Membaca Fatihah, Semacam Hijrah Batin yang Indah

Senin, 25 Ags 2025, 16:00 WIB
Membaca Fatihah, Semacam Hijrah Batin yang Indah
Membaca Al-Fatihah sebelum pengajian kitab menjadi tradisi untuk memohon barokah.

Memori pembacaan itu masih melekat. Saat kepala tertunduk, mata terpejam, dan hati larut dalam kekhusyukan mengikuti zikir bersama para jemaah, hadir sebuah momen kontemplatif. Momen itu muncul ketika tawasul dilantunkan oleh para gawagis, kemudian disambung dengan ritus spiritual yang berpangkal pada tujuh ayat induk kitabullah, Al-Fatihah.

Dalam setiap majelis dzikir maupun majelis ilmu, atau sejauh ritus mana pun itu, bacaan Al-Fatihah hampir tak pernah terlewatkan. Dari pengajian akbar, halaqah pesantren, khataman Al-Qur’an, hingga pembukaan perkuliahan atau permulaan aktivitas sehari-hari, selalu ada anjuran untuk menghadiahkan tujuh ayat suci tersebut sebagai pembuka keberkahan.

Mungkin kita sepakat bahwa setiap kali pembacaan itu merenung, merenung sebuah persoalan mengapa Al-Fatihah begitu menempati posisi istimewa dalam hampir semua ritual. Semakin saya mencoba memahami, semakin saya sadar bahwa surat ini memang inti dari seluruh Al-Qur’an. Rasulullah bersabda kepada Abu Sa‘id bin al-Mu‘alla: “(Al-Fatihah) adalah Ummul Qur’an, Sab‘ul Matsani, dan Al-Qur’anul ‘Azhim yang diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari). Maka, surah ini sebagai rangkaian ayat yang diulang-ulang, sekaligus menjadi inti dari permohonan manusia, pintu untuk memahami relasi terdalam dengan Sang Pencipta. Di dalam jeda tiap kalimatnya, kita menemukan ruang refleksi dengan menyadari kerapuhan diri, merasakan kedekatan dengan Allah, dan tetap diberi hak untuk memohon, meminta, mengetuk, sekaligus mengadu dengan doa yang paling agung.

Suatu ketika saya mendaras Al-Qur’an dalam suasana hening. Pada saat itu, saya tidak hanya membaca, tetapi mencoba berhenti sejenak, menimbang makna dari lafaz-lafaz yang selama ini hanya saya dengar berulang tanpa direnungi. Ada dorongan untuk memahami mengapa Surah Al-Fatihah selalu menjadi pembuka, mengapa begitu melekat dalam hampir setiap ritual ibadah. Di tengah perenungan itu, agaknya perlu kita cermati satu ayat dari (QS. Al-Hijr: 87)

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
 

Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Qur’an yang agung.” (QS. Al-Hijr: 87)

 

Membaca ayat ini, saya justru tidak langsung terburu-buru untuk menafsirkan secara ra’y bahkan membuka kitab tafsir sekali pun, melainkan merasakan ada sesuatu yang ditekankan Allah, bahwa keberulangan, pengulangan yang seolah memang menjadi kebutuhan batin manusia. Mengulang berarti menghidupkan, menjaga agar makna tidak lekang, dan menegaskan bahwa ada inti yang terus harus kembali kita ingat sebagaimana hamilul quran. Dari situ saya mulai menyadari, mungkin inilah mengapa Al-Fatihah tidak pernah absen dari shalat, doa, bahkan dari bacaan tawasul yang diwariskan para masyayikh.

Ada suatu riwayat, diceritakan sekelompok sahabat Rasulullah sedang melakukan perjalanan jauh. Mereka singgah di sebuah perkampungan Arab. Mereka berharap mendapat jamuan, namun penduduk setempat enggan menerima. Tidak lama kemudian, datang kabar bahwa pemimpin kampung itu sedang menderita sakit karena tersengat binatang berbisa. Penduduk lalu menanyakan kepada para sahabat apakah ada yang mampu melakukan ruqyah/

Salah seorang sahabat maju, lalu membacakan Surah Al-Fatihah sebagai ikhtiar pengobatan. Dengan izin Allah, sakit itu mereda dan sang pemimpin kembali pulih. Sebagai bentuk terima kasih, mereka diberi hadiah seekor kambing. Namun, sahabat itu menahan diri untuk tidak menerimanya sebelum ia menyampaikan kisah tersebut kepada Rasulullah . Ketika peristiwa itu diceritakan, Rasulullah tersenyum dan bersabda “Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah ruqyah?”. Sepintas autentik, Al-Qur’an memanglah asy-syifa’ lishshudur. Penawar yang menyembuhkan, membersihkan jiwa, menenangkan hati, dan menguatkan langkah iman.

Riwayat ini memberikan pesan yang mendalam bahwa Al-Qur’an membawa daya hidup yang tidak pernah habis, dan Surah Al-Fatihah menjadi salah satu pintu untuk mengalaminya. Di dalam pengulangan yang kita lakukan setiap rakaat, tersimpan energi yang mampu menyentuh ruang batin terdalam. Ia bisa meredakan sakit, menjernihkan pikiran, dan meneguhkan keyakinan ketika hidup terasa goyah. Seluruh ayat tanpa terkecuali, terlebih lagi ketika merapalkan ayat ihdinash shiratal mustaqim, seolah saya sedang menumpahkan segala kelemahan. Doa itu mengingatkan bahwa arah hidup ini rapuh bila hanya digerakkan oleh kehendak pribadi tanpa hidayah. Setiap manusia, termasuk kita, mudah goyah, mudah terseret oleh arus syahwat dan ambisi. Dan di titik itu, saya merasa kita semua berada pada pengalaman yang sama bahwa manusia yang berulang kali kehilangan kendali, lalu kembali bertawajjuh, merendahkan diri dengan permohonan agar Allah menuntun jalan agar tidak tercerabut dari-Nya.

Di dalam tradisi pesantren, ada kebiasaan menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada guru-guru, masyāyikh, atau orang tua yang telah wafat. Kebiasaan ini berakar pada pemahaman Qur’ani yang menyebutkan wabtaghū ilaihi al-wasīlah (QS. Al-Mā’idah: 35), yakni mencari wasilah atau jalan perantara untuk mendekat kepada Allah. Pemahaman tersebut dikuatkan oleh sabda Nabi bahwa ketika anak Adam meninggal dunia, amalnya terputus kecuali tiga perkara: sadaqah jāriyah, ‘ilm yuntafa‘u bih, wa waladun sālih yad‘ū lahu (HR. Muslim). Doa anak saleh kepada orang tuanya dipahami ulama sebagai penanda bahwa doa memiliki jangkauan yang melampaui tataran hubungan pada keluarga. Seorang murid yang memanjatkan doa untuk gurunya pun termasuk dalam tasalsul a’mal. Di titik inilah, tawassul melalui Al-Fatihah memperoleh makna mendalam, menjadi silah ruhaniyah yang menyambungkan antara sanad ilmu, mata rantai barakah, dan doa jariyah yang terus mengalir.    

Syaikh Abdul Hadi Naja al-Abyari dalam al-Fawākih al-Najawiyyah fī al-Multaqat al-Najawiyyah memberi kesaksian menarik. Beliau menuturkan bahwa para gurunya, sebelum membuka kitab, sebelum mengulangi pelajaran, atau sebelum mengajari ilmu agama senantiasa membacakan Al-Fatihah untuk para masyayikh mereka. Awalnya, beliau menduga amalan itu sekadar bentuk bakti dan penghormatan terhadap para guru yang telah wafat, sebagai ungkapan syukur atas ilmu dan tarbiyah yang diwariskan. Kemudian beliau menemukan rahasia yang lebih dalam. Rahasia itu bermula ketika beliau membaca tafsir Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī mengenai ayat washalli alaihim (QS. al-Taubah: 103).

Ayat ini membuka pengertian bahwa doa tidak hanya mengalir dari satu arah, doa juga menumbuhkan ketenangan dan kekuatan pada yang didoakan, serta menghadirkan ta’alluq batiniah antara ruh-ruh yang saling terhubung. Dari sinilah Syaikh al-Abyārī menyadari bahwa ruh manusia yang ditempa ilmu dan akhlak mulia akan saling berkelindan, membentuk ikatan yang kukuh sebagaimana cahaya yang memantul antar-cermin. Ketika seorang santri menghadiahkan bacaan Al-Fātihah untuk gurunya, lalu berdoa agar Allah melimpahkan rahmat dan rida kepadanya, hubungan antara ruh santri dan ruh gurunya semakin erat. Dalam ikatan itu, nur sang guru seakan berpantulan, menetes kepada muridnya dalam bentuk ma‘ūnah untuk memahami ilmu, memperkuat jiwa, dan meneladani akhlak.

 


Ariby Zahron

Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang

Bagikan