Laju perkembangan zaman selalu menuntut manusia untuk terus beradaptasi. Apa yang terjadi di era digitalisasi ini, semua lini masyarakat seolah-olah diwajibkan untuk terus meng-upgrade dirinya agar tidak kadaluarsa. Tak santri. Sebagai bagian dari komunitas masyarakat agama, santri tidak hanya dituntut untuk mendalami ilmu agama saja (sebagai penerus para ulama), tetapi juga belajar untuk peka dan melek teknologi. Pentingnya meningkatkan kemampuan santri di bidang teknologi dan informasi yang dirasakan pula oleh KH. Taj Yasin Maemun Zubair. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh LP3MH Pondok Pesantren Miftahul Huda bertajuk “Optimalisasi Media Sosial di Pondok Pesantren”, KH. Taj Yasin MZ menambahkan bahwa santri harus berkembang mengikuti zaman.
Beliau memulai seminar dengan menjabarkan bahwa ada dua jenis ilmu di dunia ini. Pertama, Ilmu Wajib. Ilmu ini harus dipelajari oleh setiap manusia. Ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori ini adalah ilmu syariat, ilmu aqidah dan ilmu lain yang berkaitan erat dengan agama Islam. Kedua, ilmu sunah. Ilmu ini hukumnya sunah untuk dipelajari. Meskipun tidak diwajibkan, ilmu kategori ini tidak serta merta dipandang sebelah mata. Peran ilmu-ilmu sunah ini besar dalam dakwah Islam, misalnya saja adanya ilmu kedokteran, farmasi, kebidanan, kebijakan publik dan lain sebagainya yang menunjang kehidupan manusia di dunia. Banyak ilmu yang statusnya sunah tapi berdampak besar bagi manusia dan umat Islam.
Ilmu tentang media sosial juga masuk dalam kategori kedua ini. Ilmu ini hukumnya sunah untuk dipelajari. Meskipun tidak diwajibkan, ilmu kategori ini tidak serta merta dipandang sebelah mata. Peran ilmu-ilmu sunah ini besar dalam dakwah Islam, misalnya saja adanya ilmu kedokteran, farmasi, kebidanan, kebijakan publik dan lain sebagainya yang menunjang kehidupan manusia di dunia. Banyak ilmu yang statusnya sunah tapi berdampak besar bagi manusia dan umat Islam. Ilmu tentang media sosial juga masuk dalam kategori kedua ini. Ilmu ini hukumnya sunah untuk dipelajari. Meskipun tidak diwajibkan, ilmu kategori ini tidak serta merta dipandang sebelah mata. Peran ilmu-ilmu sunah ini besar dalam dakwah Islam, misalnya saja adanya ilmu kedokteran, farmasi, kebidanan, kebijakan publik dan lain sebagainya yang menunjang kehidupan manusia di dunia.
Banyak ilmu yang statusnya sunah tapi berdampak besar bagi manusia dan umat Islam. Ilmu tentang media sosial juga masuk dalam kategori kedua ini. Banyak ilmu yang statusnya sunah tapi berdampak besar bagi manusia dan umat Islam. Ilmu tentang media sosial juga masuk dalam kategori kedua ini. Banyak ilmu yang statusnya sunah tapi berdampak besar bagi manusia dan umat Islam. Ilmu tentang media sosial juga masuk dalam kategori kedua ini.
Media Sosial dan Budaya Pesantren Keilmuan
Pesantren yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, pada titik dan kondisi tertentu memiliki resistensi terhadap perubahan zaman (produk-produk budaya yang dihasilkan oleh manusia seiring berkembangnya zaman). Dalam hal ini, media sosial yang semakin hari akrab dengan kita, juga luput dari hal itu. KH Taj Yasin menjelaskan bahwa ada banyak pendapat ulama tentang penerapan teknologi informasi seperti media sosial dalam kegiatan ngaji di pesantren.
