Berabad-abad yang lalu, ruang pengajian, lingkar majelis ulama, selalu menempati posisi dan kedudukan yang istimewa dalam peradaban Islam. Di sanalah tradisi intelektual tumbuh serta melahirkan dialektika antara pengetahuan dan pengalaman hidup, antara otoritas guru dan kerendahan hati para murid, antara semangat mencari kebenaran dan kebutuhan membangun jejaring sosial. Pusat gravitasi kebudayaan demikian dapat diamati sebagaimana halaqah di beberapa masjid, pesantren, hingga forum besar di madrasah atau bahkan institusi formal (jaringan ulama-umaro’). Seorang guru duduk di tengah lingkaran, murid-murid mengelilingi, kitab dibacakan, penjelasan mengalir disertai pertanyaan, kritik, bahkan sanggahan. Sejak abad ke-8, model semacam ini sudah terlihat di Kufah, Basrah, hingga Baghdad, bahwa masjid sekaligus menjadi universitas terbuka. Di Andalusia, sistem semcam ini sering kali melahirkan perdebatan lintas disiplin antara fiqh, filsafat, dan sains. Semua itu memperlihatkan bahwa majelis ilmu menjadi arena ketika otoritas keilmuan diuji, diakui, dan diwariskan.
Di saat yang sama atau bahkan yang menjadi perhatian hari-hari ini adalah majelis pada kenyataannya kerap berada dalam pusaran tarik-menarik kepentingan. Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya menggambarkan bagaimana ulama sering terhubung dengan patronase politik sehingga otoritas mereka tidak hanya ditentukan oleh kedalaman ilmu. Lebih dari itu, relasi sosial menjadi kekuatan signifikan terhadap kekuasaan yang memberi ruang, legitimasi, dan akses berbagai aktivitas.
Istilah ini disebut dalam keterangannya sebagai al-ulum wa shona’i’, bahwa kondisi sosial politik selalu bersinggungan dengan adanya kekuasaan yang tidak pernah berdiri sendiri, dengan adanya kelompok penopang seperti fuqaha, dan ulama’. Pasal-pasal semacam ini dapat ditinjau kembali melalui beragam pendekatan teotiris populer yang amat komprehensif dan berkembang luas terkait ideologi empirisme dan rasionalisme kedudukan dalam suatu struktur sosial.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’nya, khususnya kitab al-‘ilm (rub’ul ibadat), menjelaskan bahwa ilmu atau pengetahuan hanyalah bernilai bila disertai niat yang lurus. Ada ilmu yang mendekatkan pada Allah dan ilmu yang menyeret pada kehinaan. Ulama yang menjadikan majelis ilmu sebagai sarana mencari kedudukan (al-jah) atau popularitas (al-shuhrah), kata beliau sedang terjerumus dalam apa yang disebutnya sebagai ulama su’, yang menukar keberkahan ilmu dengan kepentingan atau gengsi sosial.
Permasalahan lain yang kerap muncul pada suatu “majelis” dalam tanda kutip, adalah soal kepemimpinan dan tata kelola. Tidak jarang seseorang yang menduduki posisi sebagai rais atau pemegang otoritas administratif ternyata tidak memiliki kapasitas yang sepadan dengan kedudukannya. Situasi semacam ini bukan hanya perkara teknis, melainkan berdampak langsung pada atmosfer keilmuan bahkan pengelolaan organisasi. Majelis yang seharusnya menjadi ruang ta’dīb justru bisa bergeser menjadi arena kekacauan, karena arah pembahasan maupun kebijakan sering kali tidak berpijak pada visi keilmuan yang jernih.
Al-Ghazali, di sisi lain, mengingatkan bahwa keberkahan majelis akan sirna bila ghirahnya bergeser dari pengabdian kepada kebenaran menuju pencarian gengsi. Dari catatan-catatan ini, terlihat jelas bahwa sejarah majelis ilmu adalah sejarah dialektika antara idealitas dan realitas: cita-cita keilmuan yang murni berhadapan dengan struktur sosial yang membentuknya.
Sejarah Islam sendiri telah mencatat bagaimana problem ketidakkompetenan dalam kepemimpinan majelis berulang kali menimbulkan keretakan. Di dalam catatan Ibn al-Jawzi, misalnya, ada kritik terhadap sebagian fuqoha’ yang diberi kedudukan administratif di masjid besar Baghdad pada abad ke-6 H, namun lebih sibuk dengan urusan politik dan persoalan istana ketimbang pembinaan ilmu (lihat di al-Muntadzim). Kondisi ini membuat sebagian halaqah kehilangan wibawa karena keputusan-keputusan yang diambil tidak didasari keilmuan, melainkan kepentingan duniawi.
Pada masa keemasan Andalusia, Ibn Hazm (w. 456 H) mencatat bahwa banyak majelis fiqh di Kordoba kehilangan arah perdebatan. Alih-alih berfokus pada penguatan argumen ilmiah, forum-forum itu kerap berubah menjadi arena mempertahankan otoritas kelompok. Para ketua majelis lebih sibuk menjaga posisi dan pengaruhnya dibanding mengawal substansi keilmuan. Situasi semacam ini yang disebut sebagai tahawun, yakni kelalaian yang dilakukan secara sadar terhadap adab dan aturan yang seharusnya membimbing jalannya majelis.
Di dalam organisasi keulamaan atau lembaga pendidikan Islam di era modern, istilah dastur sering digunakan untuk menyebut konstitusi atau aturan dasar. Dokumen ini seharusnya menjadi pedoman kolektif agar majelis atau sebuah organisasi berjalan terarah, adil, dan berwibawa. Namun realitasnya, kitab banyak melihat beragam aturan demikian yang kerap dilanggar atau disisihkan oleh mereka yang justru diberi amanah untuk menegakkannya. Kelalaian seperti ini tidak lahir dari ketidaktahuan, melainkan dari orientasi kepentingan yang menggeser nilai keberkahan.
Seharusnya, kepemimpinan dalam majelis ilmu bertumpu pada dua pilar utama, yakni amanah (kejujuran) dan kifayah (kompetensi). Kedudukan formal memang memberi legitimasi, namun yang menjaga keberlangsungan majelis justru terletak pada integritas dan kecakapan. Pemimpin yang amanah akan mengarahkan jalannya majelis dengan transparan, sementara pemimpin yang memiliki kifayah mampu memastikan setiap persoalan ilmiah dibahas dengan jernih, rasional, dan produktif. Dua hal inilah yang menjadi syarat dasar agar kepemimpinan tidak berubah menjadi sumber kerusakan. Seorang pemimpin majelis yang lalai dalam amanah atau tidak memiliki kompetensi pada akhirnya akan memutus rantai keberlanjutan ilmu. Majelis yang seharusnya menjadi ruang pencarian kebenaran berubah wajah menjadi ajang mempertahankan status, bahkan kadang melahirkan konflik yang jauh dari semangat berikhlas dan adab.
Sejarah Islam memperlihatkan pola yang berulang. Dari Baghdad hingga Kordoba, dari masjid hingga madrasah, krisis kepemimpinan dalam majelis hampir selalu menimbulkan luka yang panjang. Ketika kursi pengurus diisi oleh sosok yang tidak tepat, wibawa majelis runtuh sedikit demi sedikit. Generasi penerus pun kehilangan teladan bagaimana ilmu seharusnya dijalani dengan kesungguhan. Yang tertinggal hanyalah formalitas tanpa ruh, lingkaran pengajian yang ramai tetap hampa akan makna.
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang