Ajaran filsafat stoisisme (stoicism) menyeruak menjadi bahan perbincangan kaum muda seiring kecenderungan generasi milenial merasa khawatir tertinggal kabar atau trend yang sedang berlangsung (fear of missing out). Kondisi ini kerap dirasakan oleh generasi muda yang aktif bermedia sosial. Lebih lanjut, tidak dapat dipungkiri bahwa platform media sosial perlahan menjelma arena perlombaan untuk menjadi yang paling update informasi tertentu. Selain itu, seringkali unggahan foto atau video menimbulkan rasa iri dan rendah diri bahkan membuat seseorang merasa hidupnya tak lagi semenyenangkan orang lain, abai atas penerimaan diri, juga merasa tidak pernah cukup dengan segala yang dimiliki. Pada momen seperti ini, stoisisme naik daun sebagai salah satu ajaran yang menawarkan metode menjalani hidup bahagia nyaris serupa ajaran sufisme atau thariqah dalam khazanah islam.
Stoisisme pertamakali diperkenalkan oleh Zeno (335—263 SM) dari Citium, Yunani Kuno pada abad 300 SM. Lantas sekitar abad ke-2 SM minat stoisisme mulai meluas sampai menyentuh wilayah Romawi. Penerimaan stoisisme tidak terlepas dari ajarannya yang sangat berfokus pada emosi manusia terutama mengenai pengendalian emosi negatif, yang menurut stoik – penganut ajaran stoisisme – merupakan sumber ketidakbahagiaan. Puncak dari ajarannya mengarah pada ketenangan hidup, kecukupan hidup, kedamaian hati dan pikir, tidak takut akan kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian. Tidak mengherankan jika kemudian stoisisme menjadi ajaran inklusif yang diterima oleh semua kalangan. Beberapa tokoh besar stoisisme antara lain: Seneca (ahli tata Negara), Epictetus (budak), dan Marcus Aurelius (Kaisar Romawi). Berselang kurang lebih 9 abad setelahnya, islam hadir dengan membawa ajaran qanaah yang selaras dengan doktrin stoisisme.
Selain itu, stoisisme juga menyatakan bahwa keharmonisan alam bukan suatu kebetulan belaka, tetapi ada Logos yang membersamai alam raya ini. Logos memiliki tugas mengatur segala sesuatu dan mengarahkan ke tujuan yang sebenarnya. Makna tersirat keteraturan segala sesuatu merupakan suatu nasib atau suratan takdir dari Logos (Tuhan). Segala sesuatu yang ada dalam realitas hidup, tidak dapat dipisahkan dengan hukum-hukum yang berlaku atas kehendak Logos. Tokoh periode akhir seperti Seneca berpendapat bahwa inti dasar stoisisme adalah manusia yang menerima dan menyesuaikan kodrat atau nasib yang diterimanya dari Logos.
Hal yang menarik dalam stoisisme adalah anggapan bahwa kebahagiaan bukan saat seseorang mendapatkan apa yang ia inginkan, melainkan saat ia memiliki kemampuan untuk tidak menginginkan hingga sampai pada titik merasa cukup. Lagi-lagi konsep penerimaan kodrati ini selaras dengan nilai qanaah. Qanaah ialah kepuasan jiwa atas karunia (rezeki) yang dilimpahkan kepadanya. Dikatakan pula qanaah adalah menemukan kecukupan pada apa yang ada di tangan. Maksudnya tidak rakus dan menerima pemberian dari Allah SWT. Dengan kata lain, konsep qanaah mengajarkan kepada manusia untuk menerima apa yang ada bukan justru mencari apa yang tidak ada sehingga dapat meraih kebahagiaan dan kebaikan yang bersumber dari dalam diri (jiwa) sendiri sebagaimana hadis:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Santri PPMH