Seputar Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw.

Jumat, 22 Sep 2023, 08:12 WIB
Seputar Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw.
Buku Keutamaan dan Amaliyah Bulan Robi'ul Awal karya KH Muhammad Shohibul Kahfi

Dapat dipastikan bahwa ketika memasuki Bulan Rabi'ul Awal, umat Islam akan berbondong-bondong merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. dengan cara bermacam-macam. Adakalanya perayaan Maulid Nabi digelar secara sederhana dan ada pula yang dirayakan dengan nuansa sangat meriah. Pembacaan shalawat atau qasidah untuk memuji Nabi Muhammad dan ceramah-ceramah yang berkaitan dengan sejarah hidup beliau dipastikan menghiasi bulan mulia ini. Tulisan ini mengemukakan tentang perintis perayaan maulid dan hukum mengadakan maulid beserta alasannya.

Perintis Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Perintis penyelenggaraan perayaan maulid Nabi Muhammad Saw. adalah Raja Mudzaffar Abu Said Al-Kukburi bin Ali bin Buktikin. Imam Jalaluddin As-Suyuthi mengatakan,"Orang yang pertama kali megadakan perayaan Maulid Nabi Saw. penguasa Irbil, Raja Mudzaffar Abu Said Al-Kukburi bin Ali bin Buktikin, salah seorang raja yang mulia, luhur, dan pemurah. Beliau merayakan Maulid Nabi Saw. yang mulia pada bulan Rabi'ul awwal dengan perayaaan yang meriah" (Al-Hawi li al Fatawi, dalam Fikih Tradisionalis hal. 255).

Beliau adalah seorang raja yang saleh dan bermadzhab Ahli Sunnah, terkenal sangat pemurah dan baik hati. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabi mengatakan, "Raja agung Mudzaffauddin Abu Said Al-Kukburi bin Ali bin Buktikin bin Muhammad At-Turkamani adalah penguasa Al-Irbil. Beliau adalah seorang yang rendah hati, baik budi, seorang sunni (termasuk golongan Ahl Sunnah Wal Jamaah) dan mencintai fuqaha' dan ahli hadits. Beliau wafat tahun 136 H pada usia 82 tahun" (Tahdzib Siyar A'lam An-Nubala' dalam Fikih Tradisionalis hal. 256).

Sebenarnya, perayaan maulid sudah ada dan telah lama dilakukan oleh umat Islam. Benihnya sudah ditanam sendiri oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits diriwayatkan (oleh Abu Qathadah Al-Anshari ra.): “Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, ‘Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.”

Betapa Rasulullah Saw. begitu mengagungkan hari kelahiran beliau. Beliau bersyukur atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu diungkapkan beliau dalam bentuk puasa. Perlu diketahui bahwa puasa sejak dulu dijadikan simbol rasa syukur kepada Allah swt. Diceritakan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah Saw. dan para sahabat tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa Asyura (10 Muharram). Baginda Rasul bertanya mengapa mereka melakukan puasa tersebut. Orang Yahudi itu menjawab, “Pada hari inilah Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa As. Kami sangat mensyukurinya, oleh karena itu kami berpuasa.” Mendengar jawaban itu, Nabi Saw. bersabda , “Kami lebih berhak untuk (memuliakan) Musa As. (dengan berpuasa) daripada kalian.” Dengan begitu, beliau menganjurkan umat Islam berpuasa Asyura sebagai bentuk rasa syukur tersebut. Demikian halnya dengan puasa hari Senin, sangatlah dianjurkan sebagai rasa syukur atas kelahiran Nabi Saw. (Lihat Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Maulid Nabi Saw. dalam Muhyiddin Abdussshomad, 253: 2004).

Hukum bermaulid

Sekitar lima abad yang lalu, Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H) pernah menjawab pertanyaan seputar hukum merayakan maulid Nabi Saw. Dia menuturkan dalam kitab Al-Hawi Lil Fatawi (dalam Fikih Tradisionalis hal. 249-250), “Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi Saw. pada bulan Rabi’ul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala atau tidak? Beliau menjawab: ‘Jawabannya menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi Saw. yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi saw. sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi Saw., menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad saw. yang mulia.

