Potret Militansi Kaum Sarungan Mengembari Dzuhurul Qolam di Era Prospektif

Jumat, 12 Jan 2024, 15:38 WIB
Potret Militansi Kaum Sarungan Mengembari Dzuhurul Qolam di Era Prospektif
(Lukisan Zukk) Pentingnya Seorang Alim di Masa Kini

 

Jika kita mengkaji gerakan kebangkitan atau usaha penguatan karakter santri, fenomena tersebut telah tercatat dalam berbagai episode sejarah negara kita yang dapat diidentifikasi melalui resistansi sporadis terhadap penjajahan Belanda dan pasukan NICA. Diskursus seputar militansi santri membawa kita kembali ke tableau masa lalu yang sarat dengan semangat perjuangan pada era respektifnya. Salah satu manifestasi yang dikenal adalah Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober yang dicetuskan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, yang mewajibkan keterlibatan fardhu ‘ain dalam melawan pasukan sekutu.

Militansi santri dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia dapat dieksplorasi melalui keberhasilan mereka mengembangkan warisan perlawanan terhadap entitas yang berupaya merusak integritas negara. Santri secara konsisten berpartisipasi dalam beragam upaya perlawanan terhadap penjajahan, dengan episentrum perlawanan sporadis yang berlangsung sepanjang tiga abad. Di tanah Jawa, momentum perlawanan signifikan berlangsung pada rentang waktu 1825-1830, yang dalam catatan kolonial Belanda dikenal sebagai Perang Jawa. Pada periode tersebut, jejak perlawanan umat Islam terhadap dominasi kolonial dipelopori oleh Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan Mataram yang memiliki latar belakang santri juga ulama’.

Narasi perihal sejarah perlawanan bersenjata terhadap penjajahan Belanda di Indonesia, hampir tidak dapat diidentifikasi satu pun peristiwa perlawanan yang tidak melibatkan tokoh pemimpin tarekat atau tokoh pesantren. Di dalam penelusuran Koloniaal Archive, terdapat dokumentasi kasus-kasus pemberontakan pada periode 1800-1900, mengungkapkan adanya tidak kurang dari 112 insiden pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh pesantren thoriqoh, sehingga hal ini mencerminkan keterlibatan aktif dan peran sentral santri dalam menjaga kemerdekaan Indonesia melawan hegemoni kolonial.

Keberlanjutan perjuangan santri tidak hanya terbatas pada masa kini, melainkan mencakup rentang waktu yang lebih luas. Saat ini, pesantren dan komunitas santri tidak hanya dihadapkan pada tantangan fisik sebagaimana terjadi pada periode pra dan pasca kemerdekaan. Perjuangan mereka kini melibatkan respons terhadap beberapa fenomena yang mengancam, salah satunya adanya berbagai bentuk samaran sebagai usaha untuk mewujudkan kepentingan pribadi di balik tirai agamawi.

Perusakan terhadap ideologi yang menyimpang dari identitas negara juga menjadi fokus perhatian, terutama terkait dengan stereotip yang menciptakan keraguan besar terhadap kontribusi santri dalam membentuk masa depan. Hal ini menjadikan peran santri sebagai sasaran, ketika harapan-harapan terhadap potensi positif kesantrian dianggap dengan skeptis.

Di era kontemporer saat ini, santri tidak lagi dihadapkan pada konfrontasi fisik seperti yang dicatat dalam berbagai literatur sejarah. Sebagaimana persoalan peristiwa perang dunia pertama dan kedua, pertentangan antara kelompok santri dengan berbagai ancaman yang mengintai kini berasal dari kemajuan teknologi yang merambah ke segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, pembahasan ini mengulas tentang peranan media digital (babakan cybermedia) dalam kehidupan santri sebagai wujud dari evolusi zaman yang semakin terkait erat dengan sistem dunia maya.

Modernitas zaman kini dicirikan oleh kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang ilmu komunikasi dan telekomunikasi. Faktanya, keberadaan teknologi telah menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan sehari-hari—dan tak dapat disangkal bahwa keberadaannya sangat krusial. Bahkan, dalam kalangan santri sebagai konsumen, adaptasi serta seleksi terhadap pengetahuan dan kebutuhan yang akan dikonsumsi menjadi suatu keharusan, mengingat kapasitas media yang begitu imperatif seolah menjadi hal yang mendesak.

Apabila kita menganggap media sosial sebagai salah satu medium yang dapat membuka peluang dalam hal pengembangan lapangan pekerjaan, seperti melalui kegiatan jual-beli (muamalah) dan sebagai akses pendidikan, maka secara hukum, status penggunaan media sosial dihukumi mubah atau diperbolehkan. Namun, bagi seorang santri, terutama individu Muslim, perlu memerhatikan implikasi aspek serapan data yang terdapat dalam media sosial, sejauh mana data tersebut dapat dianggap sebagai kebenaran atau justru berbuah kesalahan. Hal ini sejalan dengan prinsip ushul fiqih yang menyatakan "dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih" (mencegah kemudaratan lebih didahulukan daripada mendatangkan kebaikan). Oleh karena itu, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa interaksi global saat ini membawa konsekuensi tertentu yang perlu dihadapi dengan bijak.

Beragam interpretasi menyimpang dari kebenaran, yang mengakibatkan munculnya ancaman dan tantangan yang melibatkan hingga mempengaruhi pemikiran kita. Hal ini juga berlaku pada konstruksi penafsiran mengenai tanda-tanda hari kiamat yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad pada istilah dzuhurul qolam[1]. Dzuhurul Qolam, sebagai perwujudan penyebaran tulisan dan media komunikasi yang tersebar di dunia maya, sehingga menjadi fenomena yang patut dicermati pada masa ini.

Bukan semata-mata penggunaan media atau kapasitas kognitif kita dalam memperoleh, menyampaikan, dan menafsirkan informasi yang menjadi fokus, melainkan hakikat substansial dari konten data itu sendiri. Pertanyaan mendasar adalah apakah apa yang disampaikan mengandung kebenaran atau malah membawa dampak negatif yang berlebihan. Dalam lingkup kehidupan masa kini, terutama di kalangan milenial, permasalahan signifikan yang muncul dalam struktur kehidupan adalah fenomena "hoax," yang tak terlepas dari dinamika informasi. Namun, di kalangan pesantren, santri, dan dalam perspektif agama Islam, apakah kita juga memiliki pemahaman akan keberadaan fitnah yang merambat melalui media sosial—yang secara rutin dikonsumsi oleh masyarakat umum? Ini justru merupakan isu yang memiliki relevansi dan kompleksitas yang tinggi.

Menghadapi resistensi dari dunia cybermedia, militansi seorang santri dibuktikan dengan aktualitas dalam kompetensi yang benar-benar terampil. Saat ini, yang menjadi tandingan bukanlah penjajah ulung seperti pada masa lalu, melainkan figur-figur medioker yang mengenakan seragam santri, kemudian seolah-olah berbicara tentang hukum dan agama dengan logika sewenang-wenang, tanpa merujuk pada landasan hukum syariat (fiqih) yang menjadi acuan validitas.

Sebagai santri, tindakan kita tidak seharusnya berhenti pada tahap ini semata, tetapi sebaliknya, kita diwajibkan untuk melakukan perjuangan yang sungguh-sungguh. Hal ini mencakup kewajiban memperdalam pemahaman melalui studi kitab-kitab salaf, pemahaman tafsir Al-Quran, dan mengembangkan diri menjadi seorang alim yang mampu memberikan bimbingan kepada sesama dalam upaya mengikuti jalan kebaikan. Pentingnya tidak hanya menjadi konsumen pasif dari pengaruh media sosial, melainkan menekankan bahwa media ini tidak boleh dijadikan sebagai sarana komodifikasi dakwah yang tidak berhasil dicerna dengan baik oleh khalayak awam.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S. Al-Hujurat: 6)

Sejumlah penjelasan tafsir mengenai ayat ke-6 Surat Al-Hujurat, termasuk yang disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, menyoroti suatu prinsip penting dalam Islam. Prinsip tersebut menekankan bahwa individu yang telah menerima pencerahan hatinya oleh Islam, ketika dihadapkan pada suatu pernyataan yang meragukan terkait fatwa dari sebagian ulama, disarankan untuk tidak menyebarkannya kepada pihak yang terlibat. Sebaliknya, individu tersebut disarankan untuk tetap merahasiakan informasi tersebut, meskipun ia yakin akan kebenarannya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya informasi yang tersebar mengenai imam-imam tertentu yang seringkali tidak memiliki kebenaran.

Poin kedua yang dijelaskan dalam pandangan ini adalah bahwa ayat ini mencakup salah satu prinsip verifikasi berita. Prinsip tersebut menekankan perlunya mengklarifikasi informasi yang diberikan oleh beberapa media terkait orang-orang Hisbah dan individu lain yang mengurus urusan masyarakat. Ini karena terdapat kemungkinan kesalahan yang dapat terjadi dari berbagai sisi. Beberapa alasan mengapa verifikasi terhadap berita dari media tertentu diperlukan antara lain adalah adanya kekurangan dalam integritas intelektual dan moral, penulis yang mungkin memiliki posisi pribadi dan memandang media sebagai sarana untuk mengekspresikan pandangan pribadi, serta adanya banyak laporan yang mencemarkan pihak tertentu dengan menyatakan kesalahan, penyimpangan, atau memberikan penilaian yang berlebihan.

Ragam ketidakseimbangan dalam kejelasan konten atau bentuk dakwah yang disampaikan melalui berbagai media menuntut peran aktif dari kita, sebagai kaum santri yang memiliki integritas intelektual dan moralitas agama. Dalam perspektif ini, ditekankan bahwa setiap individu santri harus memupuk kecerdasan yang mampu menyusun argumen atau klarifikasi untuk meluruskan atau menegaskan kebenaran, terutama terkait dengan ajaran hukum syariat, pengajaran tasawwuf, dan aspek moralitas individu. Tindakan preferensial ini menjadi indikasi militansi santri di era milenial.

Adalah penting bagi kita untuk membangunkan kesadaran masyarakat awam terhadap konten-konten media yang menyesatkan. Upaya perbaikan juga harus diarahkan kepada ustadz-ustadz medsos yang menyampaikan pemikiran atau paham yang keliru. Selain itu, penyebaran dakwah agama yang memiliki nilai-nilai dari perspektif hukum dan teori agama perlu diintensifkan, sehingga masyarakat awam, yang bukan santri, dapat menilai dan memperoleh pengajaran yang benar dan sesuai. Wallahu a’lam.

 

 


[1] Dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ber-sabda: إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ ظُهُورَ الْقَلَمِ.

“Sesungguhnya menjelang datangnya Kiamat… bermunculannya pena (qalam). Musnad Ahmad (V/333-334) (no. 3870), syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”

militansi  hoax  fitnah  dzuhurul qolam  Dakwah Santri 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan