Dekonstruksi Crab Mentality: Transformasi Budaya Menuju Tsiqah bil-Iman dalam Dinamika Kolaborasi Produktif di Era Kultural

Selasa, 10 Sep 2024, 16:30 WIB
Dekonstruksi Crab Mentality: Transformasi Budaya Menuju Tsiqah bil-Iman dalam Dinamika Kolaborasi Produktif di Era Kultural
Crap mentality merupakan istilah untuk menggambarkan sikap seseorang yang menghalangi keberhasilan orang lain

 

Globalisasi budaya, apatisme terhadap introspeksi diri, dan penetrasi informasi yang menyesatkan, ditambah dengan degenerasi nilai-nilai luhur menjadi ancaman eksistensial terhadap reputasi sebuah bangsa. Ketika nilai-nilai luhur mengalami korosi, generasi muda akan terjebak dalam anomali identitas dan terhambat dalam mengaktualisasikan potensi bangsa. Dari fenomena inilah muncul gagasan Revolusi Mental, yakni sebuah gerakan sine qua non[1] dalam mengukuhkan Indonesia sebagai bangsa yang benar-benar berdaulat. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno: “Membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa.”[2]

Sebuah gelora besar dalam membangun mentalitas negara dari setiap masyarakatnya, melangkah mewujudkan kehidupan yang jauh lebih baik adalah harapan dari gerakan yang disebut-sebutnya. Revolusi mental sebagai panggilan reformasi menuntut peningkatan kualitas menuju jalan gemilang, seraya mengenyahkan segala bentuk patologi mentalitas yang merusak integritas anak bangsa, baik di kalangan masyarakat maupun dalam lingkup pemerintahan. Revolusi mental menurut Bung Karno mengamanatkan individu Indonesia untuk mengikis kemalasan, praktik korupsi, individualisme, egosentrisme, ketamakan, anarkisme, inersia, dekadensi moral, serta mentalitas inlander demi menjadi manusia Indonesia yang paripurna.

Pada titik ini, terminologi "revolusi mental" secara populer merujuk pada pergeseran yang sangat cepat dan signifikan dalam konteks sosio-politik serta dalam turbulensi lingkungan yang ekstrem.[3] Secara denotatif, istilah "revolusi" mengandung makna sebagai “come back again or recur again”. Dengan pendekatan ideologis semacam ini, impian kolektif bangsa digerakkan menuju pembentukan masyarakat pada daya mental yang terdidik dan tangguh. Pada hakikatnya, masyarakat sudah memiliki potensi mental yang unggul melalui manifestasi nilai-nilai sosial seperti solidaritas, kesantunan, gotong royong, etos kerja, musyawarah, dan semua kebajikan dalam akar karakter masyarakat Indonesia, yang secara eksplisit terrefleksi dalam nilai-nilai Pancasila. Orientasi inilah yang mendorong pengetahuan praktis melampaui sekadar transformasi kebiasaan dalam ruang lingkup sosial yang lebih luas. Sasaran utama dari 'Revolusi Mental' adalah transformasi etos, yakni perubahan mendasar dalam mentalitas, paradigma berpikir, yang kesemuanya terwujud dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Kebutuhan akan revolusi mental timbul karena adanya patologi emosional, mental, atau spiritual yang mengakibatkan individu menjadi apatis dan kehilangan integritas karakter.

Ekskalasi revolusi mental merupakan manifestasi dari respons terhadap pelbagai kompleksitas kehidupan. Untuk itu, tuntutan yang harus dipenuhi dalam masyarakat yang tengah mengalami krisis ini adalah pola-pola mentalitas dalam setiap individu, baik dalam menghadapi problematika ekonomi, konflik politik, dinamika teknologi informasi, sistem nilai budaya, maupun disposisi pribadi.[4] Mentalitas memengaruhi proses bagaimana manusia memberi respons terhadap setiap permasalahan yang ditemui dalam hidupnya. Ketika proses responsif seperti itu berlangsung massal, kebudayaan dan peradaban masyarakat pun terbentuk. Ironisnya, pertumbuhan mentalitas individu-individu manusia sendiri tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan dan peradaban masyarakat yang sebelumnya sudah ada.

Respons terhadap gejala-gejala yang mengesampingkan pembentukan mentalitas secara inheren menuntun pada elaborasi teoritis mengenai dinamika mentalitas manusia yang beradaptasi sesuai dengan prinsip-prinsip transformatif.[5] Hal ini didukung oleh pernyataan yang menunjukkan bahwa manusia bergerak dalam koridor kebutuhan esensial yang seringkali dikonseptualisasikan sebagai hasrat atau desire, yaitu suatu relasi dialektis antara subjek dengan objek kebutuhannya. Dalam kerangka ini, terdapat proses naluriah (natural transitions) yang seharusnya menuntut pemenuhan hasrat yang bebas dari campur tangan atau pengaruh dari luar. Akan tetapi, bagaimanpun manusia memiliki kapabilitas untuk bertransformasi dari kegagalan memenuhi hasrat menjadi adaptasi relasional, sehingga berkembang secara paralel dengan munculnya spontanitas pilihan-pilihan baru dalam upaya memenuhi hasrat tersebut.

Sebagai representasi ilustratif, konseptualisasi mengenai mentalitas dalam konteks hasrat terungkap ketika relasi pemenuhan hasrat dihadapkan pada beragam pola alternatif yang semakin beragam. Melalui ungkapan ini, terciptalah potensi yang signifikan dalam hasrat seseorang tersebut seiring dengan meningkatnya jumlah tujuan pemenuhan yang diinginkan. Sebaliknya, kegagalan dalam mencapai hasrat tertentu dapat menyebabkan penumpukan energi yang kemudian dapat dialihkan menuju berbagai kemungkinan pemenuhan lainnya. Akibatnya, individu yang terpapar pada berbagai kemungkinan ini dipaksa untuk menghadapi perubahan yang variatif dalam intensitas kesadarannya, atau mengalami kebangkitan intensionalitas dalam pemenuhan hasratnya. Kondisi ini, pada akhirnya dapat memfasilitasi munculnya kesadaran yang lebih mendalam terhadap identitas dirinya.

