Bekal untuk Belajar ke Negeri China

Sabtu, 04 Sep 2021, 15:50 WIB
Bekal untuk Belajar ke Negeri China
Proses Pembelajaran Madrasah Diniyah Matholiul Huda (MMH) (Dok.PPMH)

Hadis Rasulullah SAW “Uthlubul ilma walau bis-Shin”(Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China) sangat banyak digunakan terutama ketika pengutipnya merasa perlu memberi motivasi belajar kepada pendengar atau pembacanya. Namun, hadis masyhur yang diriwayatkan melalui berbagai sanad yang berbeda tersebut sempat menjadi perdebatan perihal kesahihannya. Sebagian sumber mengatakan hadis ini hasan. Sebagian lagi mengatakan bahwa hadis ini lemah. Bahkan ada pula beberapa sumber yang mengatakan bahwa hadis ini palsu.

Mereka yang menggaung-gaungkan bahwa hadis di atas adalah hadis palsu berdalih bahwa China bukanlah negara yang dikenal sebagai tempat menuntut ilmu agama Islam. Kalaupun ada, itu adalah ilmu-ilmu dunia; yang mana tidak semestinya diperintahkan wajib untuk dipelajari. Alasan lain adalah karena salah satu dari perawinya yang bernama Abu ‘Atikah Tharif bin Sulaiman dikenal beberapa kali memberitakan hadis-hadis palsu. Kalaupun bukan palsu, derajatnya tidak melebihi hadis lemah.

Namun bagaimanapun, hadis tersebut menyampaikan satu pesan kebaikan untuk menuntut ilmu. Andaikata itu adalah hadis lemah (bukan palsu), hadis tetaplah hadis. Bahkan andaikata anjuran menuntut ilmu walau sampai ke negeri China itu bukan hadis sama sekali sekalipun, itu tidak bertentangan dengan tauhid dan syariat Islam. Ketika ada ujaran yang tidak bertentangan  dengan tauhid maupun syariat Islam, terlebih mengandung pesan kebaikan, kita tidak perlu menjauhinya.

Kesalahan Umum Orang Tua

Tanpa kita sadari, sebagai orang tua, kita kerap membatasi terlalu banyak pada apa yang dipelajari anak. Bukanlah hal yang bijak ketika kita begitu saja melarang anak-anak kita kita mempelajari sesuatu yang mereka inginkan. Misalnya, kita sering memprotes kecewa ketika anak-anak kita meluangkan waktunya untuk belajar desain di depan layar komputer mereka. Kita sering menganggap mereka hanya bermain-main saja meskipun sebetulnya ada kemampuan yang diasah di sana. Padahal kemampuan itu adalah salah satu yang paling dibutuhkan di era ini.

Contoh yang lebih jauh lagi adalah melarang anak-anak kita belajar sejarah dan budaya. Tentu saja kita berhak merasa khawatir pada resiko pengaruh budaya lain. Itu adalah hal yang wajar. Tetapi ada ilmu yang bisa diperoleh di sana. Selama anak-anak kita bisa memegang ajaran tauhid dan syariat Islam, mereka akan bisa mengontrol pengaruh-pengaruh yang datang. Bisa jadi justru mempelajari sejarah dan berbagai budaya bisa menghilangkan rasa sombong mereka. Sehingga nantinya mereka menjadi manusia yang lebih rendah hati dan bersahabat dengan sesama makhluk ciptaan Allah SWT dengan tetap memegang teguh ajaran tauhid dan syariat Islam. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 13: Allah Swt. berfirman, “Hai manusia! Sungguh, Aku telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui nan Maha Mengenal.”

Jadi, alih-alih melarang anak-anak kita untuk belajar sejarah dan budaya. Yang semestinya kita lakukan sebagai wali adalah membekali mereka dengan ilmu-ilmu agama sembari terus mendampingi perkembangan mereka selama proses belajar. Biarkan mereka mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka. Islam adalah jalan yang benar menuju Allah SWT dan oleh karena itu kita tidak semestinya merasa khawatir pada pengaruh disinformasi. Selama mereka memiliki kemampuan untuk berpikir dan kemauan untuk terus menyelidiki kebenaran, mereka akan bisa menemukan jalan yang benar.

Seorang doktor pada bidang ilmu sosial suatu saat pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia selama ini telah dikekang dalam hal kebebasan berpikir. Sejak zaman kolonialisme Belanda, orang-orang kita jarang bisa mendapatkan hak dalam bidang pendidikan. Generasi-generasi sebelum kita tidak banyak diajarkan bagaimana cara berpikir. Hal itu bahkan masih diteruskan ketika sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita pernah masih berada di bawah kepemimpinan seorang diktator. Kita telah sangat lama hanya didikte, tanpa diberi kebebasan berpikir dan mendapatkan ilmu yang sepantasnya. Kita tentunya ingin generasi setelah kita memiliki kemampuan untuk berpikir dan bisa belajar lebih banyak.

Dengan begitu, marilah kita bekali anak-anak kita dengan pemahaman tauhid dan pengetahuan tentang syariat Islam. Supaya kelak sebagai generasi berikutnya penerus perjuangan kita, mereka dapat menimba ilmu apapun tanpa pembatasan. Dengan bekal tauhid dan syariat Islam, belajar ilmu apapun tidak akan membuat mereka keluar dari jalan kebenaran menuju ridha Allah SWT.

