Telah datang pada kita kabar bencana alam yang semakin intens dari waktu ke waktu. Salah satu pemicunya adalah akibat kelalaian manusia dalam menata sekaligus mengelola lingkungan hidup yang saat ini telah mencapai kondisi krisis. Sebagai misal adalah jumlah kejadian banjir, kekeringan, dan kebakaran lahan yang banyak terjadi belakangan ini di berbagai belahan dunia. Bahkan musibah wabah pandemic Covid-19 apabila diambil benang merahnya juga timbul akibat keserakahan manusia dalam mengekploitasi alam. Selain kerugian material, kejadian bencana juga menjadi penghambat optimalisasi ibadah seorang hamba. Sebagaimana yang sedang dialami umat islam saat ini di tengah wabah Covid-19.
Tanggungjawab pelestarian lingkungan adalah sesuatu yang wajib bagi segenap umat manusia, termasuk pula umat islam. Bahkan cendekiawan muslim Syekh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya yang berjudul Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari'ah al-lslam (diterjemahkan menjadi Islam Agama Ramah Lingkungan) menjelaskan bahwa menjaga lingkungan memiliki urgensi yang sama dengan menjaga jiwa. Sebab kerusakan lingkungan akan mengganggu keseimbangan ekosistem dan dapat membahayakan kehidupan manusia. Tak hanya itu, Al-Qaradhawi turut menyertakan pula bahwa menjaga lingkungan juga berkedudukan sederajat dengan menjaga harta. Argumentasinya berangkat dari konsep bahwa Allah SWT membekali manusia dengan harta untuk menjalani kehidupan di bumi. Perlu dipahami bahwa harta yang dimaksud bukan sebatas berupa uang, melainkan juga segala komponen bumi seperti pohon dan tanaman pun adalah bentuk harta anugrah Allah SWT.
Anjuran untuk melestarikan lingkungan tertuang dalam hadits Rasulullah SAW yang menekankan kepada para sahabat beliau: " Apabila engkau hidup pada suatu masa/saat, dan di tanganmu ada bibit tanaman, sedangkan engkau mampu untuk menanamnya, maka tanamlah, yang demikian itu akan mendapatkan pahala (dari Allah SWT)". Selain itu, Imam Abu Hayyan Al-Andalusi dalam kitab tafsirnya Al-Bahru al-Muhith juga membahas relasi manusia-lingkungan dengan menafsirkan Q.S Al-Araf ayat 56:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik".
Dalam tafsirnya, Beliau menyatakan bahwa ayat ini merupakan bentuk penegasan atas larangan semua bentuk kerusakan. Maka dari itu dapat dikatakan pula bahwa membunuh jiwa, keturunan, harta benda, akal, dan agama merupakan perbuatan yang dilarang.
Berdasar pada paparan diatas, jelas bahwa ajaran islam lekat sekali dengan upaya pelestarian lingkungan. Dalam hal ini peran pemuka agama seperti para imam, da’i, muballigh, serta khatib menjadi sentral terutama dalam menyebarluaskan gaya hidup hijau sebagaimana yang telah terlaksana dalam konferensi internasional di Bonn, Jerman pada 2019 bertajuk “Keeping Faith in 2030, Religions and Sustainable Development Goals”. Di Indonesia, upaya mendakwahkan islam sebagai agama ramah lingkungan terwujud dalam gerakan EcoMasjid. Kehadiran gerakan ini diinisiasi oleh Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLHSDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Konsep EcoMasjid bertujuan untuk menjadikan masjid bukan hanya tempat ibadah melainkan juga pusat pendidikan, dalam hal ini pendidikan lingkungan hidup dan peningkatan kesadaran umat untuk aktif menjaga alam sehingga gaya hidup hijau dapat diaktualisasikan dengan semangat islami. Bukti kepedulian masjid terhadap lingkungan dapat direalisasikan melalui pengembangan fasilitas ramah lingkungan terkait energi dan air, seperti misalnya pemberdayaan listrik surya dan biogas- sebagaimana yang sudah terwujud di Masjid Istiqlal DKI Jakarta, pengadaan sarana pengelolaan sampah, sumur resapan, keran hemat air wudlu, pembangkit listrik dari sampah dan pemanenan air hujan.
Di samping menggiatkan dakwah lingkungan secara kolektif melalui lembaga masjid, kiranya sebagai segenap umat muslim perlu mengamalkan gaya hidup hijau secara personal. Perubahan perilaku kita masing-masing terhadap upaya konservasi merupakan hal yang paling efektif dalam mengatasi degradasi lingkungan hidup. Tiap individu harus menjadi teladan dalam konservasi lingkungan yang dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, hingga kemudian meluas kepada masyarakat setempat. Banyak pakar lingkungan berpendapat bahwa tindakan praktis dan teknis perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya air dengan bantuan sains dan teknologi ternyata bukan solusi yang tepat. Yang dibutuhkan adalah perubahan perilaku dan gaya hidup yang beretika. Selain itu, bukankah keberhasilan menciptakan kehidupan yang ramah lingkungan merupakan penjelmaan dari hati bersih dan pikiran jernih umat? Maka sudah kewajiban kita mengupayakan lingkungan hidup yang asri dan lestari dengan orientasi baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghafur. Wallahua’lam
Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Bersama beberapa sahabat santri PPMH bergiat di Komunitas Peparing (Penulis Pesantren Gading)