MENGGAPAI KEMULIAAN DENGAN TAFAKKUR
Tafakkur
Tafakkur (berfikir) adalah fitrah manusia, manusia dengan segala kesempurnaan penciptaannya diberi akal oleh Sang Pencipta, Allah SWT tidak lain hanyalah untuk berfikir, dengan tujuan akhir yakni untuk beribadah. Itulah peranan akal yang membedakan manusia dengan hewan. Meskipun manusia dan hewan sama-sama memiliki fungsi persepsi, keberadaan akal dan kemampuan berfikir yang telah dilimpahkan oleh Allah SWT kepada manusia menjadikan manusia sangat berbeda dengan hewan. Sungguh Maha Suci dan Maha Agung-nya Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan segala kesempurnaannya.
Dalam pengertiannya, berfikir merupakan proses yang dimaksudkan untuk mencapai pengetahuan terhadap sesuatu, dengan harapan mampu menuju ke arah yang lebih baik, dan untuk memperoleh pemahaman yang benar. Allah SWT dalam kalam-Nya, Al-Qur’anul Karim memerintahkan manusia untuk selalu berfikir, terlebih berfikir tentang keberadaan alam semesta, fenomena alam yang terus berubah dan berbeda-beda, serta merenungi dan memahami keindahan ciptaan-Nya dan keteraturan tatanan-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 64, yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta selisih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, serta apa yang Alloh turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia menghidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin serta awan yang di kendalikan antara langit dan bumi, maka sungguh (terdapat) tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang mau berfikir ”. Ayat diatas sudah sangat jelas menerangkan bahwa Allah SWT menyeru dan memerintahkan kita untuk terus berfikir, yakni terus merenung dan memahami segala kejadian yang ada di alam semesta ini. Melihat, memikirkan dan mengambil hikmah dari hal tersebut.
Sejarah berfikir sudah ada sejak zaman dahulu, semasa Nabiyullah Adam as. diciptakan. Pada saat nabi Adam diciptakan, Allah SWT telah mengilhami nabi Adam dengan kemampuan untuk berfikir. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 33, yang menceritakan tentang penolakan malaikat-malaikat Allah SWT mengenai penciptaan manusia, nabi Adam as, yang akan diamanahkan untuk mengemban tugas di bumi. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS. Al-Baqarah : 33). Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa sejarah berfikir memang sudah ada pada awal penciptaan manusia pertama, nabi Adam as. Sehingga, tidak perlu dipertanyakan lagi asal-usul kata “berfikir” dan kapan sejarah berfikir itu ada.
Selain itu terdapat pula gambaran yang terkait dalam proses berfikir, yakni dalam kisah nabiyullah Ibrahim as yang berusaha mencari kebenaran dan keesaan Rabb-nya, Allah SWT. Dengan segenap usaha berfikir, nabi Ibrahim as. melalui caranya dalam berfikir mengantarkan beliau sampai kepada mengenal Allah SWT, Dzat Yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Allah SWT berfirman : “Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku." Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar." Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”(QS. Al-An’am : 76-79).
Ayat tersebut (QS. Al-An’am : 76-79) merupakan gambaran bagaimana proses tafakkur yang dilakukan oleh nabi Ibrahim untuk mengenal Rabb-nya. Melalui proses-proses berfikir, memberikan asumsi-asumsi mengenai suatu kejadian, melakukan observasi-observasi tentang fenomena alam, serta mencari bukti-bukti tentang keesaan dan kekekalan Rabb-nya yakni dengan memperhatikan bagaimana malam menjelang dan timbulnya bintang, bagaimana munculnya bulan yang kemudian menghilang, juga mengamati bagaimana terbitnya matahari dan kemudian tenggelam. Proses-proses berfikir tersebut terus dilakukan oleh nabi Ibrahim untuk mendapatkan kepuasan tentang keesaan dan kekekalan Rabb-nya, yang pada akhirnya dengan proses-proses berfikir tersebut beliau memperoleh petunjuk kebenaran Ilahiyah mengenai wujud dan eksistensi Rabb-nya, Allah SWT. Maka, tidak perlu diragukan lagi bahwasanya dengan proses berfikir yang dicontohkan Nabi Ibrahim AS, manusia dapat menemukan suatu hal yang baru yang dapat mengantarkan kepada pemahaman dan kebenaran yang hakiki, sehingga mampu meraih kedudukan mulia disisi-Nya.