Perbedaan pendapat tersebut muncul juga karena pertimbangan masing-masing ulama. Ada ulama yang bertujuan membentengi secara tegas tentang penggunaan internet/media sosial. Pemakaian media sosial (yang dulu masih terbatas) dalam kegiatan belajar mengajar di pesantren, menurut beberapa ulama bisa mengurangi kebarokahan ilmu. Dan juga, jika hanya mengandalkan suara dari jarak jauh, maka metode talaqqi tidak bisa diterapkan. Metode talaqqi adalah cara belajar agama kepada guru secara langsung dan tidak hanya memperhatikan ucapan, tetapi juga gerakan anggota tubuh gurunya. Namun, saat permasalahan ini bisa diselesaikan dengan adanya Youtube. Aplikasi vidio yang sangat populer tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alat penyebarluasan ilmu-ilmu para ulama.
KH Taj Yasin menambahkan, pentingnya pemanfaatan media sosial juga sebagai upaya mengumpulkan ilmu-ilmu para ulama yang tersebar di berbagai tempat. Aplikasi vidio yang sangat populer tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alat penyebarluasan ilmu-ilmu para ulama. KH Taj Yasin menambahkan, pentingnya pemanfaatan media sosial juga sebagai upaya mengumpulkan ilmu-ilmu para ulama yang tersebar di berbagai tempat. Aplikasi vidio yang sangat populer tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alat penyebarluasan ilmu-ilmu para ulama. KH Taj Yasin menambahkan, pentingnya pemanfaatan media sosial juga sebagai upaya mengumpulkan ilmu-ilmu para ulama yang tersebar di berbagai tempat.
Media sosial juga bisa menjadi alat untuk mengomunikasikan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan-perbedaan pendapat itu sudah menjadi sunnatullah yang perlu kita manajemen. Perbedaan suatu masalah. Yang mungkin menjadi masalah adalah bagaimana sikap kita atas perbedaan tersebut. Media sosial, dalam konteks ini, mampu menjadi jembatan komunikasi atas sekat-sekat perbedaan pandangan ulama tersebut. inipun juga menjadi salah satu misi dari Komunitas Santri Gayeng Nusantara yang dikomandoi oleh KH Taj Yasin MZ. Dengan adanya wadah untuk menyebarluaskan ceramah-ceramah ulama tersebut, masyarakat akan mudah memahami pesan-pesan yang disampaikan oleh para ulama.
Media sosial juga bisa menjadi penyalur ilmu para ulama nusantara kepada masyarakat luas. ini adalah hal yang penting. Karena jika melihat bagaimana agama Islam berkembang di masyarakat saat ini lebih kepada pemahaman yang letterlijk. KH Taj Yasin mencontohkan bagaimana perbedaan pemahaman yang tekstual dengan pemahaman yang kontekstual terkait pemaknaan sebuah ayat al-Qur'an.
Contohnya adalah surat at-Takwir ayat 3 “Wa Idza al-Jibalu Suyyirot”. Ayat ini ketika diterjemahkan secara leterlek maka maknanya adalah gunung-gunung yang berjalan/dihancurkan (mbledos). Kata-kata yang sering muncul hanya di jumpai sebagai peristiwa alam gunung meletus. Lalu, bagaimana jika gunungnya bukan gunung berapi? Arti ayat ini bisa melihat makna yang lain, seperti gunung-gunung yang berjalan/dihancurkan (mledos) itu bisa jadi karena aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan dan menyebabkan gunung tersebut hancur. Ini merupakan tafsiran progresif yang juga menginklusi dampak dari tindakan manusia sebagai faktor kerusakan lingkungan. Pada titik ini, isu ekologis benar-benar diperhatikan dalam Islam.
Media Sosial Sebagai Medan Juang Santri
Dalam kesempatan ini, Ustadz Abas, salah satu narasumber seminar yang juga merupakan kepala STAI Tanbihul Ghofilin Banjarnegara, menyampaikan urgensi bermedia sosial bagi para santri. Pentingnya belajar ilmu per-medsos-an ini dilatarbelakangi oleh beberapa fenomena yang sekarang sedang hype . Pertama, media sosial yang menjadi wadah yang mumpuni efektif untuk berdakwah agama Islam saat ini didominasi oleh orang-orang yang otoritas keagamaannya tidak. Banyak gambar, latar belakang keilmuannya tidak jelas, malah lebih populer ceramahnya publik di tengah masyarakat.
