama tersebut (agama dan akhlak) juga diperlukan persiapan materi sebelum menikah. Seseorang yang sudah cukup umur (khususnya kaum laki-laki sebagai calon suami) akan menikah jika sudah mempunyai “sangu” berupa materi atau pekerjaan yang dijadikan sumber rizki. Bahkan hampir semua orang tua menanyakan pekerjaan calon suami ketika menyampaikan maksud ingin menikah dengan putrinya karena menganggap dengan pekerjaan yang sudah mapan maka kebutuhan materi akan tercukupi selama menjalani bahtera rumah tangga. Anggapan ini juga tentunya tidak salah.

Setelah menikah, maka janganlah dengan mudah mengucapkan kata-kata cerai/talak, sebab talak merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT. Padahal pernikahan itu sendiri pada hakikatnya adalah untuk mencapai keridhoan Ilahi. Semoga keluarga-keluarga yang terbentuk oleh umat Islam menjadi keluarga yang senantiasa diridhoi Allah dan melahirkan generasi-genersai Islam yang handal dan diberi kemampuan untuk mensyiarkan agama Islam sebagai rahmatan lil ’alamin, menjadi khalifah-khalifah dibumi yang dapat mewujudkan kemaslahatan  bagi sesama, amien.

Arti Nikah 
Akhmad Setiadi

Penulis adalah Alumni Fak. Tarbiyah UIN Malang dan Santri PPMH Gading Malang.

Bagikan