Berbicara tentang Nabi Muhammad ﷺ sebagai Rasul pembimbing umat, kita tengah berada dalam suasana penuh kekhusyu’an dan kemuliaan di hati kita, dengan datangnya bulan kelahiran Nabiyyullah Muhammad ﷺ—bulan Rabi’ul Awal. Segala ekspresi tulus dan penghormatan dalam momentum yang bahagia ini, khususnya pada 12 Rabi’ul Awal, tentu kita turut antusias merayakan maulid Nabi sebagai bentuk rasa takdim kita dengan berbagai macam penyambutan, baik mendawamkan tradisi budaya kultural, merayakan dengan semewah-mewahnya perayaan, mulai dari safari maulid, majlis taklim, pekan-pekan maulid, perlombaan dakwah di mana-mana, festival sholawat, kirab sholawat, hingga puisi-puisi penghormatan yang didendangkan oleh penyair-penyair tanah air.
Menyikapi keagungan musim junjungan kita, Nabi yang paling mulia sebagaimana ayat “wa innaka la’ala khuluqin adhim”, mungkin di sisi lain kita berpikir bahwa mengapa Nabi Muhammad ﷺ sebagai Akromul Anbiya’ dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awal? Mengapa tidak pada bulan mulia seperti bulan Ramadhan—yang dianggap selalu istimewa? Atau bahkan pada hari yang mulia, yaitu hari Jum’at. Untuk itu, mengapa Rabi’ul Awal tidak termasuk dalam kategori syahrul harom sebagaimana Muharram, Rajab, Dzulqaidah, dan Dzulhijjah yang menakzimkan dirinya sebagai bulan mulia dalam islam?
Terdapat alasan yang sangat unggul, seperti yang dijelaskan oleh Sayyid Muhammad ibn Alawi Al Maliki dalam karyanya "adz-Dzakhâir al-Muhammadiyyah," adalah bahwa keagungan Nabi Muhammad tidak tergantung pada waktu atau masa kelahirannya. Sebaliknya, waktu tersebutlah yang menjadi mulia karena kelahiran Nabi Muhammad.
Hal yang juga berlaku pada waktu kelahirannya. Jika Nabi Muhammad dilahirkan pada bulan-bulan yang dianggap mulia, hal itu mungkin akan memunculkan pemahaman (interpretasi) bahwa kemuliaan Nabi bergantung pada bulan mulia tersebut. Oleh karena itu, Allah memilih untuk menjadikan kelahiran Nabi Muhammad pada bulan yang berbeda, yang justru memberikan keagungan dan kemuliaan pada bulan tersebut dengan hadirnya Nabi.
Selaras dengan pendapat di atas, Gus Baha dengan dawuh logisnya menekankan bahwa Allah memang berkehendak atas kemuliaan Nabi secara zatnya sendiri, sehingga tidak perlu legitimasi yang bergantung pada hari, tanggal, dan bulan tertentu.
Secara substansial, maulid sebenarnya adalah cara untuk menghormati dan mengagungkan hari-hari atau bulan-bulan yang kita alami. Meskipun istilah "hari maulid Nabi" khususnya terkait dengan bulan Rabiul Awal, ini tidak berarti bahwa rasa penghormatan kita kepada Nabi Muhammad SAW harus berakhir setelah bulan tersebut berlalu. Mungkin ada pemahaman yang salah bahwa penghormatan kita hanya berlaku pada bulan tersebut. Namun, seharusnya kita memahami bahwa setiap bulan membawa potensi untuk merasakan kemuliaan jika kita menjalankannya dengan pemikiran yang sama seperti ketika kita merayakan bulan maulid, terutama bulan Rabiul Awal. Poin pentingnya adalah bahwa kita sebagai umat Islam selalu berharap untuk mendapatkan syafaat Nabi atas tindakan baik kita, dan ini tidak harus terbatas pada bulan tertentu.
Kalau mendiskusikan syafaat Nabi, mungkin kita akan berorientasi pada istilah “pertolongan” di hari kiamat kelak, yakni menjelang pengadilan amalan (yaumul hisab). Namun, sebelum itu perlu kita telaah syafaat secara konkret seperti apa dan mekanisme syafaat bagaimana. Bisa kita gambarkan bahwa dalam analogi ini, syafaat diibaratkan dengan sebuah pusaka yang berupa pedang dan tameng. Mengapa demikian? Sebab pedang akan memberikan manfaat yang berlaku kepadanya, dan tameng berperan sebagai pencegah kemudhorotan baginya. Maka, syafaat boleh kita artikan sebagai pertolongan (penengah) bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak mudharat, yakni pemberi syafaat itu memberikan manfaat kepada orang yang diberi syafaat atau menolak madharat untuknya.
Lagi, yang perlu kita perhatikan bahwa terdapat gambaran syafaat secara umum, atau bisa dikatakan syafaat pada umumnya. Allah mengizinkan kepada salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang-orang yang diperkenankan untuk diberi syafaat. Syafaat ini diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ, nabi-nabi lainnya, ‘alim ulama’, para syuhada, dan orang-orang shalih. Sebagai contoh, kita perhatikan hadist berikut:
عَن عَلِيٍ رَضَي اللٌهُ عَنهُ وَ كَرٌمَ اللٌهُ وَجهَة قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌيُ اللٌهُ عَلَيهَ وَسَلَمَ مَن قَرأ القُرانَ فَاستَظهَرَه
فَحَلٌ حَلآلَه وَحَرٌمَ حَرَامَهُ اَدخَلَهُ اللٌهُ الجَنٌةَ وَشَفٌعَه فيِ عَشَرةَ مِن اَهلِ بَيِته كُلٌهٌم قَد وَجبت لَهُ النٌارُ
(رواه أحمد والترمذ)
Dari Ali karramallaahu wajhah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa membaca Al-Qur'an dan menghafalnya, lalu menghalalkan apa yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka Allah Ta'ala akan memasukannya ke dalam surga dan Allah menjamin untuk memberi syafaat kepada sepuluh orang keluarganya yang kesemuanya telah diwajibkan masuk neraka." (HR Imam Ahmad dan Tirmidzi). Dari penggambaran hadits tersebut, maka orang yang menghafal al-Quran berperan sebagai pemberi syafaat kepada orang yang diperkenankan untuk diberi syafaat, yaitu sepuluh ahli keluarganya yang masuk neraka.
Namun, di sisi lain—terdapat jenis syafaat yang sangat istimewa, yaitu syafaat yang diberikan secara khusus kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang dikenal sebagai syafaat terbesar atau "Syafaah al-‘udzma." Ini akan terjadi pada hari kiamat, ketika semua perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Kekhususan syafaat Nabi ini mencakup beberapa median, seperti syafaat memasukkan sekelompok orang ke dalam surga tanpa melalui proses perhitungan amal, syafaat memberikan syafaat kepada sekelompok orang yang seharusnya masuk neraka, syafaat membantu kaum muslim yang telah melakukan dosa besar, dan juga syafaat untuk meredakan siksa bagi sejumlah orang kafir, seperti yang dilakukan oleh Nabi terhadap pamannya, Abu Thalib—terhadap masalah keimanan kepada Nabi.
Ihwal syafaat Nabi yang kerap kali disangkutpautkan dengan pertolongan ketika hari kiamat, kita memang tidak dapat mengukur seberapa hebatnya sebuah syafaat itu. Akan tetapi kita dapat memahami dan merasakan syafaat Nabi ketika di dunia. Sebab itu, maka timbul sebuah pertanyaan, “apakah ada syafaat, terutama syafaat Nabi Muhammad ﷺ di dunia ini?”
Tidak ada dalil maupun syariat yang menjelaskan bahwa adanya syafaat nabi di dunia. Namun, penggambaran syafaat sebagai pertolongan di dunia memiliki relevansi dengan beberapa pendekatan dalam Islam, terutama dalam konteks penghayatan dan aplikasi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mencapai syafaat di dunia dari pendekatan yang telah disebutkan, yaitu mengikuti sunah, tuntunan, dan seluruh petunjuk yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dengan mengimplementasikan perilaku, tindakan, dan retorika yang sejalan dengan sunah Nabi, individu memiliki peluang untuk mencapai taraf moralitas, etika, dan spiritualitas yang lebih tinggi. Contoh konkretnya adalah ketika kita menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, dan kasih sayang, serta menjauhi perilaku yang merugikan (kemudharatan). Kesemua tindakan ini berperan dalam mendekatkan individu kepada prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Sebab, ketika kita secara aktif berupaya untuk menghindari dampak negatif tersebut—dalam artian menyafaatkan diri pribadi, kita akan mengalami perkembangan dalam keyakinan dan iman kita terhadap ketentuan Allah dan ajaran Rasulnya yang kuat.
Selain itu, kita dapat mengambil inspirasi dari kehidupan Nabi Muhammad ﷺ dalam berbagai aspek, seperti kemampuan bersosialisasi dengan baik, berbisnis dengan etika yang baik, dan menjalani kehidupan keluarga yang harmonis. Semua ini sesuai dengan ajaran Islam dan berperan dalam menciptakan lingkungan sosial yang positif, serta memberikan kontribusi (dampak) yang baik pada masyarakat. Namun, penting untuk diingat bahwa dalam Islam, syafaat yang paling penting dan diharapkan terjadi adalah syafaat pada Hari Akhirat. Syafaat di dunia—jika ada, merupakan rahmat dan karunia Allah yang diberikan sebagai hasil dari kebaikan dan ketakwaan seseorang. Oleh karena itu, tindakan baik dan pengamalan sunah Nabi seharusnya dilakukan dengan niat tulus dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT, tanpa mengharapkan imbalan di dunia, melainkan sebagai bekal untuk mendapatkan syafaat di akhirat.
Dalam epilog singkat ini, ketika kita merasa sukacita menyambut bulan kemuliaan, seperti bulan Maulid, itu adalah indikasi dari keterikatan batin kita yang dalam pada Nabi Muhammad ﷺ. Namun, pentingnya keterikatan tersebut adalah untuk mewujudkan perubahan konkret dalam perilaku kita yang mencerminkan nilai-nilai dan ajaran yang diterima dari Nabi. Meskipun, sebagai contoh—mungkin ada yang dengan antusias bersholawat sebagai bentuk pengungkapan cinta kepada Nabi, namun tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari tidak selaras dengan ajaran dan petunjuk Nabi. Dalam situasi seperti ini, cinta yang dinyatakan mungkin hanya sebatas upaya untuk mendekatkan diri kepada Nabi, tanpa mampu menginternalisasi ajaran tersebut dalam tindakan riil. Hasrat tersebut—dalam hal ini, menjadi terbatas pada diri mereka sendiri dan tidak menghasilkan manfaat (pertolongan) konkret bagi diri mereka sendiri maupun masyarakat. Oleh karena itu, cinta yang tulus kepada Nabi Muhammad SAW seharusnya tercermin dalam perubahan positif yang nyata dalam perilaku, tindakan kita, serta tidak hanya terhenti pada kata-kata atau pelaksanaan ritual ibadah semata. Maka, inilah yang sebenarnya menjadi hakikat dari konsep syafaat di dunia.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang