Sahabat-sahabat santri yang insya Allah senantiasa dirahmati oleh Allah. Pada tulisan yang satu ini, sahabat akan kami ajak untuk menelisik salah satu kesenian yang pasti sudah tidak asing lagi bagi sahabat-sahabat santri. Adalah kesenian hadrah.
Hampir di setiap acara-acara bernafaskan Islami, pasti menampilkan kesenian ini. Begitu pula di pondok kita tercinta ini, Pondok Gading. Mulai acara Haul SAQ (Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani) dan Haul Almarhumain, Peringatan Maulid Nabi, Gebyar Bahasa, sampai HI (Haflatul Imtihan), sudah dipastikan dalam salah satu rangkaian acaranya terdapat penampilan kesenian hadrah yang dibawakan oleh kelompok hadrah Pondok Gading poenya, ialah Al Barzanji.
Lalu, sebenarnya apa sih kesenian hadrah itu?
Mungkin di dalam benak sahabat-sahabat santri sempat terlintas pertanyaan tersebut. Atau tidak pernah sekali pun ada? Haha..It’s not matter, sahabat. Al fakir akan mencoba memberikan sedikit info mengenai hadrah. Buah dari searching tipis-tipis, telaah jurnal (weisst.. guaya.. hehe,) dan wawancara kerabat dekat. Let’s check this out!
Dari segi bahasa, hadroh berasal dari kata hadhoro–yuhdhiru–hadhron–hadhrotan yang berarti kehadiran. Namun, di dalam istilah kebanyakan orang, hadhroh diartikan sebagai irama yang dihasilkan oleh bunyi rebana. Sedangkan hadhroh menurut tasawuf adalah suatu metode yang bermanfaat untuk membuka jalan masuk ke “hati”, karena orang yang melakukan kesenian hadrah dengan benar terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah yang senantiasa hadir.
Sumber lain menyebutkan, bahwa hadrah adalah salah satu bentuk kesenian musik berupa peralatan yang terdiri dari empat buah rebana dan sebuah gendang. Kesenian hadrah ini erat kaitannya dengan kesenian sholawatan. Keberadaan hadrah biasanya senantiasa menjadi pengiring dari pembacaan sholawat kepada Rasulullah SAW.
Sholawat dan hadrah bak sepasang bulan dan bintang yang kehadirannya saling melengkapi dalam menghiasi gelapnya malam. Keduanya seolah tak bisa dipisahkan. Sholawat sendiri memiliki makna yang mendalam. Shalawat menurut Kamus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, merupakan bentuk jamak dari kata shalat. Kata ini juga berarti : 1) permohonan kepada Tuhan, doa, dan 2) doa kepada Allah untuk Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Maka, dapat disimpulkan bahwa bershalawat bermakna berdoa.
Mengenai jenis-jenis sholawat yang berkembang dewasa ini. KH. Marzuki Mustamar saat menjadi penceramah dalam Kegiatan Malam Jumat di Masjid Baiturrahman, PP. Miftahul Huda, Gading Pesantren, mengatakan bahwa sholawat yang paling tua dan sudah berabad-abad dilantunkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Timur adalah sholawat Diba’. Sedangkan H. Zainal Arifin Thoha, seorang pengelola Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta sekaligus seorang penulis dan sastrawan, menjelaskan di dalam buku karangan beliau yang berjudul Eksotisme Seni Budaya Islam : Khazanah Peradaban dari Serambi Pesantren, di antara sholawatan yang populer dan menjadi rujukan pertama kesenian tradisional Islam, adalah sholawat badar, sholawat al-barzanji, dan sholawat burdah.
Perbedaan dari tiga jenis shalawat itu adalah, untuk shalawat badar, biasanya dimulai dengan syair yang berbunyi : “shalatullah salamullah / ’ala Thaha rasulillah // shalatullahi salamullah / ‘ala Yasin habibillah”. Sedangkan shalawat al-Barzanji, dimulai dengan syair : “Ya Nabi salam ‘alaika / Ya Rasul salam ‘alaika // Ya Habib salam ‘alaika / shalawatullahi ‘alaika”. Adapun shalawat burdah : “Mawlaya shalli wasallim daiman abada / ‘ala habibika khairil-khalqi kullihimi // Huwal-habibul-ladzi turja syafa ‘atuhu / likulli hawlim-minal-ahwali muqtahimi”.
Mengenai istilah “Banjari” yang kerap kali disandingkan dengan kata shalawat, memiliki sisi histori tersendiri. Beberapa sumber yang ditemukan oleh al fakir, pun berbeda dalam mengulas hal tersebut. Ada yang mengatakan bahwa nama “al-Banjari” berasal dari nama sebuah daerah di Kalimantan, yaitu Banjar. Disebut demikian, karena kesenian tersebut memang berasal dari daerah tersebut. Sumber lain mengatakan, dalam hasil penelitian, kata “al-Banjari” bukan berasal dari Kota Banjarmasin. Melainkan berasal dari Kota Tulungagung dan dipopulerkan di Kota Bangil oleh KH. Chumaidi Abdul Majid. Sedangkan KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani adalah pendiri sebuah majlis sholawat di daerah Banjarmasin. Dari sanalah, anggapan “al-Banjari” berasal dari Banjarmasin.
Beralih ke pembahasan yang sedikit lebih serius, sahabat santri. Dewasa ini, berkembang banyak sekali problematika mengenai kesenian, khususnya hadrah. Sebagian dari mereka beranggapan kesenian semacam itu malah dapat melenakan seseorang, membuat para penikmatnya berleha-leha, dan melalaikan diri terhadap kewajiban-kewajiban syar’i. Beberapa ulama ahliFiqhbahkan menghukuminya haram dan syubhat. Seperti Ibn al-Qayyim, mengungkapkan pendapatnya berupa sindiran melalui sebuah syair di dalam Ilghatsah al-Lahfan, “kapan kau melihat ibadah menggunakan alat musik?”. Huaa.. ngerii!
Menurut jawaban dari teman yang terpercaya, yang juga sahabat santri Pondok Gading. Di dalam kitab Sulam at-Taufiqbahwa sesungguhnya segala macam alat musik itu hukumnya haram kecuali yang ditabuh. Dia menambahkan, hal itu karena didasarkan pada cerita sejarah. Yang mana, zaman dahulu masyarakat jahiliyah senang mengadakan acara yang berisi tarian dan nyanyian, diiringi dengan permainan gendang, dan minum minuman khamr. “Maka dari itu, menurut saya, gendang diharamkan, karena sering kali berkaitan dengan aktivitas dan acara yang nir-faedah. Sedangkan rebana tetap dihalalkan.
Secara umum, H. Zainal Arifin Thoha menanggapi pula hal tersebut. Seni di dalam Islam merupakan buah dari aktivitas spiritual yang membantu umat untuk kembali pada asal-muasal dari segala hal. Seni bukan hanya hasil penciptaan umat muslim tetapi juga dilandasi oleh wahyu ilahi. Kaum sufi menganggap bahwa tari dan nyanyian akan mampu menambah kekhusyukan mereka dalam beribadah. Mampu mengantarkan jiwa mereka keharibaanNya.
Dr. Yusuf al-Qardhawi -seorang cendikiawan muslim sekaligus sastrawan andal- turut pula menyumbangkan pemikirannya. Melalui karyanya, al-Islam wa al-Fann, bahwa kesenian itu merupakan salah satu jalan untuk mencapai sebuah tujuan. Sehingga dalam menghukuminya, tergantung pada niat atau tujuannya. Zuhairi Misrawi -penerjemah kitab al-Islam wa al-Fann– berpendapat bahwa kesenian adalah ilmu yang bukan berasal dari ijtihad para mujtahid, layaknya Fiqh. Sehingga pemanfaatannya kembali pada motivasi, pribadi, dan kondisi. Terakhir, pada peristiwa hijrahnyaRasulullah ke Kota Madinah. Disambutlah beliau oleh penduduk setempat dengan penuh suka cita seraya melantunkan sholawat kepada Baginda Agung Rasulullah SAW diiringi tabuhan irama hadrah. Setelah peristiwa tersebut, tiada larangan apa pun dari Rasulullah.Wa Allahu a’lam bi as-showab.(im)