Terlepas dari kisah Nabiyullah Ibrahim AS. Sebagai manusia, kita harus ingat dan juga harus kita sadari bahwa manusia adalah tempat salah dan lupa, “Al-Insananu mahallul khoto’ wan nisyan”. Dalam proses berfikir terkadang manusia mengalami kesalahan-kesalahan. Baik itu kesalahan pemahaman mengenai suatu hal/peristiwa ataupun kesalahan pemilihan objek/hal yang ingin dipahami. Dengan adanya kesalahan yang menjadi rintangan tersebut, hal itu menyimpangkan kita dari jalan yang benar dan menghalangi untuk sampai kepada hakikat yang sesungguhnya. Sehingga, apabila telah terkumpul banyak kesalahan pada diri seseorang, proses berfikir akan mengalami stagnasi (kemandekan), dan apabila seseorang telah sampai kepada keadaan ini, maka pemikirannya telah kehilangan nilai-nilai mulia yang hakiki. Ia akan kurang bisa dan kurang siap menjalankan fungsi alaminya untuk memilah dan memilih antara haq dan yang bathil, antara kebaikan dan kejahatan, dan juga dalam menggali dan mencari kebenaran yang hakiki. Akan muncul pertanyaan, apa yang harus kita lakukan jika kita telah mencapai pada keadaan ini?, stagnasi dalam berfikir. Jawaban mengenai hal ini telah termaktub dalam Al-Qur’an dan juga telah Allah SWT perintahkan dari berabad-abad silam, yakni untuk tetap terus berusaha (berfikir), tidak gampang putus asa, terus ber-muhasabah atau introspeksi diri mengenai kesalahan-kesalahan diri, serta tetap tawakkal kepada Allah SWT seraya memohon petunjuk dan pertolongan kepada-Nya untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu Ia limpahkan kepada kita semua, sehingga kita tetap berada dalam jalur yang telah dirumuskan oleh-Nya. Amiin, Ya Robbal ‘Alamin.
Mengapa Harus Tafakkur
Dalam kitab fenomenalnya, Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghozali menjelaskan tentang keutamaan tafakkur, beliau menerangkan bahwa “faedah tafakkur adalah memperbanyak ilmu dan menarik pengetahuan yang belum berhasil dicapai”. Suatu tujuan ataupun pencapaian akan dapat dicapai jika seseorang mau dan ingin berfikir untuk mencapai tujuan itu. Karena tanpa adanya usaha untuk mencapai suatu tujuan (pencapaian), mustahil tujuan tersebut akan dapat diraih. Raihan ilmu serta pengetahuan dari proses berfikir akan mengarahkan seseorang kepada kebaikan yang pada akhirnya menuju kearah kemuliaan dan derajat tinggi disisi-Nya. Itulah kiranya jawaban utama mengapa kita harus berfikir (tafakkur), tidak lain hanyalah untuk mencapai kemuliaan disisi Allah SWT, karena kita telah menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya yakni perintah untuk terus berfikir, “afala ta’qilun”.
Selain itu, mengenai besarnya keutamaan dan manfaat dalam berfikir (tafakkur), Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al-Jawi dalam kitabnya Nashoihul ‘Ibad mengutip perkataan dari jumhur ulama yang menjelaskan adanya lima sasaran dalam berfikir. “Sesungguhnya pemikiran itu ada lima sasaran : Berfikir tentang bukti-bukti kebesaran Alloh, hal ini dapat menimbulkan tauhid dan yakin ; Berfikir tentang anugerah-anugerah Alloh, hal ini dapat menimbulkan mahabbah (cinta) dan syukur ; Berfikir tentang janj-janji Alloh, hal ini menimbulkan kecintaan hari akhirat ; Berfikir tentang ancaman Alloh, hal ini menimbulkan rasa gentar bermaksiat ; Dan berfikir tentang kekurangan diri sendiri dalam mengabdi, padahal terlalu banyak Alloh memberikan kebaikan, hal ini akan membuahkan rasa malu terhadap Alloh”.