Pada hakekatnya perayaan Mulid Nabi Saw. merupakan bentuk ungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad Saw. ke dunia ini. Yang wujudnya berupa, mengumpulkan orang banyak lalu diisi dengan pengajian-pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sewjarah dan perilaku Nabi Saw. untuk diteladani. Bahkan pengungkapan rasa gembira dan syukur itu memang dianjurkan bagi orang yang mendapatkan anugerah Tuhan. Hal itu dikemukakan oleh As-Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani dalam buku kecilnya, Haula Al-Ihtifal bi Dzikra Al-Maulid An-Nabawi ASyarif hal. 11. Salah seorang ulama besar tersebut mendasarkan pada firman Allah Swt: “Katakanlah (Muhammad), sebab fadhal dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian” (Q.S. Yunus: 58).

Allah Swt., dalam ayat tersebut secara tegas menyuruh umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat-Nya. Sementara rahmat Tuhan yang tiada taranya bagi umat manusia adalah Nabi Muhammad Saw., sebagaimana firman Allah Swt, “Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (Q.S. Al-Anbiya’: 107). Rahmat Allah dengan wujud keberadaan Nabi Muhammad Saw. adalah penafsiran Ibnu Abbas ra. (Ad-Durr Al-Mantsur, juz III hal. 308 dalam Fikih Tradisionalis hal. 251).

Senada dengan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, As-Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani mengatakan, “Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang lumrah terjadi. Tapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik, mengandung banyak kegunaan dan manfaat manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab, kebiasaan seperti itu memeng dianjurkan syara’ secara parsial (bagian-bagiannya). Sebenarnya perkumpulan ini merupakan sarana baik untuk berdakwah. Sekaligus sebagai kesempatan emas yang seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da’I dan ulama untuk mengingatkan umat akan akhlak, sopan santun, keadaan sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan Ibadah Nabi Muhammad Saw. Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan datangnya bala’ (ujian), bid’ah, kejahatan, dan berbagai fitnah” (Mafahim Yajib an Tushahhah, 224-226).

Seorang ulama besar lain, Ibnu Taimiyyah juga berpendapat tentang bolehnya mengadakan perayaan maulid. Dia berkata, “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi Saw. akan diberi pahala. Begitulah yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga ditemukan di kalangan Nashrani yang memperingati kelahiran Isa as. Dalam Islam juga dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw. Allah Swt. akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan” (Manhaj Al salaf Fi Fahm An-Nushush Bain Al-Nazhariyyah wa At-Tathbiq, 399).

Penutup

Sudah sewajarnya jika umat Islam merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw. sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah Swt atas keberadaan beliau, bentuk syukur atas kelahiran beliau, dan penghormatan kepada beliau. Namun pelaksanaannya tidak boleh yang bertentangan dengan syara’. Apabila dilakukan perbuatan jelek dalam rangka memperingati Maulid, maka jeleklah perayaan itu. Itulah yang dikatakan As-Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani dalam buku kecilnya, Haula Al-Ihtifal bi Dzikra Al-Maulid An-Nabawi ASyarif hal. 22. Maka hendaklah kegiata maulid dihiasi dengan membaca shalawat, mengkaji sejarah Nabi Saw, sedekah, dan lain sebagainya yang dianjurkan syari’at Islam.

rabiul awal  Pondok Pesantren Miftahul Huda  Pondok Pesantren Gading  Nabi Muhammad SAW  Maulid Nabi Muhammad SAW  Maulid Nabi Muhammad  maulid nabi  Dakwah Santri 
Muhammad Athoillah

Penulis adalah Staf Pengajar SMP Islam Sabilillah Malang dan Ustadz Pengajar di Madrasah Matholi’ul Huda Pondok Pesantren Miftahul Huda

Bagikan