”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl [16]:125)
Allah Swt. menyerukan umat manusia untuk bersatu dan tidak berbeda-beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam menegakkan syari’at-Nya. ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran [3]:102-103).
Allah Swt. juga memeringatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam perselisihan dalam beragama seperti yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. Allah berfirman: ”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran [3]:105).
Banyak permasalahan di dunia yang bisa menimbulkan perselisihan dan perbedaan pendapat sehingga bila tidak berhati-hati, umat bisa terjebak dalam saling silang pendapat. Jika hal tersebut tidak mampu diselesaikan dengan mufakat, maka akan timbul perselisihan. Perbedaan pendapat memang merupakan sesuatu yang lazim terjadi didalam masyarakat sebagai konsekuensi masyarakat yang majemuk. Allah Swt. berfirman yang artinya, ”Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka...” (QS. Hud [11]:118-119).
Sesungguhnya, perbedaan adalah sunnatullah yang justru membuat kehidupan menjadi harmonis. Perbedaan bentuk membuat kehidupan menjadi bervariasi. Segala sesuatu pasti mempunyai bentuk keragaman yang berbeda-beda dengan segala keindahannya. Alam semesta menjadi sesuatu yang indah ketika muncul perbedaan dalam wujud dan fungsinya.
Harmonisasi tersebut akan membahayakan bila yang terjadi adalah perbedaan dalam hal esensi dalam agama (dzatuddin), seperti ushul (dasar-dasar) yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ ulama. Hal ini karena prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam ketiganya sudah menjadi substansi dasar agama yang mempersatukan antara ajaran Islam yang dibawa nabi Muhammad Saw. dan para nabi sebelumnya.
Karena manusia mempunyai tendensi untuk bersikap komunikatif, manusia menciptakan berbagai kegiatan dialogis untuk memertemukan berbagai pendapat yang berbeda. Dialog (hiwar) dalam menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan memang diperlukan. Namun kita harus mengetahui pula maksud dialog dan bagaimana etika terpujinya. Dialog seharusnya tidak diisi dengan tujuan yang buruk seperti menghancurkan argumen lawan bicara, menunjukkan bahwa ia adalah yang paling benar, atau mempermalukan salah satu pihak. Dibawah ini akan dibahas tentang makna dan cara berdialog yang benar.
Dialog menunjukkan suatu upaya pencarian sebuah kepahaman, kesetaraan, dan kesepakatan dalam suatu pendekatan interaksi personal yang lembut dan bijaksana. Allah SWT menyinggung tentang dialog dalam firman-Nya yang artinya, ”Kawannya berkata kepadanya mengajaknya untuk berdialog” (QS. Al-Kahfi [18]:37) serta ayat, ”...Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS. Al-Mujaadilah [58]:1).
Dialog memang diperlukan untuk mencari solusi berupa kebenaran. Al-Qur’an banyak memberikan contoh seruan untuk mengajak pihak yang berbeda dengan kita untuk saling berdialog, misalnya antara kaum muslim dengan para ahli kitab untuk meluruskan pemahaman mereka terhadap ketuhanan Allah. Allah berfirman, ”Katakanlah: ’Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah...” (QS. Ali Imran [3]: 64).
Terhadap kaum musyrikpun dialog sangat diperlukan untuk mendebatkan wacana kebenaran dan memahamkan mereka akan kebenaran tersebut. Allah berfirman, ”Dan jika seseorang diantara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia ketempat yang aman baginya” (QS. At-Taubah [9]:6).
Perbedaan pendapat memang merupakan sebuah kelaziman yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat majemuk. Perbedaan ini ada dua bentuk:
Sebagian besar dari mereka yang berbeda ini adalah mereka yang bodoh atau bebal karena mereka selalu mendiskusikan hal-hal yang sudah pokok (qath’i). Perlu ditegaskan bahwa Islam itu sudah jelas dan nyata. Kita tidak perlu mendebatkan hal itu lagi karena bukan manfaat yang akan diperoleh, tetapi mudharat.
Dari penjelasan tadi maka perlu dirumuskan adab yang harus dipegang oleh setiap muslim dalam berdiskusi. Spirit dialog itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) dan ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari fanatisme pribadi. Dialog yang baik adalah dialog yang bermutu dan bermanfaat.
Penulis adalah Alumni jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Brawijaya Malang