Manusia Pancasila?

Rabu, 01 Jun 2022, 13:48 WIB
Manusia Pancasila?
Garuda Pancasila, Lambang Negara Indonesia

Apa yang tergambar di benak Anda Ketika mendengar istiah “Pancasila”? apakah burung Garuda ? Padi rantai bintang, pohon beringin, dan kepala banteng? Atau barangkali Anda terniang dengan kalimat yang berulang-kali diucapkan ketika upacara di sekolah? Yang pasti, interpretasi Pancasila lebih dari sekedar gambaran ataupun imajinasi belaka. Ia merupakan dasar negara kita tercinta-Indonesia, landasan dan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara.

Sejarah telah mencatat, betapa lahirnya Pancasila berasal dari buah pemikiran mendalam dari founding fathers, para pendahulu pendiri bangsa. Pemikiran yang dilandasi dengan ketaqwaan dan ketulusan dalam berjuang, disertai dengan hati yang jernih melahirkan sebuah gagasan luar biasa yang mewakili karakter kuat nan khas manusia Indonesia. Rasanya tidak mungkin Pancasila bisa se-relevan dan kokoh hingga sekarang jika bukan karena karunia Tuhan sehingga para founding fathers kita dahulu diberikan kemampuan berpikir mendalam disertai dengan kejernihan hati yang bisa menghasilkan ideologi besar bernama Pancasila. Jenderal Moh. Yamin, Soepomo, dan Ir. Soekarno merupakan tiga tokoh diantara pencetus dan penggagas Pancasila. Seorang ulama kawakan, Kiai Wahid Hasyim, putra Hadratus Syeikh KH. Hasyim Ay’ari juga terlibat dalam perumusan Pancasila sebagai anggota Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan konsesus bernama Piagam Jakarta. Di dalam piagam Jakarta ini lah, pertama kalinya Pancasila dituangkan sebelum kemudian terjadi perubahan pada sila pertama.

Layaknya Piagam Madinah, Pancasila merupakan konsesus kebangsaan yang disepakati oleh para pendiri bangsa yang terdiri dari para ulama’ dan aktivis nasionalis. Para ulama’ yang terlibat dalam pendirian NKRI tentu sangat paham agama dan fikih siyasah sehingga negara berlandaskan Pancasila tidak sampai menyalahi syariat Islam. Bahkan, justru syari’at dan nilai-nilai Islam menjadi jiwa bagi Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial merupakan nilai-nilai universal Islam yang terdapat dalam Pancasila. Sesungguhnya, konsensus kebangsaan ini sedikit banyak diilhami oleh Piagam Madinah. Jika dahulu, Nabi Muahammad mendirikan negara kesepakatan (Darul Mitsaq) bersama umat beragama, suku, dan kabilah-kabilah di Madinah berdasarkan Piagam Madinah (Mitsaq Madinah). Serupa, di Indonesia juga memiliki konsesus kebangsaan yang bernama Pancasila. Seluruh bangsa di dalamnya, tak terkecuali, dilindungi oleh negara selama mereka tidak melanggar kesepakatan dan hukum yang berlaku secara norma, legal, dan etika.

Tentu saja penulis tidak bermaksud membandingkan atau menyamakan antara produk kesapakatan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah dengan produk ulama Indonesia dalam Pancasila. Namun, Ulama Indonesia hanya mengambil inspirasi dalam praktik pendirian negara Madinah yang dilakukan oleh Nabi. Kendati demikian, nilai-nilai Islam tetap menjiwai praktik konsesus warga negara dalam Piagam Madinah maupun Pancasila.

Melirik Argumen Kiai Afifudin Muhajir

Dewasa ini, seorang ulama terkemuka yang akrab disapa dengan Kiai Afif memiliki argumen yang menarik tentang Pancasila. Dalam pandangan Prof.Dr. Imam Ghazali Said, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya, argumen Kiai Afif tentang negara Pancasila sangat menarik. Pasalnya, Kiai Afif membangun argumen bukan sekedar “menempel” ayat atau hadits pada butir-butir Pancasila semata, melainkan beliau lebih memilih secara metodologis dengan pendakatan ushul fikih.