Kedua, kepercayaan diri santri pondok pesantren untuk berdakwah di media sosial masih rendah. Banyak santri alumni pondok pesantren yang merasa malu, merasa tidak mampu dan tidak takut bertindak, sehingga memandang sebelah mata peluang dakwah dengan media sosial ini.
Ketiga, tren keislaman yang saat ini berkembang di masyarakat, utamanya masyarakat kelas menengah perkotaan, identik dengan Islamisme formal dan simbolik. Hal itu kemudian memunculkan banyak tren lain yang berkaitan dengan eksistensi individu sebagai seorang muslim 'sejati'. Kita tentu sering mendengar kata 'hijrah' atau cara berpakaian yang tidak hanya sekedar menutup aurat, tetapi juga memberi kesan simbolik identitas keislaman. Sehingga saat ini marak kita temui adanya produk-produk seperti sandal islami, tas islami, celana islami, kulkas halal dan lain sebagainya.
Kita tentu sering mendengar kata 'hijrah' atau cara berpakaian yang tidak hanya sekedar menutup aurat, tetapi juga memberi kesan simbolik identitas keislaman. Sehingga saat ini marak kita temui adanya produk-produk seperti sandal islami, tas islami, celana islami, kulkas halal dan lain sebagainya. Kita tentu sering mendengar kata 'hijrah' atau cara berpakaian yang tidak hanya sekedar menutup aurat, tetapi juga memberi kesan simbolik identitas keislaman. Sehingga saat ini marak kita temui adanya produk-produk seperti sandal islami, tas islami, celana islami, kulkas halal dan lain sebagainya.
Fenomena-fenomena tersebut kemudian juga diikuti oleh masalah internal para santri. Persoalan ini sebenarnya juga menjadi faktor penghambat mengapa saat ini konten-konten dakwah santri tidak bisa mendominasi di media sosial. Sebagai produk pesantren yang ilmiah agamanya telah diasah sedemikian rupa menggunakan metode pembelajaran yang khas – bandongan, sorogan dan uswah kyai, ketidakpercayaan diri santri harus segera diatasi.
Secara keilmuan dan pemahamannya, santri lebih jelas daripada figur publik yang seringkali viral di media sosial. Kita harus yakin ini bukan bagian dari riya' tetapi merupakan strategi baru untuk berdakwah agar lebih efektif. Memang, santri tidak sepenuhnya tenggelam di media sosial. Ada banyak akun-akun media sosial berbasis santri dan pesantren yang juga memiliki jumlah pengikut yang besar dan impresi yang tinggi. Namun, yang menjadi persoalan adalah substansi kontennya. Konten-konten berkaitan dengan santri yang saat ini sering viral di media sosial adalah berkutat pada isu-isu romantisme ala pesantren antara santri putra dan putri (isu-isu bucin). Memang tidak ada yang salah dengan itu, tetapi jika melihat potensi kelimuan para santri, tentunya bisa lebih mengembangkan konten pada isu-isu yang lebih substansial.
Pelabelan Santri
Masalah lain yang masih menjadi perhatian dunia santri adalah pelabelan negatif. Yang paling sering diungkapkan kepada santri adalah anggapan bahwa santri hanya memahami persoalan agama saja. Meskipun ini tidak keliru, tetapi juga membahayakan. Mengapa? Di dalamnya terdapat pola pikir dikotomisasi ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dalam pendidikan pesantren. Pemilahan ini seolah memberi label di pesantren bahwa hanya pelajaran agama yang diajarkan di dalamnya. Padahal, pesantren mengajarkan banyak ilmu. Tidak hanya agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, misalnya wirausaha, manajemen organisasi, manajemen keuangan, dan masih banyak lagi. Sebagian besar dari ilmu-ilmu tersebut diperoleh santri dengan cara mengabdi dan praktik dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis pelabelan tersebut juga berhubungan dengan melihat masalah lain. Sebagian orang masih menganggap bahwa santri itu hanya lakon pinggir jalan dan tidak pantas untuk memimpin. Pandangan itu penulis rasa tidak benar-benar ada. Memimpin di sini bisa diterjemahkan dalam banyak konteks. Bisa jadi dalam konteks politik, sosial-keagamaan ataupun keluarga. Dalam konteks politik, tentu anggapan ini tidak tepat. Bisa kita lihat banyak santri yang menduduki jabatan pemerintahan, seperti Gus Taj Yasin (Wakil Gubernur Jawa Tengah), Bu Nyai Khofifah (Gubernur Jawa Timur), KH Ma'ruf Amin (Wakil Presiden RI) dan banyak lagi. Hanya saja yang menjadi masalah, tokoh-tokoh tersebut tidak banyak terekspose di media sosial. Resonansinya rendah bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain.
Dalam konteks sosial-keagamaan, santri juga punya modal besar untuk menjadi pemimpin. Ada banyak komunitas keagamaan ataupun perkumpulan di masyarakat yang menjadikan santri sebagai pemimpin. Misalnya saja, tokoh kampung sering kali adalah santri jebolan pondok pesantren yang kemudian dipanggil ustadz/kiai oleh masyarakat karena kealimannya, atau pemimpin jama'ah sholawat dan lain sebagainya. Dalam konteks keluarga, tidak diragukan lagi. Santri dibekali ilmu yang mumpuni untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Sebagai pranata sosial, membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah hal yang penting. Intinya, ilmu yang diajarkan di pesantren mencakup semua aspek kehidupan bermasyarakat karena sejatinya pesantren adalah miniatur kehidupan masyarakat. Sekarang, tidak ada alasan lagi bagi santri untuk minder dalam berdakwah.
Ada banyak komunitas keagamaan ataupun perkumpulan di masyarakat yang menjadikan santri sebagai pemimpin. Misalnya saja, tokoh kampung sering kali adalah santri jebolan pondok pesantren yang kemudian dipanggil ustadz/kiai oleh masyarakat karena kealimannya, atau pemimpin jama'ah sholawat dan lain sebagainya. Dalam konteks keluarga, tidak diragukan lagi. Santri dibekali ilmu yang mumpuni untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Sebagai pranata sosial, membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah hal yang penting. Intinya, ilmu yang diajarkan di pesantren mencakup semua aspek kehidupan bermasyarakat karena sejatinya pesantren adalah miniatur kehidupan masyarakat. Sekarang, tidak ada alasan lagi bagi santri untuk minder dalam berdakwah.
Keluar Dari Zona Nyaman
Santri harus mengikuti perkembangan zaman. Termasuk Adaptasi dengan media baru dalam berdakwah. Mengingat masih banyak masalah terkait pengembangan dakwah di media sosial, perlu kiranya ada upaya konsisten dan strategi terencana yang harus dilakukan. Ustadz Abas telah merinci strategi untuk mengembangkan potensi santri dan memperluas zona nyaman dalam berdakwah. Strategi tersebut antara lain:
Mengenalkan manfaat dan kemajuan teknologi informasi kepada para santri dan pondok pesantren agar melek digital.
menciptakan tokoh-tokoh dari kalangan Nahdliyin di ranah media sosial
Gerakan serempak santri untuk mengangkat dan amplifikasi dawuh atau ngaji dari masing-masing Kyai mereka
Mempopulerkan budaya santri melalui media sosial
Implementasi santri 4.0
Memperkuat jejaring santri dan pesantren.
Mengangkat tokoh-tokoh nasional yang berlatarbelakang santri agar dikenal masyarakat luas dan kelompok milenial
Penulis adalah santri PP. Miftahul Huda, Gading Malang. Saat ini ia juga aktif sebagai asisten peneliti di Pusat Studi Pesantren Universitas Brawijaya. Bisa dihubungi melalui akun IG @abdansss atau surel abdanz01@gmail.com