            Berdasarkan asumsi awal, manusia akan berkembang melalui pemenuhan hasrat yang sejalan, baik dalam kemungkinan yang memuaskan maupun yang mengecewakan. Proses ini akan mengalami evolusi menuju tahap evaluasi diri yang reflektif (reflective self-assessment) ketika individu secara kritis menganalisis dan menilai dinamika internalnya.[6] Jika seorang individu mengalami kegagalan dalam aktualisasi hasratnya, maka apa yang sebelumnya di luar domain kontrolnya bertransformasi menjadi penghentian keinginan yang secara sadar dipilih. Hal ini tentu disebabkan keyakinannya bahwa hasrat tersebut tidak kompatibel dengan entitas dirinya. Seiring dengan penghentian hasrat yang berlangsung secara beragam dan berulang, terjadi ekspansi distansial antara subjek dan objek-objek yang diinginkannya. Akibatnya, perbedaan maupun kesamaan antara objek-objek tersebut menjadi semakin terartikulasikan melalui proses abstraksi intelektual dan individu tersebut pun semakin cakap dalam menyeleksi objek-objek pemenuhan hasrat yang sepenuhnya selaras dengan esensi kebutuhannya.

Kemampuan konstitutif mentalitas manusia dianalisis dalam kerangka komponen kausalitas yang meliputi hasrat (desire), kepercayaan (belief), kehendak (volition the will), dan rasio (intellect reason). Secara fungsional, masing-masing kapasitas ini memiliki sifat yang autentik dan tidak dapat direduksi menjadi kapasitas lainnya, meskipun semuanya saling terkait dan integral satu sama lain. Sampai saat ini, manusia terus mengalami dinamika dalam mengeksplorasi apakah definisi kesempurnaan dalam mentalitas, khususnya dalam perspektif genealogi dapat mengakomodasi keterbukaan yang memadai dari tiga kapasitas mentalitas utama, yaitu afeksi, konasi, dan kognisi.[7] Proses ini melibatkan eksplorasi mendalam tentang bagaimana setiap aspek ini berkontribusi pada keseimbangan dan kesempurnaan keseluruhan mentalitas, serta bagaimana mereka saling memengaruhi dalam perkembangan manusia. Tanpa pemahaman yang utuh mengenai kesempurnaan mentalitas ini, tantangan dalam mempertahankan keseimbangan antara hasrat, kehendak, dan rasionalitas akan terus menjadi fokus utama dalam kajian filosofi dan psikologi modern.[8]

            Perihal kemampuan konstitutif mentalitas manusia, terdapat fenomena reflektif yang marak terjadi, yakni perihal crap mentality. Crap Mentality dapat dirumuskan sebagai konfigurasi mental (mode of cognitive operation) yang dicirikan oleh egosentrisme akut dan perspektif yang terfokus pada pemikiran sempit ketika individu mengadopsi pola perilaku yang menghalangi kemajuan kolektif. Sikap ini berakar pada emosi cemburu dan persepsi ketidakadilan, yang bertindak sebagai prasyarat bagi manifestasi perilaku destruktif tersebut.[9] Fenomena ini kerap disebut-sebut sebagai momok seram layaknya predator jiwa manusia dikarenakan sikap iri yang dimiliki oleh seseorang yang mendorongnya untuk melakukan segala cara agar ia lebih unggul dari orang lain.[10] Distraksi ini kian menguat seiring dengan merekahnya orientasi individualisme dan hal-hal yang berkaitan atau aspirasi terhadap keberhasilan kolektif. Dengannya, crap mentality dapat dikatakan sebagai manifestasi dari titik saturasi manusia dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan konstruktif yang terkikis oleh perilaku katastrofik.

Genealogi Mentalitas Problematik dan Kesukaran Berperilaku Menarik

Di dalam ilmu psikologi, istilah mentalitas kepiting dikenal melalui berbagai nomenklatur seperti sindrom kepiting (crab in a bucket syndrome). Istilah semacam ini merupakan metafora untuk menggambarkan perilaku destruktif dan kompetitif secara berlebihan ketika individu, dalam konteks sosial tertentu berusaha menghalangi kemajuan orang lain untuk mengatasi rasa iri dan ketidakpuasan terhadap pencapaian orang tersebut. Fenomena ini diambil dari perilaku kepiting ketika ditempatkan dalam satu wadah yang berusaha menarik kembali rekannya yang mencoba keluar, baik dengan maksud altruistik untuk menyelamatkan dari ancaman maupun demi keselamatan dirinya sendiri. Namun, ketika diterapkan pada interaksi manusia, mentalitas ini cenderung bersifat negatif karena menggambarkan kecenderungan untuk merusak peluang orang lain demi mempertahankan status quo[11] atau karena rasa kompetitif yang melampaui batas wajar.

Dalam kerangka psikologis, mentalitas kepiting adalah cerminan dari dinamika sosial yang memicu tindakan meremehkan, mengkritik secara publik, atau bahkan memanipulasi untuk mencegah individu lain mencapai kesuksesan, terutama ketika lingkungan tidak mendukung perkembangan positif. Fenomena ini menonjolkan egoisme dan ketidakmampuan untuk merayakan kesuksesan orang lain, yang pada dasarnya berakar dari keinginan kompulsif untuk menang sendiri, bahkan jika harus merugikan orang lain. Berdasarkan premis pertama, maka dapat dikatakan bahwa pengistilahan crap mentality dalam babakan islam adalah hasad sebagai wujud dari agresi yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan melukai orang lain baik secara fisik maupun verbal.[12]

Tak ayal, mereka adalah penganut kuasa iri (envious people) dari kemalasan intelektual yang menyandarkan upayanya pada pendiskreditan segala bentuk pencapaian positif. Stagnasi dalam proses perkembangan intelektual ini bukan lain adalah manifestasi dari upaya dan tujuan tunggal para pendengki. Fenomena ini jelas merupakan siklus ketakutan yang berkelanjutan, ketika korban sering kali terjerat dalam obsesi bahwa mereka akan dicemooh. Akibatnya, korban menahan diri dan berhenti mengekspresikan pendapat mereka secara bebas. Pada akhirnya, lingkaran ketakutan ini dapat memicu keraguan diri yang mendalam, menekan potensi pribadi untuk berkembang, hingga dapat berujung pada kondisi depresi. Berkaitan dengan crap mentality, Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 54:

اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلٰى مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهۚ فَقَدْ اٰتَيْنَآ اٰلَ اِبْرٰهِيْمَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاٰتَيْنٰهُمْ مُّلْكًا عَظِيْمًا ۝٥٤

Artinya: Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah dianugerahkan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah menganugerahkan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah menganugerahkan kerajaan (kekuasaan) yang sangat besar kepada mereka.

At-Tabari menguraikan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum Yahudi yang diliputi rasa iri dan dengki terhadap kabilah-kabilah Arab atas anugerah-kemuliaan Allah. Mereka menyimpan kebencian terhadap Nabi Muhammad SAW atas kenabiannya.[13] Kebencian ini tidak terbatas pada sekadar penolakan, tetapi mereka juga aktif menghalangi orang lain dari keimanan. Sebab turunnya ayat ini adalah adanya anggapan kecemburuan dari kaum yahudi dan nasrani terhadap Nabi Muhammad SAW yang disebabkan oleh kebebasan beliau untuk menikahi wanita mana pun dengan izin Allah. Mereka memandang Nabi Muhammad hanya sebagai seorang lelaki yang didorong oleh nafsu duniawi, haus akan keintiman dengan wanita, dan tidak memiliki tujuan lain selain memperbanyak pernikahan. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalur Al-Aufi dari Ibnu ‘Abbas bahwasannya ia berkata, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, “Muhammad merasa bahwa apa yang diberikan kepadanya adalah karena ketawadhuannya, sedangkan ia memiliki sembilan istri dan keinginannya adalah menikah saja, maka raja manakah yang lebih utama darinya?” Maka turunlah firman Allah, “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?”[14]

            Ayat lain terkait crap mentality dapat kita amati dari kisah Nabi Yusuf dalam QS. Yusuf ayat 8:

اِذْ قَالُوْا لَيُوْسُفُ وَاَخُوْهُ اَحَبُّ اِلٰٓى اَبِيْنَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌۗ اِنَّ اَبَانَا لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ ۝٨

Artinya: (Ingatlah,) ketika mereka berkata, “Sesungguhnya Yusuf dan saudara (kandung)-nya lebih dicintai Ayah daripada kita, padahal kita adalah kumpulan (yang banyak). Sesungguhnya ayah kita dalam kekeliruan yang nyata.[15]

            Ayat ini menceritakan tentang bagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf mulai menaruh prasangka buruk terhadap ayahnya, yakni Nabi Yakub As. Mereka mengira bahwa Nabi Yakub, yakni ayahnya, memperlakukan kasih sayang kepada mereka. Ternyata, Nabi Yakub memperlihatkan sikap yang lebih mengutamakan Nabi Yusuf dibandingkan saudara-saudaranya karena Nabi Yusuf memiliki berbagai keutamaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi Al-Jawy dalam kitab Maraah Labiid.

Di dalam penjelasannya, Nabi Yusuf dikenal dengan kecerdasan dan ketaatan yang luar biasa. Sejak kecil, Nabi Yusuf sudah sering membantu ayahnya dengan tugas-tugas yang lebih berat dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain, meskipun secara usia dan kapasitas fisik Nabi Yusuf lebih rendah dibandingkan saudara-saudaranya. Akan tetapi, perbandingan fisik ini semakin menegaskan realitas bahwa kekuatan fisik mereka sangat timpang karena akumulasi kekuatan saudara-saudaranya yang bersekongkol. Hal ini tercermin dalam penggunaan istilah ushbah yang berarti sekelompok orang dari sepuluh anggota atau lebih, bersatu, dan memiliki kekuatan kolektif.

Selain dua kisah di atas, masih banyak lagi kisah-kisah mengenai crap mentality dalam Al-Quran seperti kisah kedengkian Firaun terhadap pengikut Nabi Musa dan kebencian Qabil kepada Habil. Fenomena ini mengilustrasikan dinamika manusia sebagai entitas sosial yang terikat dalam kehidupan berkelompok, yakni ketika kompetisi menjadi keniscayaan (competition towards the inevitable), terutama dalam upaya untuk memperoleh sumber daya seperti makanan, pasangan, atau dominasi dalam berbagai aspek kehidupan.

