Slogan 'toto titi tentrem kerto raharjo[1] telah menjadi sebuah sentimen yang dikenal luas di kalangan masyarakat, sehingga dianggap sebagai ekspresi kebohongan patologis (pseudo-fantastica) yang memiliki implikasi mendalam terhadap pola kehidupan sosial. Meskipun dalam praktiknya tidak selalu dapat diterapkan dengan sempurna, namun jargon-jargon seperti itu telah menjadi bagian integral dalam landasan pemikiran kolektif manusia.
Fenomena semacam ini dapat diketahui sebagai folk belief atau keyakinan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Akan tetapi, kepercayaan ini biasanya tidak didasarkan bukti ilmiah atau logika rasional, melainkan pada tradisi, cerita rakyat, atau pengalaman kolektif[2]. Selaras dengan konsep tersebut, menurut teori sosial-kognitif Albert Bandura, keyakinan yang dibentuk oleh lingkungan sosial dapat mempengaruhi self-efficacy dan tindakan individu[3]. Ketika keyakinan ini didasarkan pada hal-hal yang tidak ilmiah atau irasional, seperti tradisi dan semacamnya, mereka bisa menanamkan persepsi negatif yang sulit diubah tanpa intervensi yang tepat.
Di lain sisi, dalam ranah ilmu psikologi terdapat pembahasan mengenai pendakatan humanistik yang banyak mengkaji aspek psikologi positif.[4] Abraham Maslow dalam bukunya yang berjudul Motivation and Personality, membahas tajuk Toward a Positive Psychology mengenai keterbatasan psikologi dalam memahami potensi manusia secara akurat. Maslow berpendapat bahwa psikologi selama ini cenderung lebih banyak menggali kelemahan manusia dan kurang berfokus pada pengembangan potensi manusia yang optimal.
Sebagai pelopor pendekatan humanistik, Maslow dan Carl Rogers menekankan pentingnya pengembangan potensi manusia dan self-actualization. Mereka berpendapat bahwa fokus psikologi tradisional pada patologi dan kelemahan manusia sering mengabaikan aspek-aspek positif seperti kreativitas, cinta, dan potensi pertumbuhan individu. Hal ini dapat menciptakan bias negatif dalam cara seseorang memahami diri sendiri dan orang lain, yang pada akhirnya menghalangi upaya untuk mencapai pengembangan diri secara holistik.
Akibatnya, masyarakat konvensional kini masih terjerat dalam pembentukan persepsi dan emosi negatif berkepanjangan. Keterkaitan ini menjadi jelas ketika mempertimbangkan bagaimana kepercayaan rakyat dan psikologi tradisional mempengaruhi norma dan nilai sosial. Hal ini secara tidak langsung menyokong siklus pemikiran antipaham (anti-understanding thinking), ketika masyarakat terus-menerus fokus atau percaya pada apa yang salah dan negatif, sehingga mengabaikan atau menutupi segala sesuatu yang positif.
Spesifikasi Antara Deepfake dengan Deeplearning
Salah satu wujud sekularisasi fenomena antipaham termanifestasikan dalam okupasi media-media dengan kecenderungan deepfake. Deepfake dalam uraian ini bukanlah merujuk pada serangkaian teknologi yang dirancang secara khusus untuk menciptakan manipulasi digital, melainkan mengacu pada segala sesuatu yang bersifat artifisial dan diciptakan sedemikian rupa sehingga menimbulkan ilusi dalam memori manusia. Fenomena ini melibatkan kepercayaan yang diwariskan dan perilaku konvensional yang sengaja dibentuk untuk mengintervensi kesadaran kolektif, sehingga berpotensi menghambat dinamika pemikiran. Ketidakmasifan dari fenomena ini dapat dikaitkan dengan belum sepenuhnya terbentuknya sistem filter kognitif dalam skala luas, yang seharusnya membedakan antara realitas objektif dan konstruksi subjektif.
