Adab Dalam Dialog
Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah mencari titik-titik kesamaan dalam berbagai ragam dialog. Titik kesamaan di sini adalah persamaan persepsi, yang sama-sama mengatakan ”persetujuan”. Kita melakukan dialog secara bertahap dan urut sesuai dengan permasalahan yang ada. Bagi pihak yang tengah melakukan dialog dan mengalami kebuntuan karena berbeda pendapat hendaknya menghentikan dialognya. Hal ini karena ada sebagian manusia yang tetap keras kepala dan tidak mau menerima dalil-dalil dan argumen yang sahih dan kuat karena merasa dirinya yang paling benar.
Namun sebaliknya kita juga tidak boleh serta merta meninggalkan dan memperlakukannya secara kasar. Yang lebih penting lagi adalah tidak mendahulukan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar’iy atas fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang). Seorang ulama mengatakan: ”Barang siapa yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta.”
Adab pokok dalam berdialog antara lain:
- Ikhlas. Hendaknya kedua pihak menyingkirkan ego dan fanatisme masing-masing yang sempit. Logikanya, orang yang terlalu fanatik terhadap kelompok, golongan, mahzab, atau pemikiran tertentu, tidak akan menerima pendapat orang lain dengan lapang dada. Orang seperti ini hanya mau menerima bila pendapatnya pun diterima. Tujuan utama dari sebuah dialog adalah mencari kebenaran. Dengan demikian, sikap ikhlas mutlak diperlukan. Hati yang ikhlas akan menghasilkan keputusan dan hasil akhir yang lebih baik.
- Mempunyai dalil atau dasar yang kuat. Dengan dalil yang kuat, seseorang akan memertahankan pendapatnya dengan penuh keyakinan. Dalil dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dalil aqli (logika) yang kuat dan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadits) yang benar. Dalam berdialog, seseorang peserta dialog dituntut dapat menjelaskan letak keabsahan dalil yang ia gunakan.
- Menyepakati hal-hal yang sudah jelas. Hal-hal yang sudah prinsipil hendaknya tidak usah didiskusikan lagi. Penciptaan Allah, rukun shalat, keberadaan nabi Muhammad SAW sebagai seorang utusan Allah, dan lain sebagainya merupakan pertanyaan yang tidak perlu didiskusikan lagi karena sudah jelas bagi kita. Hal ini sudah ditetapkan oleh Allah, tidak dapat diubah-ubah lagi. Kita hanya perlu menerima dan menjalankannya saja. Sebaliknya, hal-hal yang masih bersifat kabur dapat didiskusikan. Permasalahan jilbab, hukum hijab, macam-macam do’a iftitah, bacaan tasyahud dan masalah lain dalam kitab fiqih merupakan tema yang terbuka untuk diperdebatkan.
- Kebenaran suatu pendapat adalah nisbi (relatif/tidak mutlak). Pendapat seorang itu tidaklah mesti benar seratus persen. Janganlah kita menyombongkan diri dengan pendapat yang kita lontarkan dengan meremehkan pendapat orang lain. Terkait dengan hal ini, Ibnu Qudamah menulis didalam al-Mughni: ”Orang-orang yang berilmu tidak akan memusuhi orang yang berlainan pendapat dengannya dalam masalah-masalah yang dapat diperdebatkan.”
- Berdiskusi dengan orang yang dianggap akan dapat memberinya manfaat. Jangan sekali-kali mencari lawan dialog yang bodoh, bebal, serta keras kepala karena dampak negatifnya lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Kaum munafik dan musuh Islam selalu mengajak dialog orang-orang yang bodoh dan bebal dalam masalah agama sehingga jika lawan debatnya kalah, mereka pun mudah mengikutinya. tingkat keilmuan keagamaan mutlak diperlukan dalam sebuah dialog agama.
- Melakukan dialog dengan baik dan sopan. Kesopanan merupakan etika yang harus selalu dipelihara. Dalam kitab Ihya’nya, Abu Hamid al-Ghazali mengingatkan: ”Kalian hanya mengajaknya berdialog. Maka jangan sekali-kali menyinggung masalah pribadinya, kedudukannya ataupun ahlaknya. Tetaplah pada masalah yang diperdebatkan.”
Jelas bahwa disini terkandung pokok-pokok kesopanan dengan menghormati lawan bicara dengan baik dan sungguh-sungguh.
Berbagai persoalan agama dan kemasyarakatan memang akan terus menerus berlangsung. Melalui dialog, kita bisa mengarahkan akal manusia yang pada dasarnya suci kepada Allah Swt. karena tujuan terbesar dialog adalah mendapat hidayah dan pertolongan Allah. Dialog merupakan salah satu cara yang diridhai Allah Swt. untuk menyampaikan kebenaran. Di satu sisi, kita juga harus memperbanyak istighfar jika menemukan keraguan-keraguan dalam satu masalah. Dengan memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi, spirit mahabbah fillah (cinta karena Allah) dan ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan terealisasi. Dengan begitu akan tercipta suasana yang lebih baik. Dengan berdiskusi atau musyawarah mufakat, kita akan menemukan solusi terbaik dalam menghadapi masalah yang timbul. Wallahu a’lam.