Ketika individu mendapati dirinya berada dalam posisi yang kuat dan terlindungi, otak secara alami akan melepaskan serotonin, neurotransmitter yang berkorelasi dengan perasaan nyaman dan kesejahteraan emosional. Sebaliknya, ketika seseorang merasakan inferioritas atau kekalahan dalam persaingan dengan orang lain, otak akan merespons dengan memproduksi kortisol, yakni hormon yang erat kaitannya dengan stres dan kecemasan (anxiety). Kondisi ini, apabila tidak dikelola dengan baik dapat memicu timbulnya crab mentality, yakni timbul suatu perilaku destruktif ketika suatu individu yang merasa terancam oleh kesuksesan orang lain cenderung berupaya menjatuhkan mereka agar tetap setara atau berada di posisi yang lebih rendah.

Fenomena crab mentality ini dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk sikap negatif, seperti iri hati yang akut, kurangnya rasa percaya diri, ketergantungan sosial yang berlebihan, perasaan malu yang mendalam, dendam yang berkepanjangan, dan sifat kompetitif yang tidak terkendali. Walaupun sifat kompetitif pada dasarnya bisa menjadi pendorong untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi, apabila diekspresikan secara berlebihan, hal ini justru dapat menjadi bumerang yang merusak keharmonisan hubungan sosial dan menyebabkan kelelahan psikis yang signifikan.

Keberadaan individu dalam struktur sosial sering kali menimbulkan ketergantungan yang bersifat patologis, seperti ketakutan akan ditinggalkan oleh rekan-rekan yang telah mencapai kesuksesan lebih tinggi (higher levels of success), serta kekhawatiran bahwa dinamika persahabatan tidak akan seerat seperti sebelumnya.[16] Fenomena ini merupakan respon alami dari mekanisme neurofisiologis. Namun, efek yang dihasilkannya dapat mengganggu keseimbangan sosial dan merusak hubungan interpersonal secara mendalam.

Sebagai contoh dalam lingkup global, crab mentality ini dapat terlihat dalam berbagai konteks sosial-profesional yang mempengaruhi integritas dan hubungan interpersonal. Di dalam ekosistem bisnis, fenomena ini seringkali terjadi melalui tindakan korupsi dan penyebaran hoaks, ketika individu atau entitas berusaha merusak reputasi pesaing untuk mempertahankan posisi mereka atau memperoleh keuntungan secara tidak sah. Kasus ini terjadi layaknya persaingan bisnis antara perusahaan taksi konvensional dan perusahaan ride-hailing seperti Gojek dan Grab di Indonesia. Pada awal kemunculan Gojek dan Grab, beberapa perusahaan taksi konvensional mencoba menjatuhkan reputasi perusahaan ride-hailing ini dengan menyebarkan informasi negatif, termasuk hoaks mengenai keamanan dan legalitas layanan mereka.[17] Upaya ini dilakukan untuk mempertahankan posisi di pasar dan mengurangi ancaman dari kompetitor baru. Konflik ini juga mencakup aksi demonstrasi besar-besaran oleh pengemudi taksi konvensional yang merasa terancam oleh kehadiran teknologi baru.

Begitu pula di lingkungan kerja, crab mentality dapat terjadi dalam bentuk penjilatan atasan (brown-nosing) dan fitnah terhadap rekan kerja. Penjilatan atasan adalah perilaku ketika individu secara berlebihan memuji dan mendukung atasan dengan tujuan meraih promosi atau jabatan yang lebih tinggi. Di sisi lain, fitnah melibatkan penyebaran informasi yang merugikan untuk menurunkan reputasi kolega dengan tujuan memperbaiki posisi diri sendiri. Adapun dalam ranah politik, crab mentality sering terwujud dalam bentuk politik uang, kampanye hitam, dan berbagai taktik licik lainnya. Politik uang (money politics) melibatkan pemberian suap untuk mempengaruhi hasil pemilihan atau kebijakan, sementara kampanye hitam mencakup penyebaran informasi negatif dan fitnah untuk merusak reputasi lawan politik. Taktik licik ini mencerminkan upaya untuk mengalahkan lawan dengan cara-cara yang tidak etis sehingga malah menjadi iklim politik yang penuh intrik dan manipulasi.

Disorientasi Nilai dan Term Crap Mentality dalam Al-Quran

            Crap mentality menjadi salah satu fenomena sosiologis yang mengakar dalam dinamika sosial, khususnya dalam konteks kompetisi yang tidak sehat di antara individu-individu dalam suatu komunitas. Sebuah kondisi ketika ego dan rasa iri bercampur dalam pusaran psikis yang  menyebabkan individu enggan untuk melihat keberhasilan orang lain, dan lebih cenderung menarik sesama mereka ke bawah untuk memastikan bahwa tidak ada yang melampaui posisi mereka. Antagonisme ini melibatkan distorsi persepsi terhadap kesuksesan dan nilai moral yang ada. 

          Mengingat istilah "mentalitas kepiting" yang timbul dari patologi batin seperti penyakit hati, maka derivasi yang paling akurat untuk menggambarkan crab mentality adalah terminologi iri dengki. Iri dengki dalam Al-Qur'an memiliki korelasi erat dengan beberapa terma seperti hasad, baghyun, dan ghalla-ghulul. Ketiga istilah ini berada dalam sinonimitas yang mengindikasikan kecenderungan destruktif tersebut, sebagaimana dikisahkan dalam nash Al-Qur'an mengenai keirian atau kecemburuan yang menimbulkan disrupsi dalam tatanan moral dan sosial.

  1. Hasad

Hasad berasal dari akar kata bahasa Arab hasada-yahsudu-hasadan yang berarti keinginan untuk menghapuskan atau menghilangkan kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain. Istilah ini merujuk pada salah satu bentuk akhlak tercela, yakni sifat iri. Di dalam Al-Qur'an, hasad dan segala variannya disebutkan dalam empat ayat yang berbeda serta banyak hadis yang menguraikan baik tanda-tanda maupun dampak buruknya.[18] Hasad tidak hanya mengindikasikan sikap iri hati tetapi juga menyiratkan potensi kerusakan moral yang dapat ditimbulkan akibat perilaku tersebut.