Deeplearning sebagai bentuk negasi dari deepfake merupakan reaksi yang bertentangan dengan distorsi realitas dari ilusi-ilusi yang diciptakan. Ilusi tersebut dapat berupa pernyataan-pernyataan mentah multiinterpretatif, perkataan kontroversial, bahkan fenomena lain seperti post-truth. Ihwal tersebut menegaskan bahwa pada akhirnya fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi[5]. Alasan umum untuk menjabarkan persoalan ini ialah terciptanya generasi echo chambers atau filter bubbles[6] atas dalih bahwa seseorang telah mencari, menerima, dan mempercayai informasi sesuai dengan pandangan dan nilai-nilai yang sudah mereka pegang. Apalagi dalam percepatan infomasi yang dimuat, seseorang sering kali memberikan prioritas kepada respons emosional sebagai pendorong utama dalam pembentukan keyakinan dan pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena proses emosional berlangsung lebih cepat daripada analisis fakta yang teliti. Sebagai hasilnya, segala bentuk gagasan, opini, dan sudut pandang yang terbentuk cenderung bersandar pada kebenaran subjektif yang didasarkan pada perasaan dan persepsi individu, daripada kebenaran faktual yang didukung oleh analisis mendalam dan komprehensif.
Deeplearning jika diartikan secara harfiah adalah cabang dari ilmu pembelajaran mesin (machine learning) yang melibatkan penggunaan serangkaian fungsi transformasi non-linear dalam susunan data untuk memodelkan abstraksi tingkat tinggi[7]. Namun, jika ditilik melalui kacamata kontekstual, interpretasi yang lebih tepat adalah bahwa keumuman seperti ini sebaiknya dianggap sebagai sebuah analogi kompleks yang bertujuan untuk memahami dasar-dasar sebelum memasuki konsep yang lebih rumit. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman yang mendalam tidak hanya berkaitan dengan pengolahan data secara teknis, melainkan juga mencakup pemahaman yang menyeluruh tentang esensi dan konteks di balik informasi, berita, argumentasi, dan pemikiran terhadap perilaku yang diproses.
Dialektika Masyarakat Antipaham dalam Arus Digital
Pembentukan sekumpulan pemikiran bayangan ditandai dengan hadirnya ruang digital yang memungkinkan terciptanya konstruksi baru. Seiring dengan perluasan ruang digital saat ini, pemahaman manusia tentang kehidupannya mengalami perubahan signifikan, mulai dari hal-hal remeh hingga pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti identitas diri, relasi, dan keamanan identitas pribadi[8]. Segala keterbatasan yang sebelumnya ada kini mulai runtuh dengan munculnya ruang-ruang digital, yang pada akhirnya mengakibatkan lahirnya masyarakat dengan ideologi anti-konvensional atau lebih tepatnya masyarakat antipaham.
Ruang digital sebagai panggung eksistensial menghapus berbagai esensi dan pola standarisasi dalam aspek moralitas hingga aktualitas. Akibatnya, mentalitas ilmiah inilah yang semestinya menemukan ruang rasionalitasnya justru dibantah secara radikal oleh argumen-argumen dan hanya mengedepankan fakta-fakta superfisial yang tampak di permukaan. Dasar inilah yang melahirkan dialektika antara masyarakat milenial dengan perilaku yang terbentuk atau muncul dari dialog-dialog sebelumnya. Meskipun fakta-fakta yang tampak superfisial dalam tulisan maupun lisan mungkin terlihat serupa jika dikaitkan dengan isu ujaran kebencian, tindakan antipaham sebenarnya memiliki tingkat yang lebih serius dibandingkan dengan ujaran kebencian. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan seseorang untuk selamanya menyematkan dalam pikirannya bahwa kebenaran atau kebaikan yang ada dalam tindakan tersebut sudah tidak lagi terlihat. Akibatnya, seseorang akan cenderung beranggapan bahwa jika terdapat kesalahan dalam suatu perbuatan atau pemikiran kolektif, maka ia akan selamanya membenci perilaku tersebut, bahkan membenci orang yang melakukannya. Padahal larangan ini termaktub dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S.Al-Hujurat:11)
Menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili, seorang pakar fiqih dan tafsir Suriah menafsirkan dalam Tafsir Wajiznya bahwa orang-orang yang beriman hendaknya tidak mengolok atau merendahkan suatu kaum. Sebab, bisa jadi orang yang direndahkan lebih baik di sisi Allah daripada orang yang mengolok, mengejek, menjatuhkan, atau merendahkan. Janganlah seseorang menghujat satu sama lain dengan perkataan ataupun isyarat. Janganlah juga kalian memberi julukan dengan julukan-julukan yang buruk dan tidak disukai. Seburuk-buruk penamaan seseorang adalah panggilan fasik dan kafir, sedangkan dia beriman. Barangsiapa tidak bertaubat dari apa yang dilarang oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang yang menzalimi diri mereka sendiri dengan menyiapkannya untuk diazab. Hal tersebut dijelaskan dalam tafsir berikut:
يا أيها المؤمنون لايهزا قوم رجال من قوم آخرين ، عسى أن يكون المهزوء بهم عند الله خيراً من الهازئين ، ولا يسخر نساء من نساء ربما كان المسخور منهن خيراً من الساخرات بهن، ولا يطعن بعضكم ببعض بقول أو إشارة، ولا تتلقبوا بألقاب قبيحة مكروهة ، ساء تسمية أحد فاسقاً أو كافراً بعد اتصافه بالإيمان، ومن لم يتب عما نهى الله عنه، فأولئك هم الظالمون لأنفسهم بالتهيؤ للعذاب
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan hartamu, akan tetapi memandang kepada hati dan amal perbuatanmu”.[9] Hal ini mencerminkan bahwa penilaian terhadap seseorang tidak selalu dapat dipastikan semata-mata dari apresiasi atau kritik yang diterima atas penampilan luar seperti fisik, perilaku, ketaatan, atau pelanggaran yang tampak pada individu tersebut. Sebab, terdapat kemungkinan bahwa individu yang tampak melakukan sebuah kemaslahatan, sebenarnya memiliki sifat cela dalam batinnya yang membuat tindakan tersebut tidak diakui oleh Allah sebagai suatu kebajikan. Begitu juga, ada kemungkinan bahwa seseorang yang terlihat lalai atau tergelincir dalam kemaksiatan, namun Allah mengetahui bahwa dalam hatinya terdapat sifat yang terpuji, sehingga mendapatkan pengampunan.[10]
Merespon persoalan di atas, bahwasanya deepfake atau perilaku kovensional yang melibatkan manipulasi media untuk menghasilkan representasi yang menyesatkan, serta upaya-upaya sistematis dalam mempengaruhi persepsi publik melalui narasi yang dikontrol, masyarakat menjadi lebih vulnerabel terhadap adopsi informasi tanpa melalui pemeriksaan kritis dan skeptisisme yang adekuat. Praktik semacam ini menyebabkan masyarakat menilai bahwa ketika mendapati sebuah informasi dengan kesan buruk (negative connotation), mereka cenderung secara impulsif menginterpretasikan situasi tersebut sebagai kesalahan fatal yang dapat mengarah pada reaksi ekstrem seperti kebencian terhadap orang-orang yang terlibat dalam situasi tersebut.
Hal ini menciptakan kondisi ketika kebenaran tidak lagi dikejar atau diungkap dengan seksama, karena individu cenderung menerima pandangan yang disajikan secara umum sebagai kebenaran mutlak. Maka, proses penilaian kritis terhadap informasi baru menjadi kurang umum, dengan kebenaran sebagai sesuatu yang ditentukan oleh konsensus massa atau pandangan luas, tanpa mempertimbangkan validitas atau akurasi faktual yang mendasarinya.
Lantas, bagaimana bisa pemahaman yang selama ini ditunjukkan oleh kawanan publik dapat tersampaikan dengan benar dan bijak kepada masyarakat? Nampaknya, fenomena semacam ini menunjukkan kemiripan yang signifikan dengan gejala post-truth. Jika post-trust merupakan kondisi ketika kebenaran objektif diabaikan atau dianggap tidak relevan dalam pembentukan opini publik[11], sementara perilaku antipaham dapat diartikan sebagai kesalahpahaman yang mungkin dimiliki oleh sebagian masyarakat terhadap informasi yang diterima, meskipun tidak berakar pada ideologi tertentu.
Negative Overshadowing, Momok Utama Sebelum Menjadi Seorang Bijak
Berbicara mengenai deepfake terhadap timbulnya masyarakat skeptisisme (antipaham), sesuai dengan stereotipe awal bahwa psikologis manusia cenderung pertama kali menilai aspek negatif dari suatu tindakan atau informasi. Fenomena ini secara akurat dapat diistilahkan dengan sebutan negative overshadowing. Hal ini selaras dengan penelitian dalam psikologi yang menunjukkan bahwa perilaku manusia seringkali dipicu oleh emosi negatif daripada emosi positif. Dalam upaya menanggulangi bias ini, para pakar psikologi positif berfokus pada pentingnya emosi positif, mengingat sebagian besar pengalaman manusia, baik pembentukan perilaku hingga persepsi dibentuk melalui interaksi emosional.
Emosi dapat didefinisikan sebagai keadaan psikologis oleh perasaan diri individu juga pola khas dari pemikiran dan rangsangan fisiologis perilaku.[12] Menurut Izzard, emosi dasar yang dimiliki manusia termasuk dalam sepuluh kategori, yakni kemarahan, penghinaan, jijik, kesusahan, ketakutan, rasa bersalah, minat, kegembiraan, rasa malu dan terkejut.[13] Dalam hal ini, hendaknya manusia dapat merasakan emosi secara teratur, sebab hanya dengan modal inilah manusia mengatur segala pemikiran, perilaku, dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Ketakutan sebagai respon evolusioner dalam kelangsungan hidup dirasa penting ketika memobilisasi individu saat dihadapkan pada situasi potensial, seperti halnya deepfake. Sebagai salah satu bentuk emosi yang mendorong respons defensif, ketakutan menimbulkan reaksi yang cepat sebab untuk melindungi individu dari potensi bahaya atau kerentanan. Maka, dalam hal ini, ketakutan bekerja secara efektif untuk memicu kewaspadaan dan respons proaktif dalam menghadapi ancaman yang mungkin timbul.
Berkaitan dengan fenomena Negative Overshadowing, ketakutan dan hal ini saling berhubungan. Ketakutan memperkuat kecenderungan individu untuk lebih memusatkan perhatian, mengingat, dan merespons stimulus negatif. Kedua konsep ini berkaitan erat dalam pengaruhnya terhadap cara individu merespons dan memproses informasi. Agaknya, ketakutan dan Negative Overshadowing telah menjadi elemen penting dalam dinamika responsif individu terhadap lingkungan sekitarnya, terutama dalam menghadapi tantangan atau risiko yang mungkin timbul. Negative Overshadowing, sebagai hasil dari bias negatif menciptakan pola-pola negatif menjadi lebih dominan, berpengaruh, dan mudah diingat dibandingkan dengan hal-hal positif. Mekanisme ini terjadi karena potensi negatif yang lebih besar, respons yang lebih tajam, dominasi negatif dalam evaluasi, dan kompleksitas diferensiasi dari entitas negatif.[14]
Jika ditelaah lebih lanjut, berbagai berita mengenai perilaku antipaham masyarakat dapat dilihat dalam kasus yang melibatkan tokoh agama seperti Gus Iqdam, Ustadz Abdul Somad, dan Felix Siauw. Sebagai contoh, terdapat berita dengan tajuk "Gus Iqdam Sebut Palestina Aman, Publik Bereaksi Keras di Media Sosial" (Suara.com) memicu sejumlah informasi tambahan yang mencuat, seperti "Gus Iqdam Sebut Palestina Aman, Ini Respons Ketua PBNU" (Republika.com) dan "Klarifikasi Gus Iqdam Usai Dihujat Karena Sebut Palestina Aman" (Liputan6.com). Fenomena ini menunjukkan bagaimana pandangan masyarakat cenderung dipengaruhi oleh negative overshadowing, yang menyebabkan dominasi persepsi negatif. Akibatnya, hal ini memicu dialektika perilaku antipaham dalam merespons pernyataan atau tindakan tokoh-tokoh tersebut.
Di dalam deskripsi berita yang beredar, terdapat narasi bahwa setelah kunjungannya ke Palestina, Gus Iqdam memberikan pernyataan yang menggambarkan bahwa situasi keamanan di Palestina ternyata baik-baik saja dibandingkan dengan laporan-laporan media yang seringkali menyoroti aspek kekerasan dan konflik. Pernyataan ini menimbulkan interpretasi di kalangan masyarakat bahwa apakah Gus Iqdam mungkin meremehkan penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina atau bahkan menunjukkan sikap yang dianggap tidak mendukung perjuangan mereka.
Akibat dari pernyataan tersebut, timbul reaksi keras dari masyarakat yang menuduh bahwa Gus Iqdam tidak memiliki simpati atau pemahaman mengenai penderitaan rakyat Palestina. Masyarakat mungkin menyebarkan komentar-komentar negatif di media sosial, menginisiasi kampanye untuk mendiskreditkan reputasi beliau, atau bahkan melancarkan ancaman terhadapnya. Dari penjelasan ini, dapat dilihat munculnya komentar negatif di media sosial yang menuduh Gus Iqdam kurang peka terhadap penderitaan rakyat Palestina, serta kampanye online yang menyerukan agar Gus Iqdam tidak diundang untuk berbicara di acara-acara publik. Tidak jarang pula, ancaman langsung atau boikot terhadap ceramah-ceramah yang beliau sampaikan turut menyertai reaksi masyarakat tersebut.
Kasus ini menunjukkan bagaimana kesalahpahaman dapat berkembang dari pernyataan yang mungkin tidak sepenuhnya dipahami atau yang konteksnya tidak sepenuhnya disadari oleh masyarakat. Reaksi yang berlebihan terhadap pernyataan tersebut dapat memiliki dampak negatif pada reputasi individu dan memperdalam perpecahan dalam masyarakat. Terutama bagi mereka yang menolak mengakui bahwa tokoh agama seperti itu dianggap sebagai pembicaraan kosong semata sebab hanya mengandalkan retorika belaka, tanpa memiliki kedalaman pengetahuan dan kualifikasi yang sesuai. Pada akhirnya, mereka mengesampingkan aspek positif lainnya atau kebijaksanaan yang mungkin dimiliki oleh tokoh tersebut.
Deeplearning sebagai Struktur Membangun Positive Overshadowing
Sebagaimana proposisi utama dalam diskursus kali ini, konklusi yang perlu diambil adalah bahwa epistemologi atau pengtahuan seharusnya bersifat absolut dan bebas dari distorsi. Fenomena deepfake secara signifikan mereduksi kapasitas kognitif individu dalam mengolah dan memahami informasi, khususnya dalam merespons proposisi yang tak terduga. Tantangan ini menjadi semakin kompleks mengingat masyarakat Indonesia acapkali diidentifikasi dengan isu-isu radikalisme, intoleransi, dan terorisme.[15] Atas dasar tersebut, kekhawatiran terhadap sumber daya manusia yang kurang kompeten dalam ranah penalaran kritis sangat patut diperhatikan, sebagaimana pentingnya mengkritisi tindakan atau gerakan dengan pola-pola yang tampak lazim maupun eksentrik.
Apabila diformulasikan sebagai suatu permasalahan, bagaimana dinamika kebenaran dari suatu pengetahuan dapat terbentuk dari konklusi-konklusi yang hampir ditolak? Dengan demikian, perdebatan semacam itu cenderung bersifat spekulatif, dengan jawaban-jawaban yang disampaikan atas premis yang diberikan seringkali kontradiktif[16]. Purwadarminta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menguraikan kebenaran sebagai (a) Kesesuaian dengan kenyataan atau realitas. Sebagai contoh, kita masih meragukan kebenaran berita ini, dan penting untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan; (b) Sesuatu yang benar atau nyata adanya, sesuai dengan kenyataan. Contohnya, kebenaran-kebenaran yang ditegaskan dalam ajaran agama; (c) Integritas dan kejujuran hati, seperti ketiadaan hukuman atas kebaikan dan kejujuran hati seseorang.[17]
Menurut Abbas Hamami, istilah "kebenaran" dapat digunakan sebagai sebuah konsep yang konkret maupun abstrak. Saat seseorang menyatakan "kebenaran," itu berarti menyiratkan proposisi yang akurat. Proposisi ini merujuk pada makna yang terkandung dalam suatu pernyataan atau postulat. Adanya kebenaran selalu terkait dengan pengetahuan manusia (subjek yang mengetahui) tentang objek[18]. Oleh karenanya, kebenaran bergantung pada sejauh mana subjek memiliki pemahaman tentang objek tersebut. Sementara itu, pengetahuan berasal dari berbagai sumber. Sumber-sumber tersebut juga berperan sebagai standar untuk menentukan kebenaran.
Signifikansi tentang mencari sebuah kebenaran sebagai bentuk mengatasi bias negatif (negative overshadowing) dapat dilakukan dengan selalu membentuk pola-pola positif berkepanjangan agar mendorong pemikiran yang lebih jernih, objektif, serta empatis. Hal tersebut telah disarikan dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 12
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12)
Berkenaan dengan ayat di atas, Syaikh Wahbah Zuhaili dalam tafsir Wajiznya menafsirkan bahwa sebagian besar dosa terjadi ketika kita mengasumsikan hal yang buruk terhadap orang-orang yang berbuat baik. Perbuatan ini merupakan dosa yang sangat tercela dan berpotensi mendatangkan hukuman bagi pelakunya. Namun, dalam kasus keburukan dan kefasikan, asumsi negatif dapat dianggap sebagai refleksi yang tepat atau indikasi yang jelas, sebagaimana kesesuaian perilaku mereka. Hendaknya jangan mencari-cari kekurangan dan kesalahan orang lain yang seharusnya tetap menjadi privasi mereka. Hindarilah menggunjing, karena menggunjing sama halnya dengan menikmati hal-hal yang menjijikkan dan tidak manusiawi, seperti memakan daging dari bangkai manusia yang sudah membusuk.
Menyikapi upaya deeplearning dalam memberantas perilaku antipaham dari sifat-sifat negative overshadowing, Al-Quran kembali memberikan pedoman keseimbangan dalam menilai sebuah informasi. Sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah SWT pada Q.S. Al-Hujurat ayat 6 yang berbunyi sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat: 6)
Dalam kitab Tafsir Wajiz disebutkan apabila seseorang menerima informasi penting dari individu yang telah menyimpang dari prinsip-prinsip agama (fasik), bijaksanalah untuk tidak langsung percaya, tetapi upayakanlah untuk mencari penjelasan yang sebenarnya dan memastikan kebenaran dari berita tersebut sebelum terpengaruh olehnya. Kita harus berhati-hati agar tidak terlibat dalam perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip kita dan bisa saja menimbulkan penyesalan dan kesedihan di kemudian hari. Hal ini untuk mencegah agar kita—yang sebenarnya tidak bersalah, tidak terjerat dalam tindakan tercela. Pada konteks ini, istilah fasik menurut Imam Ghazali dalam Mukasyafatul Qulub, menjelaskan bahwa orang fasik terbagi atas dua jenis, yakni fasik kafir dan fasik fajir.
Orang fasik yang kafir adalah mereka yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul SAW. Mereka keluar dari hidayah dan memilih jalan kesesatan sebagaimana fafasaqa ‘an amri rabbihi dalam surat Al-Kahfi ayat 50. Sedangkan fasik fajir adalah mereka yang minum khamar, mengonsumsi makanan yang diharamkan, berzina, mendurhakai perintah Allah masuk ke dalam kemaksiatan, namun mereka tidak menyekutukan-Nya.
Tindakan untuk menekankan aspek positif tidak hanya berhenti di situ. Masyarakat perlu memperdalam pemahaman tentang refleksi diri dan kesadaran sebelum membuat penilaian. Hal ini merupakan tahap penting untuk menghindari bias negatif dan bertindak secara obyektif. Konsep ini telah disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surah Al-Isra ayat 36.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
Artinya: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra: 36)
Pada ayat di atas, Syaikh Wahbah Zuhaili mengamanatkan agar manusia tidak terlibat dalam hal-hal yang tidak mereka pahami atau tidak memiliki keterkaitan dengan diri mereka. Mereka harus menjaga agar tidak terlibat dalam urusan yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Di hari kiamat, mereka akan diminta pertanggungjawaban atas penggunaan panca indera (penglihatan, pendengaran, dan hati) mereka, baik dalam melakukan kebaikan maupun melakukan keburukan. Oleh karena itu, manusia harus berhati-hati dalam menggunakan indera mereka dengan memastikan bahwa penggunaannya selalu sejalan dengan kebaikan dan kebenaran, karena pada akhirnya, mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Sebagai upaya singkat dalam menanggapi deepfake dan keterlibatan individu yang telah dianggap melakukan kesalahan, hendaknya seseorang melibatkan sikap-sikap positif atas kebijaksaan dan pemahaman dengan perasaan lemah lembut, memaafkan, bermusyawarah, yang dapat membantu mengembangkan empati serta memahami orang lain dengan lebih baik. Hal ini disampaikan dalam Q.S. Ali Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159)
Ayat ini mengajarkan kepada Rasulullah tentang pentingnya sikap lembut dan penyayang dalam berinteraksi dengan umatnya. Kemudahan dan kelapangan hati yang dimiliki oleh Rasulullah dalam menghadapi kaumnya merupakan hasil dari rahmat Allah yang telah ditanamkan dalam hatinya. Hal ini dimaksudkan agar Rasulullah bertindak dengan lemah lembut dalam menyebarkan agama Islam. Jika Rasulullah bersikap keras dan kasar terhadap mereka, maka kemungkinan besar mereka akan menjauh darinya. Oleh karena itu, Rasulullah diajarkan untuk memaafkan mereka, memohonkan ampun bagi mereka, dan berunding dengan mereka dalam segala urusan agama dan dunia yang tidak bertentangan dengan hukum agama atau belum dijelaskan dalam wahyu. Setelah bermusyawarah, Rasulullah diminta untuk bertawakal kepada Allah dengan menyerahkan semua urusan kepada-Nya.
Hal ini menunjukkan bahwa kemurahan hati dan keterbukaan dalam berkomunikasi dengan sesama merupakan rahmat yang Allah tanamkan dalam diri setiap individu. Dalam menyebarkan ajaran Islam, penting bagi kita untuk menghadapi orang lain dengan kelembutan dan kesabaran, bahkan ketika kita dihadapkan pada tantangan atau ketidaksepakatan. Kerasnya sikap atau kasar dalam berinteraksi hanya akan menjauhkan orang dari kita. Oleh karena itu, kita diajarkan untuk selalu memaafkan kesalahan orang lain, memohonkan ampun bagi mereka, dan berdiskusi dengan mereka dalam mencari solusi atas segala permasalahan, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia, dengan memastikan bahwa keputusan yang diambil selaras dengan nilai-nilai Islam.
Manusia yang terjebak dalam ambivalensi dari ambang batas kebenaran kerap menghambat konstruksi pemikiran yang presisi. Idealnya, dengan mengusung kebijakan-kebijakan yang berlandaskan nilai-nilai positif, seseorang dapat membuka perspektif objektif bahwa realitas yang hadir adalah suatu kebenaran, sehingga kekhawatiran akan munculnya replikasi makna, tanda, dan informasi dengan pemikiran-pemikiran negatif tidak lagi muncul (negative overshadowing). Akurasi dalam mengolah suatu entitas baru merupakan tindakan yang mengukuhkan upaya-upaya positif. Sumber-sumber pengetahuan tentu melibatkan berbagai metode untuk menetapkan teori-teori kebenaran, meskipun secara epistemologis, diskursus semacam ini dapat kembali dikategorikan pada pertanyaan apakah pengetahuan itu berasal dari rasionalitas semata (aqliyyah), pengalaman empiris (tajribiyyah), kritik (naqdiyyah), atau intuisi (hadasiyyah).