Dari kutipan perkataan jumhur ulama tersebut, kita dapat mengambil benang merahnya yakni dengan bertafakkur pada ayat-ayat Allah SWT, maka akan mendatangkan serta melahirkan ketauhidan dan juga keyakinan dalam diri kita, akan mendatangkan kecintaan kita kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Dengan berfikir mengenai apa-apa yang diberikan oleh Allah kepada kita akan memunculkan rasa syukur kita atas pemberiaan-Nya, akan menimbulkan rasa gentar kita untuk bermaksiat, serta akan membuahkan rasa malu kita kepada Allah SWT karena rasa kurang terimakasih dan syukur kita atas segala nikmat-Nya yang tidak sebanding dengan apa yang kita lakukan.
Dan juga kewajiban dan keharusan untuk tafakkur kerap kali kita dapatkan dan kita dengar dalam lantunan ayat-ayat suci -Nya, seperti kata “afala ta’qilun”, “afala tatafakkarun”, “la’allakum ta’qilun” dan masih banyak lagi yang lainnya. Dari sini kita dapat menyimpulkan, betapa pentingnya kedudukan tafakkur dalam kehidupan ini, karena tafakkur adalah awal kita melakukan sesuatu, awal yang mengarahkan kita kepada kebaikan, awal yang menggiring kita menuju cinta Alloh dan menempati kemuliaan dan derajat tinggi disisi-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang terus dan selalu berfikir tentang semua mahluk dan ciptaan-Nya, sehingga dapat menjadikan kita orang yang beruntung karena telah menjalankan perintah-perintah Nya. Amin, Ya Robbal ‘Alamin.
Balasan Pahala bagi orang yang Bertafakkur
Allah SWT dalam kalam-Nya banyak menyinggung balasan yang akan diterima oleh hamba-hamba Nya jika mereka mau berfikir. Seperti dalam Al-Qur’an surat Al-Mu’min:54, yang artinya, “untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berfikir”.(Al-Mu’min:54). Selain itu juga balasan bagi orang-orang yang mau berfikir terdapat dalam surat Al-Jaatsiyah : 13,
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (Al-Jaatsiyah : 13). Kedua ayat diatas cukup jelas memberikan pemahaman kepada kita mengenai balasan apa yang akan diterima oleh orang-orang yang mau berfikir tentang mahluk dan ciptaan-Nya. Yakni berupa petunjuk dan rahmat dari Allah SWT. Terdapat pula hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari terkait balasan pahala yang diperuntukkan bagi orang yang berfikir (bertafakkur). Dari Abu Hurairah, Rasul SAW bersabda : “Sungguh Allah SWT telah menyatakan, barang siapa menentang kekasih-Ku, maka Aku-lah yang memeranginya. Tiada seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal ibadah sunnah yang sangat Ku senangi, sesudah memenuhi kewajibannya, sehingga Aku mengasihinya. Dan ketika Aku sudah kasih kepadanya, maka Aku-lah sebagai pendengaran dan penglihatannya, serta sebagai tangan yang dipergunakan dan kaki yang dilakukan olehnya. Dan jika ia memohon, pasti dikabulkan, dan jika memohon perlindungan, pasti dilindungi”. (HR. Bukhari)
Dari hadist yang diriwayatkan Bukhari kita dapat mengutip pernyataan “..., sesudah memenuhi kewajibannya, ...”. Kata ‘‘kewajibannya’’ dapat kita pahami, bahwa berfikir juga merupakan salah satu bentuk kewajiban kita, sebagai mahluk Allah SWT. Hal ini karena sesuai dengan firman-firman Alloh yang sering memerintahkan kita untuk terus dan selalu berfikir, “afala ta’qilun”, “afala tatafakkarun”, “la’allakum ta’qilun”. Dan balasan bagi orang yang sudah memenuhi kewajibannya adalah Allah SWT akan mengasihinya, mengabulkan permohonannya, dan juga akan selalu melindunginya. Semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh balasan pahala dari Allah SWT disebabkan kemaunan kita menjalankan perintah-Nya, yakni dengan jalan berfikir tentang segala ciptaan dan kekuasaan-Nya. Amin, Ya Robbal ‘Alamin.