Secara etimologis dan terminologis, hasad mengacu pada keinginan untuk menghapus atau menghancurkan nikmat yang dimiliki oleh orang lain.[19] Sebagian mufasir berpendapat bahwa arti asli dari hasad adalah sesuatu yang menyebabkan kerusakan atau kehancuran. Dalam kajian linguistik, beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa kata ini berakar dari hasdalun yang berarti kutu. Selayaknya kutu yang mengisap darah dan dapat merusak kulit seseorang, hasad berlaku demikian pada aspek ruh dan jiwa individu sehingga dapat menyebarkan kerusakan internal dan spiritual.

Akan tetapi, salah satu jenis hasad yang diperbolehkan dalam konteks crap mentality adalah hasad ghibthah, yakni ingin mendapatkan nikmat seperti yang didapatkan oleh orang lain tanpa ada rasa ingin kalau nikmat pada orang lain itu hilang. Misalnya melihat orang lain senang dan diri sendri juga ingin senang dengan menempuh jalannya yaitu berusaha dan bekerja dengan lebih giat[20]. Hasad ini tidak dilarang bahkan Allah swt menyuruh berlomba-lomba dalam hasad ini sebagaimana termaktub dalam surat al-Muthaffifin ayat 26:

خِتٰمُه مِسْكٌۗ وَفِيْ ذٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنٰفِسُوْنَۗ ۝٢٦

Artinya: Laknya terbuat dari kasturi. Untuk (mendapatkan) yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.

 

Perintah untuk berlomba bukan ditujukan untuk merebutkan kenikmatan dunia yang sifatnya sementara. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad saw yang melarang bersifat hasad kecuali terhadap seseorang yang mendapatkan ilmu, lalu ia mengamalkan dan mengajarkannya, juga terhadap seseorang yang mendapatkan harta, lalu ia menafkahkannya.[21] Menurut tafsir Al-Quran Universitas Islam Indonesia (1991), surah Al-Muthaffifin ayat 26 menguraikan bahwa aroma lak merupakan wangi kasturi dan untuk meraih kenikmatan yang demikian agung, seyogianya manusia berkompetisi dalam mengerjakan amal ibadah serta ketakwaan kepada Allah SWT.[22]

Hasad yang berarti keinginan untuk menghilangkan nikmat orang lain, mirip halnya  dengan "crab mentality" karena keduanya mencerminkan keinginan untuk menjatuhkan sesama. Namun, lain halnya dengan hasad ghibthah, seseorang menginginkan nikmat serupa tanpa merugikan orang lain, berbeda dengan crab mentality yang secara aktif merusak orang lain agar tidak maju.

  1. Baghyun

Terminologi baghyun dalam Al-Qur'an berdasarkan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazhi Qur’an, baghyun merupakan bentuk kezaliman manusia yang bermakna al-zhulm (kezaliman), alkhuruj ‘alal qanun (keluar dari norma), dan mujawazatul hadd (melampaui batas).[23] Kata baghyun beserta akar katanya termaktub dalam Al-Quran sebanyak 59 kali baik dalam bentuk isim masdar, masdar, maupun fi’il madhi. Semua terma tersebut secara etimologis bermakna melanggar hak permusuhan, aniaya, dengki, kedurhakaan, melampaui batas, dan arti lain yang kebanyakan berkonotasi tercela. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 90:

بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهٓ اَنْفُسَهُمْ اَنْ يَّكْفُرُوْا بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ بَغْيًا اَنْ يُّنَزِّلَ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِه عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهۚ فَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ عَلٰى غَضَبٍۗ وَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ ۝٩٠

Artinya: Buruk sekali (perbuatan) mereka menjual dirinya dengan mengingkari apa yang diturunkan Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan. Kepada orang-orang kafir (ditimpakan) azab yang menghinakan.

 

Pada ayat di atas, disebutkan satu terma baghyun yang diartikan kedengkian. Menurut Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar dalam Zubdatut Tafsir, baghyun di sini memiliki arti kedengkian dan keinginan untuk selalu menang sendiri.

Baghyun yang mencakup makna kezaliman, kedengkian, dan keinginan untuk menang sendiri, memiliki kesamaan dengan crab mentality. Kedua konsep ini mencerminkan perilaku negatif ketika individu berupaya menjatuhkan atau merugikan orang lain demi keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan batasan moral dan etika, tentu keduanya sama-sama menunjukkan sikap yang merusak hubungan sosial dan menimbulkan ketidakadilan dalam interaksi antarindividu.

  1. Ghalla-Ghulul

Ghalla-yaghillu artinya adalah berkhianat. Secara bahasa, ghulul adalah meresapnya air di sela-sela pohon. Secara istilah, ghulul adalah bentuk kejahatan karena berkhianat secara tidak langsung (khiyanat khafiyat) kepada sesama kawan, sesama profesi, sesama anggota organisasi, dan perkumpulan lainnya.[24] Jika ditilik dari istilah ghulul yang merupakan mengambil hak orang lain sebelum dibagikan oleh penguasa, maka istilah ini memiliki persamaan dalam konteks crap mentality yakni pengkhianatan. Berkaitan dengan ghulul, Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 161:

وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّۗ وَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ ۝١٦١

Artinya: Tidak layak seorang nabi menyelewengkan (harta rampasan perang). Siapa yang menyelewengkan (-nya), niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang diselewengkannya itu. Kemudian, setiap orang akan diberi balasan secara sempurna sesuai apa yang mereka lakukan dan mereka tidak dizalimi.