Memperlakukan Anak sebagai Penuntut Ilmu

Anak-anak kita adalah generasi selanjutnya calon penerus perjuangan kita. Tentunya kita semua menginginkan generasi selanjutnya yang lebih alim dan lebih berpengetahuan dari generasi kita. Maka membekali anak-anak kita dengan ilmu yang kita miliki saja tidak cukup. Ada kalanya kita harus mempercayai anak-anak kita untuk mempelajari hal-hal baru di luar pengetahuan kita. Dan orang tua tentu saja harus bisa rendah hati ketika anak-anak mereka lebih berilmu daripada mereka.

Maka, sekali lagi, tidak salah kita mengamalkan hadis uthlubul ilma walau bis-Shin. Selagi kita tidak mengetahui apa saja yang berada di negeri yang jauh, kita harus merelakan anak-anak kita mengambil resiko belajar dari hal-hal yang belum kita ketahui. Ketika mereka sudah siap dengan bekal ilmu syariat, mereka berhak menuntut ilmu apa saja di tempat mana saja.

Cara memperlakukan anak sebenarnya tidak sesederhana yang kita kira selama ini. Pasalnya, manusia terus berkembang sesuai dengan usia mereka. Memperlakukan anak yang masih belum sekolah tentunya harus berbeda dengan ketika anak sudah dewasa. Sahabat Ali bin Abi Thalib telah mencontohkan bagaimana seharusnya kita memperlakukan anak sesuai dengan usia mereka.

Sebelum Masa Sekolah

Ketika anak belum memasuki usia sekolah, kita seyogyanya memperlakukan mereka layaknya seorang raja. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kita menyayangi mereka. Ketika suatu saat terjadi perbedaan dan perselisihan dengan mereka ketika mereka dewasa kelak, mereka akan bisa mengingat bahwa perbedaan itu terjadi karena rasa sayang orang tua kepada mereka.

Namun sekali lagi, memperlakukan sebagai raja tidak berarti mengekang mereka dalam penjara yang nyaman. Penulis sangat menyayangkan dengan banyaknya orang tua yang menyuruh anak-anak mereka untuk makan, tidur, dan bermain di rumah. Usia anak sebelum sekolah adalah usia terbaik untuk mereka mengenali dunianya. Ketika dunia mereka hanya sebatas lingkungan rumah, maka mereka tidak akan mengenali banyak hal.

Hal yang harus kita ingat adalah bahwa raja tidak boleh salah. Memperlakukan mereka sebagai raja adalah dengan menimpakan segala kesalahan mereka kepada kita sebagai wali dan orang tua mereka. Itu berarti, ketika mereka berlari dan jatuh karena tersandung, kita tidak bisa menyalahkan mereka. Alih-alih, orang tua harus legawa menyalahkan diri karena luput mengawasi jalur anak-anaknya ketika berlari.

Masa Awal Sekolah

Ketika memasuki usia sekolah, anak-anak harus diperlakukan layaknya tawanan perang. Ini adalah masa di mana anak mengenal adanya peraturan; perintah dan larangan. Pada masa ini anak akan memahami hak dan kewajiban.

Usia awal sekolah adalah usia di mana mereka harus mulai berinteraksi dan bekerja sama dengan lingkungan sekitar mereka, di luar lingkungan keluarga. Ada baiknya kita mulai mengirim anak-anak kita untuk belajar agama di Pondok Pesantren pada usia ini. Hal ini juga bertujuan untuk menjaga mereka agar berada dalam lingkungan yang baik. Di Pondok Pesantren mereka bisa belajar untuk memahami aturan juga tentang hak dan kewajiban. Di sinilah saat di mana mereka mendapatkan bekal ilmu tauhid dan syariat sebagai bekal untuk mempelajari hal-hal lain dalam kehidupan mereka.

Setelah Semua Itu

Ketika sudah melewati masa puber, orang tua seyogyanya memperlakukan anak-anak mereka layaknya seorang kawan. Pada masa ini, orang tua dan anak adalah rekan diskusi yang sederajat. Orang tua mungkin mengalami lebih banyak hal sepanjang hidupnya. Tetapi semua kejadian itu adalah masa lalu yang sudah terlewati. Masa sekarang tentu saja sudah berbeda. Orang tua boleh memberikan nasihat-nasihat berdasarkan masa lalu mereka. Namun sang anaklah yang lebih berhak mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri dengan mempertimbangkan nasihat-nasihat tersebut.

Kemudian saat sudah dewasa, seharusnya sang anak sudah memperoleh bekalnya tentang tauhid dan syariat Islam. Bisa dibilang, ini adalah saat ketika orang tua harus merelakan ketika anak-anaknya ingin “belajar ke negeri China”. Sebagai kawan, sudah seharusnya kita saling memahami maksud dan keinginan. Antara kawan, kita boleh saling memberikan dan menerima nasihat. Namun bagaimanapun, kita harus bisa memahami keputusan apapun yang akhirnya diambil oleh kawan kita. Wallahu A’lamu bis-Shawab

Thalabul ilmi  Santri Pesantren Gading Malang  Santri Gading  Dakwah Santri 
Wiqoyil Islama

Penulis adalah Santri PPMH yang sedang menempuh studi Strata-2 Sastra Bahasa Inggris di Universitas Negeri Malang juga biasa berkicau di @wiqoyil_islama

Bagikan