Berbicara terkait Pancasila, mula-mula Kiai Afif memetakan tentang fikih dalam Islam dibagi menjadi dua. Fikih ibadan dan fikih muamalah. Dalam pandangan beliau, keduanya memiliki kesamaan juga memiliki banyak perbedaan. Salah satunya adalah dari segi jangkauannya. Jika fikih ibadah sifatnya terbatas, maka fikih muamalah sangat terbuka luas. Keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam kaidah pokok yang dipakai. Fikih ibadah menggunakan kaidah pokok yang menekankan pada pemahaman dogmatis.


الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَاني

“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada orang mukallaf adalah penghambaan-dogmatis bukan menoleh kepada substansi."

Sementara itu, dalam muamalah kaidahnya adalah:


لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي دُونَ التَّعَبُّدِ، وَالْأَصْلَ فِيهَا الْإِذْنُ حَتَّى يدل الدليل على خلافه

”Konsep dasar dalam fikih muamalah adalah berpijak pada substansi bukan dogmatis. Dan asal dari fikih muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang memerintah sebaliknya”

Jadi dalam dua ranah itu, ada prinsip dalil yang berbeda. Jika dalam fikih ibadah menggunakan dalil wujudi atau al-ilmu bi wujudi al-dalil, yakni pengetahuan terhadap dalil yang membolehkan. Sementara dalam muammalah adalah dalil adami atau al-ilmu bi adami al-Dalil, yani cukup tahu bahwa tidak ada dalil yang melarang, maka waqi’iyah atau praktik dalam kehidupan dapat dilaksanakan. Dari situ, dapat diambil kesimpulan bahwa jangkauan dalam fikih muamalah luas tak terbatas. Jika dalam fikih ibadah haruslah dikonfirmasi langsung oleh dalil dan yang dilihat adalah bentuk atau format, maka dalam fikih muamalah cukup tidak ada dalil yang melarang serta pemahaman mengenai isi dan substansi.

Dalam kajian hukum Islam, penyelenggaran bernegara termasuk dalam kategori muamalah. Nilai-nilai Islam seperti keadilan (al-Adalah), kesetaraan (al-Musawah), dan permusyawaratan (al-Syuro) merupakan prinsip-prinsip dasar dalam muamalah yang disebutkan oleh Abdul Wahhab Khallaf. Maka ketentuan mengenai seluk beluk politik dan system pemerintahan tidak memerlukan dalil sorih secara terperinci dan mendetail. Kita cukup menggunakan kaidah universal tentang kemaslahatan yang dituangkan secara verbal dalam bentuk dalil kulliyah. Sementara terkait detail teknis-operaionalnya, Islam sangat akomodatif dan kompatibel dengan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ketatanegaraan. Alasan ini bisa diterima mengingat dalam persoalan muamalah selalu mengalami perkembangan sesuai dengan waktu, tempat, dan kemaslahatan manusia.  

Dari alur berpikir di atas, Kiai Afif mengajak kita untuk menerima bahwa Pancasila sebenarnya sudah sah secara syariat. Sebab, tidak ada dalil yang melarang baik dari Al-Qur’an maupun al-Sunnah. Maka, gerakan-gerakan yang bersifat destruktif seperti Khilafah, dan kampanye NKRI Syariah, adalah tidak perlu. Seperti yang kita tahu, NKRI bersyariah adalah mengenai penerapan sanksi jinayah seperti dalam bunyi verbal dalil misalnya saknsi rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, qisos dsb.