 

Ghulul dalam Zubdatut Tafsir merujuk pada tindakan mengambil harta kaum muslimin secara tidak sah untuk kepentingan pribadi, termasuk harta rampasan, sedekah, atau hadiah yang sebenarnya bukan haknya. Perbuatan ini dianggap haram karena jelas mencerminkan pelanggaran terhadap norma dan etika, serta merusak keadilan dalam masyarakat.

Ketika dikaitkan dengan crab mentality, ghulul memiliki kemiripan perihal keegoisan dan tindakan amoral.  Baik ghulul maupun crab mentality sama-sama mencerminkan kecenderungan untuk mengabaikan hak dan keadilan, serta menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan kolektif. Keduanya juga memperlihatkan bagaimana perilaku individual yang merugikan orang lain dapat merusak harmoni sosial dan menghambat kemajuan bersama.

            Di dalam kajian sosiologis dan teologis yang mendalam, konsep crap mentality berkorelasi signifikan dengan terminologi Al-Qur'an seperti hasad, baghyun, dan ghulul,  yang mengungkapkan konvergensi perilaku destruktif dengan merusak struktur moral dan sosial. Hasad, yang merujuk pada kecenderungan untuk menghapus nikmat yang dimiliki orang lain, sejalan dengan dinamika crap mentality yang memanifestasikan sikap irihati dan upaya untuk merendahkan orang lain agar posisi pribadi tetap terjaga. Meskipun terdapat pengecualian dalam bentuk hasad ghibthah yang memungkinkan keinginan untuk memperoleh kenikmatan serupa tanpa merugikan pihak lain. Prinsip ini tetap menyiratkan adanya potensi konflik sosial yang dapat mempengaruhi harmonisasi dalam masyarakat.

Di sisi lain, baghyun dan ghulul memperjelas dimensi sistematis dan struktur dari perilaku merugikan yang berdampak luas. Baghyun, dalam artian melakukan kezaliman, pelanggaran norma, dan keinginan untuk menang sendiri, jelas menggambarkan bagaimana perilaku destruktif dapat melampaui batas-batas etika dan moral serta menciptakan antagonisme dalam tatanan sosial. Ghulul, yang berarti pengkhianatan atau penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi, melengkapi narasi dialektis ini dengan menunjukkan bagaimana pengambilan hak secara tidak sah berkontribusi pada kerusakan keadilan sosial dan ketidakharmonisan ekosistem.

Tsiqah bil-iman: Menguak Paradigma Polarisasi Toksik Menjadi Solusi

Rekonsolidasi sosial terkait crap mentality tentu diperlukan dalam rangka membangun langkah kritis terhadap fenomena kompetisi yang dituding tidak sehat. Hingga saat ini, kemasifan perilaku crab mentality cenderung terus menyebar melalui digitalisasi, seiring dengan realitas bahwa proyeksi penggunaan media sosial akan terus meningkat. Hal ini sejalan dengan ekspansi jumlah pengguna internet di Indonesia berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengenai survei penetrasi internet di Indonesia tahun 2024, yang terjadi peningkatan sebesar 1,4% dari periode sebelumnya, sehingga kini mencapai sekitar 79,5% dari populasi. Dari jumlah tersebut, mayoritas pengguna media sosial berasal dari kelompok Gen Z (kelahiran 1997-2012), yang mencakup 34,4% dari total populasi masyarakat maya.

Proposisi tersebut menyebabkan angka kemasifan dalam berkegiatan digital menjadi sebuah tren adanya fenomena chronically online. Menurut Urban Dictionary, istilah chronically online ditujukan kepada orang-orang yang larut dalam internet dan kehidupannya berputar hanya di internet.[25] Ironisnya, penggunaan media sosial secara masif secara tidak langsung mendorong perubahan norma, kebiasaan, dan perilaku yang secara perlahan mengalami erosi sosial serta menggantikan pola-pola perilaku baru yang muncul dari dunia digital. Dari implikasi inilah yang melandasi terbentuknya serangkaian mentalitas dengan kecenderungan nilai-nilai negatif. Apabila dampak dari penggunaan media digital semakin meluas, maka hal tersebut selalu mengindikasikan proliferasi berbagai mentalitas destruktif. Beragam mentalitas itu mencakup mentalitas pemalas (aversion mentality), mentalitas bullying, mentalitas FOMO, Toxic Positivity, Comparison Trap, Echo Chamber Effect, Cancel Culture, Addiction to Validation, dan Online Disinhibition Effect.

Crap mentality layaknya nila setitik, rusak susu sebelanga. Sejumlah keunggulan dari berbagai upaya yang dilakukan tetap dinilai negatif akibat kekeliruan yang sesungguhnya hanyalah persepsi atau praduga subjektif dari pihak lain. Manifestasi semacam ini terus berlanjut baik dalam lingkungan akademis maupun non-akademis, terutama ketika polusi media massa dengan skema adiktif untuk menekan individu lebih kuat daripada upaya individu tersebut untuk bertahan. Situasi semacam ini berujung pada pembentukan isu-isu anonimitas atau perilaku layaknya buzzer yang bertujuan untuk menjatuhkan individu melalui tindakan destruktif di media massa.

Salah satu kasus dari fenomena 'crab mentality' di ranah media sosial/massa yang mencuat baru-baru ini adalah game show Clash of Clans yang diselenggarakan oleh Ruang Guru. Para partisipan dalam acara tersebut merupakan mahasiswa berprestasi dari berbagai perguruan tinggi, baik domestik maupun internasional. Kendati acara edukatif tersebut menuai respons positif, ekosistem sosial ini kembali tidak luput dari pencemaran oleh polusi media sosial. Pada akhirnya, para peserta CoC menjadi sasaran empuk bagi netizen Indonesia untuk melancarkan kritik tajam dan dampak-dampaknya. Perilaku semacam ini menjadi wujud nyata 'crab mentality' serupa dengan cercaan akun-akun anonim di media sosial. Ada yang menyindir dengan pernyataan bahwa “menghafal 55 kartu remi tidak menjamin diterimanya pekerjaan,” ada pula yang berpendapat bahwa “pendidikan mereka lebih layak karena tidak terbebani masalah finansial,” serta omongan seperti “kepintaran tidak menjamin kesuksesan; IPK tidak menentukan masa depan,” dan berbagai keluhan lainnya.

Sejatinya crap mentality tidak akan ada habisnya apabila tidak segera ditangani. Untuk itu, dalam menghadapi fenomena ini, pendekatan yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritualitas menjadi semakin relevan. Pendekatan dengan konsep tsiqah bil iman inilah sebagai bentuk semangat resolusi mendalam. Tsiqah bil iman secara harfiah berarti kepercayaan penuh terhadap prinsip-prinsip keimanan sehingga menawarkan kerangka kerja yang kokoh untuk mengatasi tantangan tersebut. Untuk mengintegrasikan konsep ini secara mendalam, diperlukan konsentrasi antara keterkaitan sifat-sifat yang melekat secara intrinsik dan ekstrinsik sebagai mediasi untuk memahami konsep terhadap tsiqah bil iman secara menyeluruh.

Tabel 1. Komparasi sifat intrinsik dan ekstrinsik dalam konsep Tsiqah bil iman

Kategori

Istilah

Terjemahan

Deskripsi

Dalil Ayat

 

I'timad al-Qalb (اعتماد القلب)

 

 

 

Keyakinan Hati

 

 

 

Sikap berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha, sehingga mengajarkan penerimaan terhadap keberhasilan orang lain tanpa iri hati.

(QS. Ibrahim [14]: 11)

  

Niyatul Qalb (نية القلب)

 

 

 

Niat Hati

 

 

 

Ketulusan dalam beramal hanya demi keridhaan Allah, sehingga menjaga fokus pada kebaikan tanpa terpengaruh oleh pandangan manusia.

 

 

 

(QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Sifat Intrinsik (Sifat Dzatiyyah)  

Thabat al-Nafs (ثبات النفس)

 

 

 

Keteguhan Jiwa

 

 

 

Kemampuan untuk bersabar dan tetap tenang dalam menghadapi provokasi. Hal ini tentu mencegah penjerumusan perilaku yang saling menjatuhkan.

 

 

 

(QS. Ali 'Imran [3]: 200)

 

Waqaar al-Taqwa (وقار التقوى)

 

 

 

Kewibawaan dalam Ketakwaan

 

 

 

Kesadaran akan pengawasan Allah yang menjaga etika dan moralitas dalam setiap tindakan.

 

 

 

(QS. Al-Hujurat [49]: 13)

 

Qana'at al-Ridha (قناعة الرضا)

Kepuasan dalam Ridha

 

 

 

Penerimaan lapang dada terhadap ketentuan Ilahi, yang mengajarkan untuk menerima keberhasilan atau kekurangan tanpa memendam iri hati.

 

 

 

(QS. Al-Hijr [15]: 87)

 

Husnuzhan (حُسْنُ الظَّنِّ)

 

 

 

Berprasangka Baik

 

 

 

Menghindari pemikiran negatif dan tuduhan yang tidak berdasar terhadap orang lain, sehingga dapat mengurangi akar dari perilaku crab mentality.

 

 

 

(QS. Al-Hujurat [49]: 12)

Sifat Ekstrinsik (Sifat Dhahiriyyah)

Ukhuwwah (أُخُوَّة)

 

 

 

Persaudaraan

Solidaritas sosial dan dukungan antar sesama, memperkuat hubungan dan menghindari perilaku merugikan orang lain.

 

 

 

(QS. Al-Hujurat [49]: 10)

 

Jamal al-Fikr (جمال الفكر)

 

 

 

Keindahan Berpikir

 

 

 

Keterampilan dalam mengelola dan memperhalus pola pikir untuk berpikir analitis, cermat, dan reflektif.

(QS. An-Nahl [16]: 79)

 

Amar Ma'ruf Nahi Munkar (أَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ)

 

 

 

Menyuruh kepada Kebaikan Mencegah Kemungkaran

 

 

 

 

Aktif mempromosikan perilaku baik dan mengingatkan untuk menjauhi tindakan destruktif, termasuk juga meningkatkan etika sosial.

 

(QS. Ali 'Imran [3]: 110)

 

Crap mentality sebagai manifestasi dari kecemburuan kolektif dan upaya meruntuhkan pencapaian orang lain berfungsi sebagai cermin distorsi sosial yang mencerminkan pergeseran paradigma dalam interaksi manusia. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan aspek moral yang terdegradasi tetapi juga memperlihatkan bagaimana ketidakadilan sosial berakar pada krisis nilai yang lebih luas. Terdapat keselarasan dengan teori sosiologis, social comparison yang dikembangkan oleh Leon Festinger, yang menyatakan bahwa individu secara alamiah membandingkan diri mereka dengan orang lain untuk mengevaluasi diri. Ketika individu merasa terancam oleh keberhasilan orang lain, muncul keinginan untuk menurunkan posisi relatif mereka.

Mengaitkan fenomena ini dengan pandangan postmodernisme yang menekankan fragmentasi identitas dan relativisme kebenaran, kita dapat melihat crap mentality sebagai akibat dari narasi sosial yang terpecah-pecah dan kompetitif. Ketidakstabilan dalam norma-norma sosial ini menciptakan ruang bagi perilaku destruktif yang merusak integritas sosial.  Dalam konteks ini, penekanan pada spiritualitas dalam ranah digital terbukti menjadi faktor signifikan dalam mitigasi perilaku destruktif di media sosial, termasuk iri hati dan persaingan tidak sehat. Peningkatan kesadaran spiritual dapat mengarahkan individu untuk mengatasi disrupsi normatif dan membangun kohesi sosial yang lebih harmonis dengan menegakkan prinsip-prinsip moral yang kokoh di tengah kompleksitas dunia nyata maupun dunia maya.

Sebagai penanggulangan, konsep tsiqah bil iman yang mengusung prinsip keimanan dan etika yang mendalam bukan hanya berfungsi sebagai mekanisme untuk memperbaiki hubungan interpersonal, tetapi juga sebagai alat untuk merestorasi struktur sosial yang lebih koheren dan berkeadilan. Dalam pandangan ini, dapat diinterpretasikan sebagai reaksi teologis terhadap chaos postmodern, sehingga menawarkan sebuah landasan moral yang stabil dalam dunia yang semakin terfragmentasi.

 


[1] Sine Qua Non atau conditio sine qua non (jamak: condiciones sine quibus non) adalah tindakan, kondisi, atau unsur yang sangat diperlukan dan penting. Lihat Wikipedia. (n.d.). id.wikipedia.org. Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Sine_qua_non

[2] Firlyani, E. (2022, Juni 22). kemenkopmk.go.id. Retrieved from KEMENKO PMK: https://www.kemenkopmk.go.id/disability-awareness-revolusi-mental-generasi-milenial-melalui-pendekatan-literasi-keagamaan

[3] Makhmudah, S. (2016). Revolusi Mental Dalam Mengubah Pola Pikir Tenaga Pendidik Dari Segi Perspektif Islam. Jurnal EDUCATIO: Jurnal Pendidikan Indonesia2(1), 86-91.

[4] Endro, G. (2020). The Philosophical Theory of Mental Revolution. Respons: Jurnal Etika Sosial25(02), 99-141.

[5] Umanailo, M. C. B., Sos, S., Umanailo, M. C. B., & Sos, S. (2016). Ilmu sosial budaya dasar.

[6] Brouwer, M. A. W. (1984). Psikologi Fenomenologis, PT. Gramedia Jakarta.

[7] Wahidin, U. (2017). Pendidikan karakter bagi remaja. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam2(03), 256-269.

[8] Setiadi, I. (2016). Psikologi positif: Pendekatan saintifik menuju kebahagiaan. Gramedia Pustaka Utama.

[9] Aydın, G. Z., & Oğuzhan, G. (2019). The “crabs in a bucket” mentality in healthcare personnel: A phenomenological study”. Hitit University Journal of Social Sciences Institute12(2), 618-630.

[10] Wikipedia. (n.d.). id.wikipedia.org. Retrieved from wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Mental_kepiting

[11] Status quo bermakna suatu kondisi yang ada saat ini dan sedang berjalan (sekarang), dalam artian berlawanan dengan makna perubahan, atau singkatnya, "anti perubahan".

[12] Sauri, S., Syukron, A., & Haq, M. Z. (2023). CRAB MENTALITY DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN (STUDI ANALISIS TAFSIR TEMATIK). Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir8(02).

[13] Al-Thabari, I. J., & al-Amuli, Y. I. G. (1994). Tafsir al-Thabari Jami al-Bayan an Ta’wil Ayyi al-Qur’an.

[14] Hajar, A. (2022). Urgensi Akal dalam Asbāb Al-Nuzūl QS. Al-Nisa’54 dan 59. Taqaddumi: Journal of Quran and Hadith Studies2(1), 40-47.

[15] Imam, T. B. A. (2021). NILAI-NILAI AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT YUSUF AYAT 8-18 (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

[16] Burlian, P. (2022). Patologi sosial. Bumi Aksara.

[17] Afridita, M., & Rahmidani, R. (2022). Pengaruh Harga dan Reputasi Perusahaan Terhadap Loyalitas Penggunaan Aplikasi Gojek. Jurnal Ecogen5(1), 56-69.

[18] Rosihon, A. (2008). Akidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia.

[19] Awaludin, A. (2018). Hasad Dalam Perspektif Alquran (Studi Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Az-Zuḥaili) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri" SMH" Banten).

[20] Baharin, A. A. B. (2018). Terapi Penanganan Sifat Hasad menurut Perspektif Islam (Doctoral dissertation, UIN Ar-Raniry Banda Aceh).

[21] Taymiyyah, I. (2006). Jangan Biarkan Penyakit Hati Bersemi. Serambi Ilmu Semesta.

[22] Azzahra, M., & Nizam, A. (2020). Pemahaman Karyawan Pt. Lkms Mahirah Muamalah Terhadap Etika Kerja Islam, Motivasi Kerja Islam, Dan Budaya Organisasi Islam. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Islam2(2).

[23] Al-Ayyubi, S. (2016). Kezaliman Dalam Qur’an Dan Implikasinya Terhadap Hak Asasi Manusia (Pendekatan Tematik). Fikroh: Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam9(1), 1-20.

[24] BAKKARA, R. R. (2023). ANALISIS YURIDIS NORMATIF TERHADAP PENGURANGAN HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (studi kasus putusan No. 10/PID. TPK/2021/PT DKI) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung Semarang).

[25] Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2024). APJII Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang. Retrieved July 22, 2024, from https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang

persaudaraan  niat hati  mentalitas kepiting  keteguhan jiwa  hasad  crap mentality 
Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan