Pernahkan dalam sehari kita tak menggunakan gawai? Tak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan atas teknologi informasi-komunikasi mutlak menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari manusia era sekarang. Banyak hal menjadi lebih mudah sekaligus praktis. Seakan-akan permasalahan yang kita hadapi menjadi cepat selesai. Secara sederhana, inilah yang dimaksud sebagai era masyarakat (society) 5.0. Tidak seperti pada era sebelumnya yang bertumpu pada pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelegence), era society 5.0 justru lebih mengedepankan peran manusia dalam menyelesaikan permasalah social yang menghubungkan dunia maya dengan dunia nyata. Terhitung sejak digagas Jepang pada 2019, era society 5.0 telah merambah ke segala bidang terutama industry. Kendati demikian, dunia pesantren juga tak luput terkena imbasnya.
Kemunculan era masyarakat 5.0 menuntut semua Lembaga Pendidikan melahirkan sumber daya manusia unggul dan berdaya saing global. Tuntutan yang sama juga berlaku terhadap Lembaga pondok pesantren. Maka tak heran apabila kini banyak pesantren yang menambahkan muatan pendidikan berbasis kompetensi seperti leadership, literasi teknologi, atau skill berbahasa asing dan skill menulis untuk menghadapi tantangan dinamika zaman. Di saat yang sama, perlahan peran sentral pondok pesantren sebagai lembaga kaderisasi ulama seolah menjadi terkesampingkan.
Berangkat dari keresahan menyikapi tantangan era masyarakat 5.0, santri Farobi kelas 3 Ulya Madrasah Matholiul Huda menggelar talkshow bertajuk Serambi (Sarasehan Santri Jaman Mbiyen) Bersama KH Is’adur Rofiq (22/12). Betempat di Masjid Baiturrahman, tema yang dibicarakan adalah mengimplementasikan dawuh Kyai Yahya tentang tujuan mondok di era society 5.0. Dawuh Kyai Yahya yang dimaksud tak lain adalah “Nomer siji ngaji nomer loro sekolah. Insyallah hasil karo-karone”.
Jauh hari sebelum mengasuh PPSQ Sholahul Huda Al-Mujahidin, Tumpang, KH Is’adur Rofiq lebih dulu nyantri di PP Miftahul Huda, Gading selama kurun waktu 1988-1995 dalam periode kepengasuhan KH Abdurrochim Amrullah Yahya. Jauh hari sebelum mengemban Amanah sebagai Wakil Syuriah MWC NU Tumpang, beliau lebih dulu mengemban Amanah sebagai kepala komplek (Kaplek) Sunan Maulana Malik Ibrahim plus penanggungjawab poliklinik Pondok Gading. Sebagaimana Sahabat Santri PP Miftahul Huda sekarang, beliau dulu juga menyandang status ganda yakni sebagai santri Pondok Gading sekaligus mahasiswa Universitas Kanjuruhan Malang. Namun demikian, dua identitas yang melekat pada diri beliau – beserta kesibukan yang menyertai tak lantas menjadi penghambat dalam tholabul ilmi di Pondok Gading.
Pada kesempatan talkshow, KH Is’adur Rofiq memberikan penguatan kepada para santri yang hadir untuk kembali menyelaraskan niat mondok sesuai dawuh Kyai Yahya “Nomer siji ngaji nomer loro sekolah. Insyallah hasil karo-karone”. Sebelum bercerita ihwal pengalaman selama nyantri di Pondok Gading, KH Is’adur Rofiq mengutip QS. As-Syuro ayat 20:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ
Artinya: Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.
Berdasar pada ayat tersebut, beliau memaparkan bahwa apabila tujuan mondok di Pondok Gading hanya diniatkan untuk mengiring-iringi tujuan sekolah atau kuliah, boleh jadi yang akan didapat hanya sekolah atau kuliahnya saja. Itupun hanya sebagian. Sedangkan apabila niatnya benar-benar untuk ngaji – menimba ilmu agama di pondok, niscaya akan berhasil keduanya. Baik mondok maupun sekolah atau kuliahnya. Kurang lebih seperti itulan latarbelakang Kyai Yahya dawuh “Nomer siji ngaji nomer loro sekolah. Insyallah hasil karo-karone”.
Tak hanya memberi penguatan belaka, KH Is’adur Rofiq turut berbagi kiat-kiat kepada para santri untuk memprioritaskan Pondok Gading dibanding kegiatan yang lain. Beliau memberi perumpamaan bahwa seorang murid hanyalah setangkai bunga di taman yang dirawat oleh Sang Guru. Seorang murid akan memperoleh ilmu dengan perantara hadir di majelis ilmu, tapi ia akan mendapat sirr (rahasia) ilmu dari kesucian hati.
“Hati kita harus bersih. Pondok adalah tempat yang suci. Jangan sampai dikotori dengan hal-hal yang tidak baik. Saya yakin muassis (pendiri pondok) tidak akan ridlo” ujar beliau.
Dalam aktivitas sehari-hari, KH Is’adur Rofiq berpesan agar para santri menyelesaikan tugas di luar sebelum masuk pondok.
“Kalau sudah di pondok, konsentrasikan tenaga dan pikiran untuk pondok! Semua kegiatan pondok diikuti sampai selesai. Karena tidak ada lembaga pendidikan terbaik selain pondok pesantren sebab kita dididik 24 jam dan masih didoakan Kyai” pesan beliau.
Tak kalah penting dengan dua hal sebelumnya, yang selanjutnya adalah berkhidmah kepada masyayikh. Dalam hal ini, KH Is’adur Rofiq menukil nasehat Habib Salim bin Abdullah as-Syatiri:
خدمة المشايخ بالاخلاص من افضل ما يتقرب به الى الله
Artinya: Berkhidmah (melayani) guru dengan ikhlas, adalah salah satu cara terbaik untuk mendekatkan diri pada Allah.
Para santri sudah selazimnya senantiasa mendoakan masyayikh dan asatidz sebagai bentuk paling sederhana dalam berkhidmah. Semata untuk mencari keberkahan ilmu yang telah diperoleh. Sebab “santri iku podo karo wong nang pasar, tapi mulih e iki gak podo. Ono sing moyong-moyong, ono sing setengah-setengah, ono sing gak oleh opo-opo (santri itu sama dengan orang pergi ke pasar, tapi (yang didapat) tatkala pulang itu berbeda-beda. Ada yang moyong-moyong (membawa banyak barang). Ada yang setengah-setengah. Ada yang tidak dapat apa-apa)” ujar KH Is’adur Rofiq mengulang dawuh KH Abdurrochim yang pernah beliau terima.
Kembali pada era masyarakat 5.0, tuntutan menjadi manusia unggul yang berdaya saing global tak lantas menghambat sahabat santri dalam tholabul ilmi di Pondok Gading. Justru sebaliknya, dengan mengejawentahkan, menghidupkan dawuh Kyai Yahya “Nomer siji ngaji nomer loro sekolah. Insyallah hasil karo-karone” sahabat santri akan menjadi pribadi yang ideal di era masyarakat 5.0.
Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)