Jika mau demikian, alur berpikirnya juga harus konsisten. Hukum pidana yang mau diterapkan secara syariah maka proses pembuktiannya juga harus sesuai dengan syariah pula. Misalnya dalam kasus berzina, sanksi jilid ataukah rajam yang dijatuhkan harus memenuhi syarat adanya pengakuan dari empat orang saksi yang melihat langsung perzinaannya, dengan mata kepala, dan dalam waktu yang bersamaan. Belum lagi, mereka semua haruslah orang-orang yang adil berintegritas tinggi. Tentu syarat ini tampak sangat sulit dipenuhi.

Di samping beratnya syarat pembuktian di atas, Kiai Afif juga menambahkan alasan problematik, bahwa ada hal lain yang menyebabkan hukuman had tidak mudah diterapkan seperti persyaratan harus tidak adanya syubhat, yaitu tidak adanya kesangsian yang meliputi situasi dan kondisi Ketika kasus kejahatan itu terjadi. Sebagaimana dahulu, Sayyidina Umar bin Khattab sebagai Amir al-Mu’minin pernah tidak melaksanakan qisos potong tangan kepada pencuri yang bertepatan dengan masa paceklik.

Jika demikian, maka bukan NKRI bersyariah dalam artian sempit yang perlu digelorakan, akan tetapi penerapan syariat secara universal yang mencakup keadilan, kesataran, rasa aman dan nyaman bagi seluruh umat manusia dalam kehidupan bernegara. Meminjam istilah dari Kiai Afif, yang justru perlu digelorakan adalah tarbiyah Islamiyah, seperi yang dilakukan di pesantren-pesantren dalam bidang pendidikan dan pemahaman keislaman secara komprehensif. Bukan NKRI bersyairah maupun Khilafah yang seringkali memahami agama secara tekstual dan parsial.

Dari keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pancasila sebagai dasar negara dalam pandangan Kiai Afif adalah sudah sah secara ajaran Islam. Dalam terminologi fikih, Pancasila masuk dalam segmen muamalah. Sementara dalam muamalah, kebahsahan suatu perkara tak perlu menunggu dalil sharih, cukup dengan tidak ada dalil yang melarang.

Manusia Pancasila: Sebuah Pengamalan

Sebagai manusia yang hidup dan beraktivitas di tanah air Indonesia, negara ini memiliki dasar negara berupa Pancasila. Hal itu berarti manusia didalamnya memiliki landasan hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, atau penulis sebut dengan istilah “Manusia Pancasila”. nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila harus melekat dalam kepribadian manusia Indonesia, karena hal itu merupakan kesepakatan kita bersama, dasar dan landasan hidup kita dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” harus tercermin dari keimanan dan ketaqwaan. “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” harus tercermin dari sifat ruhama kita dan adab-akhlaqul karimah. “Persatuan Indonesia” harus tercermin dari sifat ukhuwah kita, baik ukhuwah insaniyah, wathoniyyah, maupun islamiyyah. “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Khidmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” harus tercermin dari sikap tawadhu’, menghargai pendapat orang lain, serta menjauhkan diri dari sifat ananiyah-ego yang tinggi demi kemaslahatan bersama.  Dan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” harus-lah tercermin dari sikap adil para pemimpin, ta’awun antar masyarakat, dan juga sifat shiddiq-amanah dengan tidak melakukan korupsi.

Pancasila sebagai dasar negara memang sudah final dan selesai, namun dalam hal sebagai produk. Sementara Pancasila sebagai proses tidak akan pernah selesai. Kita dan semua elemen bangsa masih harus terus mengisi ruang-ruang kehidupan bernegara dengan hal-hal positif, pemenuhan pendidikan, keadilan hukum, pemerataan ekonomi, politik yang sehat, kesejahteraan, kemakmuran, kejujuran dan nilai positif lainnya. Nilai-nilai positif itu harus terus diperjuangkan sampai kapanpun, dimana pun. Tinggal sekarang tanyakan pada diri kita. Masih maukah kita menerima Pancasila sebagai “simbol-pajangan” belaka? Selamat Hari Pancasila! Selamat menunaikan ibadah Pancasila!

Hikmah  Dakwah Santri 
Bagikan