Tidak dapat dipungkiri bahwa martabat keilmuan islam tergantung pada para generasi yang mempertahankannya. Agar terus terjaga, maka para pelajar islam harus mempunyai sebuah prinsip pembatasan lingkup pengetahuan. Al-Qur’an, surat Ali Imran ayat 190-191 menyatakan bahwa: ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. [3]: 190-191). Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah SWT memperbolehkan manusia untuk memikirkan ciptaannya yang ada di alam ini. Sebagai misal, manusia diciptakan dalam bentuk laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan fisik dan psikologi, gunung yang megah dan tinggi dan berbagai contoh lain. Diharapkan dengan hal itu manusia akan menjadi lebih beriman dan bertakwa pada Allah SWT. Sebaliknya, Allah kurang berkenan pada manusia yang mencari sesuatu yang tidak dapat dijangkaunya. Hal itu karena sebagian hal yang supernatural tersebut merupakan sesuatu yang transenden, yang berada jauh di luar alam. Karena tidak terjangkau akal, maka perkara-perkara tersebut kerap menimbulkan kesesatan, kesalahan tafsir. Allah berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’ [17]: 85)
Dari kedua ayat tersebut, bisa disimpulkan bahwa ajaran islam mendorong umat muslim untuk menjauhi pengetahuan yang sulit diinterpretasikan akal sehat manusia yang berpotensi fatal yakni mengakibatkan seseorang lari dari ketauhidan (keimanan). Al-Qur’an menganjurkan para ilmuwan muslim untuk lebih memperhatikan aspek fisik yang lebih nyata dan kentara manfaatnya.
Perlu digaris bawahi bahwa ajaran islam tidak bersifat memberatkan pemeluknya dalam semua aspek beragama pun ihwal pengembangan pengetahuan. Islam memberikan kelonggaran pada orang yang belum meyakini suatu ketetapan. Nyatanya, selama proses penggalian pengetahuan seringkali ditemui salah satu dari hal yang qath’i/pasti (yakin) dan dzan (ragu-ragu). Ilmu pengetahuan ada kalanya menjadi sesuatu yang pasti dan memiliki nilai kemutlakan dan kebenaran dari berbagai sudut pandang. Namun terkadang ada kalanya suatu ilmu pengetahuan hanya benar disatu sisi dan tidak benar benar disisi yang lain. Menyikapi hal tersebut, Al-Qur’an menganjurkan adanya pembatasan terhadap keshahihan dan nilai dalam memperoleh berbagai pengetahuan. Ayat berikut menjelaskan hal itu: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’ [17]: 36) juga ditambah dengan QS. An-Nur ayat 15 yakni “(Ingatlah) pada waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”.
Guna menemukan keshahihan pengetahuan, perlu kajian lanjut terhadap informasi yang masuk secara selektif dan kritis dan tetap mengedepankan keterbukaan (open mind). Implementasi sifat tersebut akan mengantarkan seorang muslim menjadi pribadi yang baik dan mempuyai intelektual tinggi. Syahdan begitu banyak pemikiran yang diterima seorang pelajar selama mengembangkan pengetahuan. Hal itu berpotensi membuat seseorang bingung membedakan manakah ilmu yang baik dan yang buruk. Tentunya hasil pemikiran yang benar dari siapapun harus diterima (taken for granted). Sebaliknya, pemikiran yang buruk dari siapapun maka harus ditolak secara saklek karena akan mempengaruhi terhadap pola pemikiran. Secara sederhana, standar keshahihan yang dapat digunakan adalah kesesuaian dengan Al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Prinsip-prinsip yang telah dikemukakan diatas bukan hanya harus dipahami oleh kaum muslim, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat mengembangkan pengetahuan yang semakin modern dalam kerangka islami
Alumni PP Miftahul Huda Gading Malang yang menekuni bidang kepenulisan.