Naluriah manusia, dengan substansi keterlibatan emosional interaktif cenderung mendahulukan citra-citra negatif dalam setiap perspektif. Deepfake dalam hal ini merupakan ancaman baru yang mengejutkan proses kognitif manusia dalam bertindak. Bias-bias negatif yang terus-menerus muncul dari berbagai penjuru informasi, gagasan, opini, dan tanda serupa menjadi titik awal pembentukan masyarakat antipaham yang justru memicu konflik antara rasionalisme dan empirisme terkait landasan pengetahuan dalam suatu kebenaran. Karena pada hakikatnya, manusia berkembang dengan dorongan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Eksplorasi terkait kebenaran dapat ditelusuri lebih dalam melalui berbagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu, sebagai solusi yang ditawarkan, beberapa ayat Al-Quran dalam surat Al-Hujurat:11, surat Al-Isra: 6;12, surat Ali Imran:159, dan surat Al-Isra:36 memberikan jawaban eksplisit, yakni dengan bijak memilah segala informasi yang diterima, mencari kebenaran tanpa menerimanya secara mentah-mentah, dan menghindari prasangka yang mengarah pada pola pikir negatif serta kecenderungan untuk membenci individu yang dianggap bertentangan, ketika sebenarnya yang harus disoroti adalah keburukan itu sendiri. Wallahu waliyyuttawfiq.
[1] Gambaran suatu visi ideal untuk sebuah masyarakat atau wilayah yang tertib, damai, sejahtera, dan berkecukupan. Ungkapan ini mencerminkan harapan dan cita-cita masyarakat Jawa (dan bisa diterapkan secara lebih luas)
[2] Nasrudin, J. (2019). Relasi agama, magi, sains dengan sistem pengobatan tradisional-modern pada masyarakat pedesaan. Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama, 2(1), 42-58.
[3] Bandura, A. Self Regulaton dan Self Efficacy pada Perspektif Teori Sosial Kognitif Albert Bandura.
[4] Aulia, F. (2015). Aplikasi psikologi positif dalam konteks sekolah. In Seminar Psikologi & Kemanusiaan (Vol. 121, pp. 120-124).
[5] Taufik, C. M., & Suryana, N. (2022). Media, kebenaran, dan post-truth.
[6] Lusi, R. M. E. (2024). Komunikasi Digital dan Keterlibatan Politik: Menilai Pengaruh Platform Online terhadap Opini Publik. J-CEKI: Jurnal Cendekia Ilmiah, 3(3), 782-788.
[7] Siregar, R. K., Anton, A., & Widiastuti, W. (2021). Perancangan Aplikasi Bahasa Isyarat “Isyaratku” Dengan Deep Learning Serta Google Cloud Platform. Simpatik: Jurnal Sistem Informasi dan Informatika, 1(2), 90-97.
[8] Mofferz, M. W. (2020). Meretas Makna Post-Truth: Analisis Kontekstual Hoaks, Emosi Sosial dan Populisme Agama. Societas dei: jurnal agama dan masyarakat, 7(1), 3-3.
[9] عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ». رواه مسلم
[10] Muna, M. K., & Subekti, M. Y. A. (2020). TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM AL QUR’ AN [Kajian Surah Al-Hujurat Ayat 11-13 Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhaili]. Piwulang: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2(2), 167-189.
[11] Rosalina, I. F. (2017). Menangkal Hate Speech Dan Merawat Keberagaman Indonesia Ala Ahmad Syafii Maarif. Academia. Edu.
[12] Peterson, C. (2006). A primer in positive psychology. Oxford university press.
[13] Aprilyani, R., & Fahlevi, R. (2022). Psikologi Positif.
[14] Rozin, P., & Royzman, E. B. (2001). Negativity bias, negativity dominance, and contagion. Personality and social psychology review, 5(4), 296-320.
[15] Rosalina, I. F. (2017). Menangkal Hate Speech Dan Merawat Keberagaman Indonesia Ala Ahmad Syafii Maarif. Academia. Edu.
[16] Atabik, A. (2014). Teori kebenaran perspektif filsafat ilmu: Sebuah kerangka untuk memahami konstruksi pengetahuan agama. Fikrah, 2(2).
[17] Fautanu, I. (2012). Filsafat ilmu: Teori dan aplikasi. Jakarta: Referensi.
[18] Susanto, A. (2021). Filsafat ilmu: Suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Bumi Aksara.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang