Kerapkali, dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren, kita menyaksikan bahwa saat santri hendak menjalankan salat berjamaah secara individu, situasinya berbeda dengan ketika mereka berjamaah di masjid. Ketika berada di masjid (pesantren), tentu peranan imam diisi oleh sosok yang memiliki keilmuan dan kepemimpinan yang dihormati, seperti Kiai, para Gus, dan pengurus yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam.
Lain halnya ketika sholat berjamaah sendiri. Pernahkah kita merenungkan bahwa saat melaksanakan shalat berjamaah “mandiri”, kita bingung menentukan siapa yang akan menjadi imam dan selalu memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjadi imam? “monggo, njenengan imam cak; monggo njenengan kulo aturi imam; monggo sampean mawon imam” atau lebih langsung biasanya kita mendahulukan untuk iqomah—yang secara simbolik supaya orang lain yang akan menjadi imam. Lebih spesifik lagi, mengapa kita selalu berebut menjadi makmum? Dan di tengah berbagai pertanyaan tersebut, lantas, dimanakah letak jiwa kepemimpinan seorang santri jika melihat barisan sholat saja tidak ada habis ujungnya?
Mungkin sebagian dari kita masih bersikukuh dengan prinsip rendah hati (ketawadhu’an) yang dipelajari dari guru-guru kita, toh tawadhu’ juga sebenarnya telah menjadi bagian integral dari hidup kita, sampai-sampai untuk sholat saja semuanya memiliki sifat tawadhu’. Seakan-akan dalam jiwanya masih merasa belum pantas secara standar kelayakan juga menganggap orang lain yang lebih patut dan etis daripada dirinya sendiri dalam menjadi imam. Namun sebelum menanjak adanya eksplorasi lebih lanjut, ada baiknya membaca dari hadist yang disebutkan dalam riwayat Abu Mas’ud RA, lantaran “Ya’ummu Al Qauma Aqra’uhum” (hendaknya yang menjadi imam suatu kaum adalah orang yang paling pandai di antara mereka). Ini merupakan sebuah pernyataan dengan implikasi yang menunjukkan suatu perintah. Sebenarnya kalau ditinjau secara lengkap, maka “Aqra’uhum li kitabillah” (orang yang lebih pandai di antara mereka dalam membaca Al-Quran).
Namun, penjelasan terkait hadits Imamah ke-327 dalam kitab “Bulughul Marom” ini sebenarnya menekankan bahwa Imamah menjadi hak orang yang paling banyak hafal Al Qur`an, karena Al Qur'an merupakan dasar semua ilmu yang bermanfaat. Jadi standarnya adalah lebih mengetahui Al Qur`an dan memahaminya serta memahami shalat. Karena itulah orang yang paling mengerti lebih didahulukan daripada orang yang hanya lebih banyak hafalannya tapi pemahamannya tidak banyak.
Ungkapan "yang paling pandai membaca kitabullah di antara mereka" adalah yang paling banyak hafalan Al Qur`annya. Pengertian ini disimpulkan dari hadits sebelumnya, "Dan hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan Al Qur`annya di antara kalian" (HR. Bukhari [4302]); juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa`i (2011) dan At-Tirmidzi (1715) yang dinilai shahih, yang bersumber dari Hisyam bin Amir bin Amiyah Al Anshari—yang mana ia berkata: Nabi SAW berkata mengenai (siapa yang harus didahulukukan untuk dikebumikan) dari para syuhada yang gugur dalam perang Uhud, beliau bersabda, "Dahulukan mereka yang lebih banyak hafalan Qur'annya".
Namun beberapa riwayat hal-hal penting dalam hadits ini terkadang menjadi pemahaman yang samar sebab lumrahnya dalam kalangan kita yang menunjukkan bahwa otoritas imamah diserahkan kepada yang paling utama kemudian yang utama, seperti halnya Kiai dan petinggi agama lainnya. Keutamaan ini diukur dengan ilmu syar’i beserta pengamalannya. Kemudian, dalam riwayat hal-hal penting hadits lainnya menunjukkan bahwa semestinya hal ini menjadi pelajaran bagi kaum muslim dalam semua otorisasi (kewenangan), sehingga tidak membebankan imamah (kepemimpinan) atau mengangkat imam (pemimpin) kecuali seseorang yang berkompeten dan memenuhi dua syarat utamanya, yaitu amanah dan kuat, sebagaimana surat Al-Qashash ayat 26, “inna khaira manista’jartal-qawiyyul-amiin” (sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja [pada kita] ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya)
Kemudian bagaimana halnya ketika dirasa beberapa orang tersebut memiliki hafalan yang sama? Jika hafalan Al Qur'an mereka sama, maka yang lebih diutamakan adalah yang paling mengerti tentang sunnah Nabi SAW, karena Sunnah yang suci merupakan wahyu kedua dalam penetapan hukum. Jika pengetahuan dan hafalan Al Qur`an dan As-Sunnah sama, maka yang lebih diutamakan adalah yang lebih dulu berhijrah dari negeri kufur (kekafiran) ke negeri Islam (agama islam). Jika tidak ada hijrah, maka yang lebih dahulu taubat dan meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah, terlebih mereka yang efektif dalam mengimplementasikan perintah-perintah Allah Ta'ala. Wa fii riwayatin: sinnan. Dalam suatu riwayat disebutkan, “Maka yang paling tua[1]” demikian ini karena yang lebih tua adalah lebih dahulu memeluk Islam sehingga lebih banyak amal shalihnya.
Menimpali hadist tersebut dalam realitas sehari-hari, terutama bagi permasalahan yang ditemukan ketika ‘saling tunjuk imam’ dan ‘berebut makmum’, mungkin ada kalanya dengan rasa tawadhu’ tersebut justru tergolong kategori muslim yang kehilangan kemuliaan sebab telah menunjuk imam yang dirasa kurang mumpuni dan tidak mendapatkan keutamaan. Ada kalanya dengan tawadhu’, kita memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjadi imam dalam shalat adalah pilihan yang bijak. Hal ini sesuai dengan keutamaan dan anjuran yang disorot dalam hadits yang menjelaskan konteks kepemimpinan imamah. Namun, dalam merenungkan pesan yang tersirat dalam hadis ini, kita perlu menjauhi ketergantungan berlebihan kepada orang lain dalam hal kepemimpinan. Pesan yang disampaikan dalam hadis ini tidak hanya bersifat informatif semata, tetapi juga memberikan amanat kepada kita semua untuk mengembangkan diri.
Terutama bagi para santri, pesan ini menggarisbawahi pentingnya menjadi individu yang cerdas, tekun dalam pembelajaran, menguasai Al-Quran baik dengan menghafalkannya, dan menerapkannya pada ajaran-ajaran agama secara mendalam. Dengan demikian, hadits ini bukan hanya sebagai penyampaian informasi atau kalimat berita semata, melainkan juga sebuah panggilan agar kita senantiasa berusaha sungguh-sungguh, sehingga kita menjadi imam (pemimpin) yang mumpuni dan layak dalam peran kepemimpinan di masa yang akan datang.
[1] Bulughul Marom Hadits ke-327, Baca: Syarah Bulughul Marom, terdapat keterangan urutan yang selayaknya menjadi imam lebih lanjut
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang