Menggali Kapabilitas Umat “Nabi yang Ummi” dari Istilah yang Nomaden

Senin, 11 Des 2023, 11:58 WIB
Menggali Kapabilitas Umat “Nabi yang Ummi” dari Istilah yang Nomaden
Kegiatan Ngaji Ramadhan (Cerminan Santri Melek Budaya Baca Tulis)

Pada zaman Nabi, praktik kebudayaan menulis dan membaca telah dikenal luas di kalangan masyarakat Arab, tidak terbatas hanya pada suku Quraisy. Catatan sejarah menunjukkan bahwa ini bukanlah kebiasaan eksklusif mereka semata. Menurut laporan dari para bangsawan pada masa itu, terdapat bukti bahwa penduduk Taif serta suku Quraisy memperoleh pengetahuan menulis dari kota Hirah, kota yang terletak dekat daerah Furat di Irak, seperti yang dicatat oleh Ibnu Khaldun.

Sesuai dengan pandangan Ibnu Khaldun juga, terdapat suatu narasi yang menyatakan bahwa masyarakat Hijaz, khususnya orang Arab, mengembangkan kemampuan menulis mereka melalui warisan intelektual yang diterima dari wilayah Hirah. Menariknya, catatan sejarah menunjukkan bahwa sebelumnya, pengetahuan menulis ini juga merebak melalui Dinasti Tubba' di Yaman dan Himyar (saat ini menjadi bagian dari Oman). Hal ini  memberikan gambaran tentang sejarah panjang dan interaksi intelektual di kalangan masyarakat Arab sebelum munculnya Islam.

Di samping itu, kita juga meyakini bahwa ada 17 sahabat masyhur yang terampil dalam membaca dan menulis. Terdapat pula bukti substansial tentang praktik kepenulisan pada masa tersebut. Salah satu contohnya adalah koleksi syair Arab yang dikenal sebagai muallaqat, yang dipamerkan di pasar seni Arab seperti Ukaz, bahkan salah satunya dipajang di Ka'bah. Fenomena ini menunjukkan kemegahan peradaban sastra pada era tersebut, bepretensi adidaya keahlian masyarakat Arab, juga mencerminkan kecakapan dan keunggulan intelektual penduduk Arab. Selanjutnya, adanya naskah pemboikotan atau muqatha'ah yang ditujukan kepada Bani Hasyim di Syi'ib Ali menambah kompleksitas panorama tulis-menulis pada saat itu. Penulisan naskah ini dilakukan pada kulit hewan, dan lembaran kulit tersebut ditempelkan di dinding atau pintu Ka'bah sebagai ekspresi penentangan dari golongan Quraisy terhadap misi dakwah Nabi.

Teks Al-Quran yang tersebar di kalangan sahabat pada dasarnya merupakan hasil dari hikmah Nabi Muhammad , yang dikenal sebagai seorang ummi. Dalam berbagai sumber tekstual sejarah, terungkap bahwa Nabi Muhammad adalah individu yang ummi atau buta huruf, yang berarti tidak memahami keterampilan membaca dan menulis. Status ummi ini tidak hanya berlaku bagi Nabi Muhammad sendiri, melainkan juga mencakup masyarakat Arab secara umum, termasuk kalangan kaum Yahudi.

Ketidaktahuan akan keterampilan literasi ini tidak mencakup hanya Nabi Muhammad, melainkan juga merangkul seluruh lapisan masyarakat pada masa itu. Meskipun demikian, kebijaksanaan dan kebijakan Nabi Muhammad dalam menyampaikan wahyu Ilahi melalui Al-Quran membuktikan bahwa kendati ummi (jamak: ummiyyun) secara literal, beliau merupakan utusan Allah yang memiliki kedalaman pemahaman dan pengetahuan yang luar biasa dalam menyampaikan ajaran Ilahi kepada umatnya[1].

Persoalan status ummi yang melekat pada Nabi Muhammad membawa konotasi bahwa ketidaktahuan beliau dalam membaca dan menulis merupakan salah satu mukjizat. Meskipun banyak ahli tafsir yang menginterpretasikan ummi sebagai buta huruf, sejumlah pakar tafsir lainnya berpendapat bahwa ummi tidak hanya merujuk pada ketidakmampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup ketidakhadiran akses terhadap al-Kitab atau wahyu sebelumnya. Istilah ummi tercatat dalam Al-Qur'an pada Surah Al-A'raf (7:157, 158), merujuk pada gelar nabi yang tidak terampil dalam membaca dan menulis. Demikian pula, istilah ummiyyin atau ummiyyun ditemukan dalam Surah Al-Baqarah (2:78), Surah Ali Imran (3:20, 75), serta Surah Al-Jumu'ah (62:2), mengacu pada orang-orang yang tidak memiliki kemampuan literasi. Kondisi ini menjadi umum di kalangan masyarakat Arab pada masa Rasulullah, yang sebagian besar tidak terampil dalam membaca dan menulis.

Kontroversi terbesar muncul ketika dipahami bahwa keummi-an Nabi menyiratkan kemampuannya mengajarkan al-Kitab (Al-Quran), yang bertentangan dengan asumsi awal bahwa beliau adalah buta huruf. Maka sebuah pertanyaan muncul: bagaimana mungkin seorang yang tidak memiliki keterampilan membaca dan menulis dapat memberikan pengajaran terkait tulisan-tulisan yang terdapat dalam suatu kitab?

 

Apa itu Keummiyan Nabi?

Secara bahasa, ummi  berarti ibu dalam bahasa Arab. Namun, dalam istilahnya, ummi merupakan gambaran kondisi seseorang ketika baru saja dilahirkan oleh ibunya. Oleh karena itu, seseorang yang disebut sebagai ummi memiliki ciri-ciri kekurangan pengetahuan, dengan pemahaman yang terbatas pada pengalaman langsung dan persepsi yang mereka peroleh sejak awal kehidupan, sebab baru lahir dianggap sebagai fase ketidaktahuan terhadap hal-hal di sekitarnya.

Studi sejarah dan analisis tafsir yang telah digalakkan oleh ulama dan ahli lainnya menghadapi tantangan dalam menegaskan atau mengaitkan secara pasti apakah Nabi benar-benar buta huruf. Hal ini didasari oleh ayat 48 surat al-ankabut yang berbunyi:

وَمَا كُنتَ تَتْلُوا۟ مِن قَبْلِهِۦ مِن كِتَٰبٍ وَلَا تَخُطُّهُۥ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لَّٱرْتَابَ ٱلْمُبْطِلُونَ

Artinya : “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Quran) sesuatu Kitab-pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).”

Dalam berbagai literatur hadis yang menggambarkan kronologi penurunan Al-Quran, terdapat kutipan yang diatribusikan kepada Nabi yang menyatakan (مَا أَنَا بِقَارِئٍ), sebagai indikasi bahwa Nabi membenarkan ketidakmampuannya membaca ketika datang perintah pertama kali untuk membaca wahyu turun dari Jibril.

Selain itu, konsep keummiyan yang terkait dengan Nabi juga diperjelas melalui hadistnya sendiri. Hal ini menyiratkan bahwa istilah keummiyan diperkuat oleh pernyataan langsung Nabi yang menegaskan, "Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, tidak mahir dalam membaca dan berhitung"[2]

 

Riwayat Kondisi Kaum Quraisy Perihal “Baca-Tulis”

“Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga[3]

Sebagaimana yang telah dijelaskan melalui catatan sejarah dan interpretasi ayat-ayat Al-Quran, penafsiran mengenai pandangan masyarakat yang ummi menunjukkan pentingnya mempertimbangkan studi perilaku budaya masyarakat Arab secara historis. Kajian ini menjadi relevan dalam keterkaitannya dengan ayat-ayat yang melandasi konsep keummiyyan yang terdapat dalam teks Al-Quran.

Pada periode bangsa Arab lampau, perolehan informasi bergantung sepenuhnya pada tradisi lisan, tanpa keterlibatan media tulis. Oleh karena itu, beberapa ayat sebelumnya menggambarkan bahwa keummiyyan seseorang tercermin sebagai hasil dari praktik budaya yang umum pada masa itu, yakni penyaluran informasi melalui perantaraan lisan. Dengan meningkatnya ketidakpastian terkait akurasi pengetahuan pada era tersebut, informasi yang disampaikan secara lisan sering kali disalahartikan sebagai dongeng atau bahkan dianggap sebagai omong kosong tanpa dasar (bualan semata).

Situasi yang demikian sulit diterima. Meskipun mereka diberi akses kepada informasi tertulis, mereka enggan menerimanya dengan alasan kesulitan memahaminya. Bahkan ketika pengetahuan disampaikan secara lisan, mereka masih menolaknya karena dianggap sebagai cerita yang tidak dapat dipercaya, dengan cepat menuduhnya sebagai rekayasa kebohongan belaka.

Di sisi lain, kaum Quraisy memiliki pandangan bahwa individu yang ummiy menandakan kecerdasan pada masa itu. Masyarakat Quraisy sangat mengapresiasi keahlian dalam bidang sastra dan linguistik. Oleh karena itu, para penyair menduduki posisi yang prestisius dan terhormat di dalam lingkungan sosial mereka. Terlebih lagi, ketika seorang penyair tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis, hal itu justru memperkuat posisi dan reputasi mereka dalam kalangannya.

Dengan kata lain, pemikiran kaum Quraisy menyimpulkan bahwa individu yang ummiy dianggap sebagai intelektual yang cemerlang karena kemampuannya dalam menyusun, menciptakan, dan menghafal puisi hanya dengan sekali mendengarnya. Sebagai hasil dari kemampuan di luar biasa ini, seseorang dianggap memiliki daya ingat yang superior, yang dilihat sebagai bukti kecerdasan yang lahir dari kemampuan luar biasa tanpa bergantung pada proses pendidikan formal (otodidak).

Terkadang paradoks, kaum Quraisy melihat individu yang terampil dalam membaca dan menulis bukan sebagai sosok yang lebih cerdas daripada individu ummiy. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa mereka yang terbiasa dengan kegiatan menulis dan membaca cenderung memiliki kemampuan ingatan yang relatif kurang kuat. Karena itulah, mereka dianggap perlu menyimpan informasi dengan menuliskannya sebagai upaya untuk menjaga memori yang mungkin tidak sekuat individu yang mengandalkan kemampuan luar biasa dalam menghafal.

Menariknya pula, di kalangan kaum Quraisy ada saja orang-orang yang tidak memiliki retensi memori yang kuat namun menolak untuk mengasah keterampilan membaca dan menulis. Kelompok ini dapat dikategorikan sebagai individu yang angkuh dan kurang dalam introspeksi terhadap kapasitas kognitif mereka. Mereka berkeinginan untuk dipandang sebagai individu cerdas seperti para intelektual dari golongan ummi yang tidak merasa perlu untuk mengembangkan kemampuan membaca dan menulis.

 

Hikmah Keummiyyan Nabi

Menjadi pribadi yang ummiy bukan berarti Nabi Muhammad terpinggirkan dalam intelektualitasnya atau tidak mampu mengembangkan pemikiran yang cermat. Sebaliknya, keberadaan beliau telah tercermin dalam kecerdasan yang sudah membaur sejak usia dini, menonjolkan ketajaman berpikir yang luar biasa. Sehingga, dalam masyarakat Quraisy, Nabi Muhammad telah memperoleh posisi yang terhormat jauh sebelum diangkat sebagai Rasul, sehingga hal ini menandakan bahwa kecerdasan dan kebijaksanaan beliau sudah terkenal dan diakui.

Jika Al-Quran saat ini adalah karangan Nabi sendiri dari anggapan Nabi yang ummi, mustahil kiranya seperti apa yang terkandung dalam (Al-Haqqah:44-48). Dalam penafsirannya[4], terdapat perdebatan yang menyoroti kemunculan tantangan terkait ketidakmungkinan seorang Nabi yang ummi untuk menjadi pengajar dan pembaca Al-Quran, sementara kenyataannya adalah bahwa semua ini merupakan mukjizat yang berasal dari Allah dan wahyu ilahi yang turun, bukan sekadar spekulasi atau celaan terhadap Nabi yang secara tidak benar dikaitkan dengan perilaku yang tidak wajar.

Ibnu Taimiyah setelah menyebutkan surat al-A’raf: 157 dalam penafsirannya, bahwa keummiyan Nabi Muhammad bukan berarti Nabi Muhammad tidak mengindikasikan bahwa beliau tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan membaca. Dari sini, jelaslah bahwa status keummian Nabi ﷺ tidaklah menjadi dasar dari kelemahan pribadi beliau ataupun kelemahan dalam ajaran yang beliau sampaikan. Status ummi beliau bukanlah suatu tanda buruk yang menyiratkan ketidakmampuan dalam peran sebagai pemimpin yang baik, atau sebagai Nabi dan Rasul. Sebaliknya, status ummi tersebut merupakan manifestasi dari kehendak Allah Ta’ala untuk menegaskan bahwa ajaran (syariat) yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ berasal dari Allah Ta’ala, bukan hasil dari pemikiran atau karangan individu[5].

Kontroversi yang melingkupi pemahaman dan makna istilah "ummi" terkait Nabi, memberikan wawasan mendalam bahwa ayat-ayat Al-Quran jelaslah wahyu Allah. Oleh karena itu, manusia dilahirkan dalam keadaan tanpa pengetahuan yang meyakinkan bahwa segala kesempurnaan dan kemuliaan adalah semata-mata milik Allah.

Pemaknaan ini membimbing kita menuju suatu era peradaban baru yang memperkaya warisan ilmu yang telah Allah turunkan melalui utusan-Nya kepada seluruh umat manusia. Hal ini menegaskan bahwa kehidupan di dunia ini selalu mengalami perubahan yang revolusioner pada setiap fase. Dalam beberapa sejarah yang disajikan (tidak hanya peradaban timur saja), fenomena ummi mengingatkan kita akan pentingnya keandalan kekuatan spiritual umat yang seharusnya sekuat Nabi, sehingga menunjukkan bahwa kita tidak dapat merancang suatu pemikiran kolektif yang begitu kuat tanpa memajukan peradaban Islam khususnya.

Perjuangan dalam mengembangkan kemampuan membaca dan menulis menjadi tolok ukur bagi kemajuan umat dalam mengatasi kebodohan. Bagaimanapun, kita sebagai individu yang tidak diberi wahyu seperti Nabi, adalah penting untuk memberi ruang pada pendidikan sebagai bagian integral dari kehidupan. Melalui wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi, yaitu perintah untuk membaca[6], seharusnya kita mengadvokasi nilai tersebut sebagai fondasi bagi perkembangan intelektual umat. Sama halnya dengan perintah kepada Nabi untuk menulis dengan menggunakan pena[7], hal ini memberikan landasan yang kuat bagi pentingnya kemampuan menulis dalam perkembangan intelektual umat.

Maka, untuk membangun struktur agama yang kokoh, penting bagi kita semua untuk saling mengingatkan akan kebutuhan lingkungan yang mempromosikan pendidikan melalui kegiatan membaca dan menulis. Keterbelakangan peradaban sering kali tercermin dalam perilaku umat yang mengabaikan pelaksanaan perintah yang—pada hakikatnya—dirancang untuk membentuk serta memajukan umat ke depan.

Nabi juga belajar semasa kenabiannya dengan membaca juga menulis. Apabila kita enggan berupaya dalam hal tersebut, dan bergantung pada daya ingat semata tanpa keterlibatan aktif dalam membaca dan menulis, apakah kita menganggap diri mampu menandingi kemuliaan Nabi dan sejalan dengan menentang syariat Allah yang telah ditetapkan? Jangan pernah menjahiliyahkan diri dengan mendawamkan kebodohan yang ada pada diri. Wallahu a’lam.

 


[1] (Wa huwannabiyyul ummiyulladzi la yaqrau wa la yaktubu, wa innama yuuha ilaihi min robbihi.) Baca Mukhtashor fit tafsir—Al A’raf: 157

[2] Inna ummiyyatun, la naktubu wa la nahsabu

[3] Baca Al-Baqoroh ayat 78

[4] Baca Tafsir Muyassar: Seandainya Muhammad mengklaim sesuatu atas Nama Kami padahal Kami tidak mengucapkannya, niscaya Kami menghukumnya dan mengambilnya dengan kekuatan dan dengan keras, kemudian Kami memutuskan urat jantungnya, maka tidak seorangpun yang sanggup menghalangi Kami untuk menghukumnya. Sesungguhnya al-Quran ini adalah nasihat bagi orang-orang yang bertakwa yang melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya.

[5] Baca Surat Hud: 13

[6] ﴿اقرَأ بِاسمِ رَبِّكَ الَّذي خَلَقَ﴾ [العلق: 1]اقرأ - أيها الرسول - ما يوحيه الله إليك؛ مفتتحًا باسم ربك الذي خلق جميع الخلائق- المختصر في التفسير

[7] ﴿الَّذي عَلَّمَ بِالقَلَمِ﴾ [العلق: 4]الذي علّم الخط والكتابة بالقلم- المختصر في التفسير

 

ummi  menulis  membaca  kaum intelektual  cerdas 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan