Puisi-puisi Arif Rahman: Anak-anak Surga

Ahad, 12 Nov 2023, 14:01 WIB
Puisi-puisi Arif Rahman: Anak-anak Surga
Anak Gaza

Anak-anak Surga

 

Anakku, maafkan Bunda,

Awan di langit kita

hanya terbuat dari puing-puing bangunan,

didih tangisan,

dan arwah yang melolong-beterbangan.

 

Anakku, maafkan Bunda,

jika kau harus terlahir

di kota bertaman bunga-bunga jenazah,

di Gaza berwudu peluru dan rudal berdarah.  

 

***

 

Dan di tepian sana,

para balita menggelar kabar

dari bening kausar:

 

Tak perlu risau, Bunda.

Kini kota berpuing itu

Sedang membawaku ke nirwana.

 

2023

 

 

 

Anugerah Surat-surat Maut

            : Tarafah bin Abid

 

Paman, sudahlah.

Bukankah di ufuk cerita,

sepotong ‘kematian’ tak ubahnya 

syair-syair emas yang beterbangan.

 

Dan ingatlah, Paman.

Aku selalu ingin bebas

Meraja, laiknya hambur debu-debu nebula.”

***

Seperti koloni elang yang lepas mengembarai laut udara,

sejauh itu pula visus penyair berkelana

merasuki seluk-seluk jiwa 

Menjelma bohemian pencaci;

Menjelma bohemian pemuji

 

Atas nama ayat-ayat emas yang ia pilin sendiri

menjadi tombak panas dan menghujamkannya

menuju degup jantung istana

Maka karenanya selang beberapa putaran dunia,

ia dan pamannya diputuskan musti

berkalung titah raja; meraba panjang safar jelaga

 

Dan sampai tiba saatnya,

Di tengah perjalanan kosong mereka

di bawah daging matahari, di atas gurun tanpa perigi

Sekonyong-konyong Sang Paman mengaku

betapa dirinya habis dikutuk risih-curiga

Ia singkap pucuk surat paduka

Kemudian dari urat bola matanya,

tampak mengular kecil sungai-sungai kematian:

            Nak, mari tinggalkan waktu ini

            Lihatlah, kita memiliki dua tanda di surat yang kita bawa;

            Kita lenyapkan surat paduka sekarang juga,

            atau dengan gagah tetap mengantarkannya,

            menjemput mayatmu sendiri dengan nasib tangan dan kaki terjagal

 

Mendengarnya Tarafah sedikit terhenyak

Namun, lekas ia rajut kembali benang-benang keteguhan:

Paman, bukankah aku telah menusukkan tombak emas

ke jantung mereka, maka apa salahnya mereka

mengembalikan tombak itu kepadaku,

meski dengan mandat surat-menyurat ini

--permainan culas ini

 

Aku tak menyoalkan itu,

dan kau tetaplah tenang, Paman

sekarang juga kau bisa bebas; pulang dengan diam

Menatap kembali riang cakrawala tanpa luka

Dan jika saja suatu pagi engkau sempat membeku;

ingin mengenangku,

kusarankan kau bisa pesan banyak-banyak sulingan khamar

dengan sedikit bumbu sajak-sajak anggur--berbahagialah

Namun sebagaimana aku telah menyuguhkan

daging busuk itu sendiri ke meja serigala haus pujaan

Kuputuskan sendiri lontar pertanggungjawaban

Menemui Bahrain, menjemput epilog;

menyambutnya dengan tarian imaji-imaji amal orang suci

 

Dan dalam perjalanan, akan selalu kuingat,

agar setidaknya akan kuminum jiwa Pheidippides,

seorang pewarta gagah yang tumbang di hikayat surat kabar

Sehingga kami akan menjadi kembar, bersama,

terbebas dari kurungan bumi

akibat menerima berkah dari sepucuk surat sakti

Maka dengan itu, ketahuilah, bersenang-rialah:

melalui surat-surat kami—kami melayang-abadi

***

Sang Paman menurutinya, ia pulang dengan diam

Lalu sesampainya ia di pintu rumahnya,

ia temui selembar kertas menempel bertinta emas:

Paman, aku elang nebula bersajak anggur para dewa.

 

Malang, 2023

 

 

 

Demi Orang-orang Mati

 

dan lihatlah di banyak sekeliling taman,

banyak sapiens yang terdampar

 

Maka hari ini, kepada engkau, Tuhan,

pinjamkan aku delapan milyar nyawa manusia

Lalu aku akan hidup-mati-hidup,

bertebar bunga dan abadi

 

--tak akan hadir kembali orang-orang pasi

 

Malang, 2023

#puisi #gadingpesantren38 #sastra #sajak  Puisi  Puisi Santri  Sastra  Sastra pesantren 
M. Arif Rahman Hakim

Penulis adalah manusia seperti pada umumnya.

Bagikan