World Health Organization sebagai organisasi kesehatan dunia memperkenalkan aforisme “there is no health without mental health”, yang mengindikasikan bahwa tanpa kesehatan mental, kesehatan paripurna tidak dapat diraih. Sebagaimana kesehatan fisik, kesehatan mental harus dipandang sebagai komponen krusial.[1] Hal ini mengacu pada bagaimana individu menilai ekuilibrium internal, relasi interpersonal, dan melakukan adaptasi terhadap ekosistem sosial mereka. Di dalam buku Mental Hygiene, kesehatan mental dikaitkan dengan tiga aspek esensial. Pertama, cara seseorang merenungkan, merasakan, dan menjalani rutinitas harian; Kedua, persepsi individu terhadap diri sendiri serta orang lain; dan Ketiga, metode evaluasi alternatif solusi serta pengambilan keputusan dalam menghadapi kondisi yang dihadapi.[2]
Kesehatan mental menunjukkan adanya hubungan korelatif dengan frekuensi pemanfaatan internet atau jejaring sosial.[3] Intensifikasi interaksi digital ini mempengaruhi mekanisme adaptif individu terhadap tekanan psikologis, kualitas hubungan interpersonal, dan proses pengambilan keputusan dalam menghadapi situasi sehari-hari. Eksposur berlebihan terhadap media sosial atau konten digital kerap kali berkontribusi pada eskalasi kecemasan, depresi, dan isolasi sosial, yang pada akhirnya dapat mengganggu homeostasis psikologis seseorang.[4] Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 221.563.479 individu dari total populasi 278.696.200 jiwa pada tahun 2023. Berdasarkan hasil survei tersebut, maka diketahui penetrasi internet Indonesia tahun 2024 yang dirilis oleh APJII mencapai 79,5%.[5] Indikasi tersebut menandakan bahwa hampir 80% dari total populasi Indonesia telah terkoneksi dengan internet pada tahun tersebut. Pertumbuhan yang mencolok seperti ini mencerminkan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta kebutuhan yang makin besar akan konektivitas digital. Dampaknya sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Media maya sebagai bentuk terciptanya literasi digital tidak hanya menjabarkan terkait bagaimana penggunaan beserta implikasinya, melainkan perlu kiranya seseorang memperhatikan beberapa dampak dan fenomena yang terjadi di dalamnya, baik dampak secara materil maupun immateril serta terhadap kesehatan mental pengguna media sosial di Indonesia.[6] Dari segi materil, media maya memengaruhi ekonomi dengan menciptakan peluang bisnis baru dan mengubah lanskap pekerjaan. Sementara jika dari segi imaterial, media ini memperkaya budaya digital namun juga membawa risiko seperti polarisasi opini dan pelebaran kesenjangan informasi. Catfishing, hoax, viral, hyperhonest, hyperdishonest, hate speech sadfishing, FOMO, hyperpersonal, dan cyberculture merupakan sejumlah pengaruh dan konsekuensi dampak yang dihasilkan terhadap kesejahteraan psikologis. Tentunya, persoalan semacam ini sangat menarik perhatian dalam dinamika mental, baik dari pelaku (inisiator) maupun pengguna (konsumen).[7]
Siklus Sadfishing yang Merantas Jiwa Manusia
Salah satu fenomena yang akhir-akhir ini marak di kalangan masyarakat digital adalah sadfishing. Sadfishing adalah praktik memublikasikan narasi yang menyedihkan, emosional, dan menyentuh dengan tujuan mencari perhatian dan simpati dari pengguna lain di media sosial.[8] Istilah sadfishing dicetuskan oleh Rebecca Reid pada tahun 2019 yang berawal dari unggahan seorang selebritas bernama Kendall Jenner. Unggahan tersebut mengisahkan perjuangannya mengatasi masalah jerawat, yang kemudian terungkap bahwa narasi ini dibagikan sebagai bagian dari kerja sama dengan perusahaan yang mempromosikan obat jerawat.
Sementara itu, fenomena sadfishing di Indonesia yang sempat menggemparkan publik adalah tagar JusticeForAudrey, yakni sebuah gerakan solidaritas terhadap seorang siswa bernama Audrey yang diduga mengalami perundungan oleh rekan-rekan sekolahnya. Gerakan ini berakar dari unggahan Audrey yang memerinci kesedihannya di media sosial mengenai perundungan yang ia alami. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata Audrey tidak benar-benar mengalami perundungan tersebut. Kecenderungan individu untuk melakukan sadfishing dalam kasus Audrey ini dapat dihubungkan dengan teori ketergantungan sistem media (media system dependency theory), yaitu kecenderungan seseorang untuk bergantung pada media tertentu karena merasa kebutuhannya terpenuhi oleh media tersebut. Dalam konteks ini, Audrey bergantung pada media sosial karena menganggapnya sebagai tempat untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang yang menentang keras perundungan.
Fenomena seperti cyberbullying dan degradasi harga diri juga menjadi perhatian serius dalam dinamika psikologis pengguna media sosial. Tampaknya, konten media sosial yang idealnya berfungsi sebagai sarana berbagi informasi dan inspirasi, lebih sering digunakan untuk tujuan lain seperti ekspresi diri (self-expression), pencitraan diri (personal branding), bahkan eksploitasi moral. Tujuan-tujuan dangkal tersebut yang nantinya berdampak pada kesehatan mental pelakunya, baik dari usia anak-anak, bahkan remaja.
Fokus utama mengapa individu terdorong untuk melakukan sadfishing atau memancing kesedihan di media sosial dapat diatributkan kepada tiga faktor utama.[9] Pertama, adanya respons yang cepat; berbeda dengan upaya memancing kesedihan dalam kehidupan nyata di mana belum tentu orang akan mendengarkan keluh kesah kita, saat kesedihan tersebut dipublikasikan di media sosial, respons cepat yang diterima menjadi motivasi utama bagi pengguna untuk melakukan sadfishing. Kedua, keinginan untuk memperoleh perhatian dan dukungan; meskipun tidak selalu menghasilkan respons positif, terkadang pelaku sadfishing juga bisa menerima respons negatif dari pengguna media sosial lainnya, yang justru dapat memperparah kondisi depresi dan keterpurukan mereka. Ketiga, timbulnya rasa adiktif; pada awalnya banyak simpati dan dukungan yang diterima, sering kali membuat pelaku sadfishing termotivasi untuk menciptakan narasi kesedihan baru demi mendapatkan perhatian lebih lanjut.
Penelitian yang berjudul “Trends of Sadfishing Phenomenon and Disappearance of Self Privacy on Social Media TikTok” mengamati bahwa para kreator konten berlomba-lomba meningkatkan jumlah penonton dan masuk ke halaman utama TikTok, atau yang dikenal dengan FYP (For Your Page). Adanya FYP ini mendorong para kreator konten untuk melakukan berbagai tindakan agar akun TikTok mereka menjadi viral, salah satunya dengan membuat konten sedih atau sadfishing. Pada akhirnya sadfishing menjadi sebuah tren, ketika tren ini muncul karena selebritas, aktor, bahkan orang biasa berbagi kesedihan yang tidak signifikan untuk mendapatkan perhatian banyak orang. Mereka merasa puas dan terdorong untuk terus mengeksploitasi cerita sedih mereka demi meraih ketenaran.
Pada dasarnya, manusia memiliki dorongan intrinsik untuk selalu mencari kepuasan juga perhatian, sering kali tanpa menyadari bahwa perilaku curhat di media sosial dapat menimbulkan dampak adiktif.[10] Mereka kerap menganggap bahwa kesedihan yang mereka unggah adalah bagian dari berbagi pengalaman atau sekadar curhat untuk memperoleh dukungan dari orang lain. Banyak pelaku sadfishing yang membuka masalah pribadinya ke ranah publik, seperti memposting video perselingkuhan, pengalaman kekerasan dan perundungan, keinginan untuk bunuh diri, masalah keluarga, hingga pernyataan depresi di media sosial. Intinya, mereka merasa kesepian dan ingin mendapatkan dukungan serta perhatian lebih agar kesedihannya bisa viral. Namun, tidak sedikit pelaku sadfishing yang makin terpuruk karena tidak semua orang mendukung mereka; banyak yang justru menghujat melalui komentar negatif.
Kendati demikian, perlu diketahui bahwa dalam memenuhi kepuasan individu pada pola-pola managing digital identity, seseorang dapat melakukan hal apa pun tanpa memperdulikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Para sadfisher hanya memedulikan bagaimana sistem algoritma media sosial berjalan untuknya. Untuk itu, segala kekhawatiran maupun keniscayaan akan potensi buruk yang timbul haruslah dihindari dengan menggunakan identitas yang tepat misalnya, tidak berlebihan (hyperhonest), dan melihat arus media secara proporsional.
Distorsi Realitas dan Simpatisan yang tak Kunjung Bermoral
Komersialisasi perilaku dan pengalaman individu di jagad maya telah mengubah fungsi media sosial dari sekadar podium interaktif menjadi panggung pengungkapan diri, atau self-disclosure.[11] Banyak orang kini berbagi cerita pribadi dengan cara yang sangat beragam, termasuk hyperhonest—terlalu jujur dalam mengungkapkan masalah hidup mereka. Praktik ini menempatkan ruang privasi yang seharusnya tertutup menjadi terbuka, sehingga memicu potensi munculnya masalah baru. Bagi masyarakat digital, cara dan hasil dari pengungkapan ini mempengaruhi persepsi dan respon mereka, terlebih menunjukkan bagaimana komersialisasi identitas digital telah menggeser nilai dan norma interaksi sosial dalam jaringan.
Komersialisasi perilaku, terutama dalam konteks kontemporer seperti sadfishing, menjadi hal yang lumrah dewasa ini. Tuntutan ini tidak terlepas dari dampak penggunaan media sosial yang berlebihan. Jika ditelaah melalui perspektif teoretis, kekuatan utama dalam hal ini adalah pengaruh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengaruh adalah kekuatan yang muncul atau berasal dari suatu entitas (orang atau benda) yang membantu membentuk karakter, keyakinan, atau perilaku seseorang. Sementara itu, menurut Cahyono, pengaruh adalah suatu kondisi ketika terdapat hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara elemen yang mempengaruhi dan elemen yang dipengaruhi. Dua entitas ini akan dihubungkan untuk mencari tahu apakah terdapat faktor yang mengaitkannya. Di sisi lain, pengaruh juga bisa diartikan sebagai daya yang mampu memicu perubahan sehingga mengakibatkan transformasi pada suatu hal. Jika salah satu elemen pengaruh tersebut berubah, maka akan muncul konsekuensi yang dihasilkannya.[12] Pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaruh adalah semacam otoritas atau dominasi yang berasal dari berbagai elemen di alam, sehingga mempengaruhi segala sesuatu di sekitarnya atau perilaku individu.
Pengaruh terbagi dalam kategori positif dan negatif. Dampak ini menjadi peran krusial dalam memodulasi transformasi individu, sehingga lebih menuju pola-pola konstruktif. Pengaruh positif berfungsi sebagai katalisator yang mendorong peningkatan kualitas diri dan pengembangan visi-misi jangka panjang. Hal ini tentu membawa potensi optimal dalam suatu performa serta perilaku individu. Namun sebaliknya, pengaruh negatif dapat menimbulkan degradasi perilaku dan kinerja. Hal ini menggarisbawahi bahwa analisis-analisis ilmiah lainnya secara konkret menunjukkan jika pengaruh positif mampu membawa dampak yang berkelanjutan terhadap kepuasan kebaikan dan produktivitas penilaian.
Berbagai penelitian mengungkapkan adanya spektrum perilaku yang terbentuk di kalangan masyarakat digital. Faktor utama yang memengaruhi keseluruhan sikap psikologis yang terbentuk melalui jaringan media sosial sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa hasil dari pengaruh tersebut adalah sensation. Fenomena ini memberikan dampak signifikan terhadap perilaku remaja. Remaja memiliki karakteristik sosioemosional yang mencakup perubahan pada emosi, dinamika emosional, serta relasi interpersonal, sehingga mereka mencari sensasi yang menumbuhkan kesenangan melalui pengalaman-pengalaman baru. Seorang remaja tengah berada di fase kritis untuk menemukan identitas diri, menentukan jati diri mereka, serta memahami arah tujuan hidup mereka seiring menuju kedewasaan.[13] Proses perubahan dan pencarian identitas pada masa remaja mengakibatkan peningkatan eksplorasi risiko untuk mengejar pengalaman-pengalaman baru yang menyenangkan dan merangsang. Tingginya penggunaan media sosial dalam hal ini memperkuat kecenderungan tersebut, bahkan hingga mencapai level ketergantungan.
Menurut Nurhanifah dalam studinya, sensasi yang ditimbulkan oleh media sosial menyebabkan sebagian besar populasi menghabiskan waktu secara berlebihan akibat kecanduan media sosial. Melihat penelitian Nurhanifah tersebut, beberapa sampel dari remaja menunjukkan indikator penting yang diukur, termasuk kecanduan media sosial, kebosanan, pencarian sensasi, dan harga diri, dengan setiap variabel memiliki nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi (Std. Deviasi) masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecanduan media sosial memiliki nilai rata-rata tertinggi sebesar 74,80 dengan standar deviasi 15,75, mengindikasikan tingkat kecanduan yang signifikan dan bervariasi. Kebosanan memiliki nilai rata-rata 21,26 dengan standar deviasi 6,50, sementara pencarian sensasi memiliki nilai rata-rata 28,02 dengan standar deviasi 5,20. Harga diri memiliki nilai rata-rata 28,90 dengan standar deviasi 5,11.[14]
Dialektika antara masyarakat remaja dan media sosial menciptakan sebuah lingkungan yang memacu eksposur terhadap risiko dan pencarian pengalaman baru dengan intensitas yang tinggi. Remaja sering kali terjerumus dalam upaya mencari sensasi dan popularitas di media sosial, tanpa mempertimbangkan dampak psikologis atau sosial yang mungkin timbul. Fenomena ini sering mengarah pada beragam perilaku impulsif sehingga mereka secara terbuka dan berlebihan membagikan masalah pribadi untuk mendapatkan perhatian juga validasi dari orang lain walaupun dengan risiko merugikan diri sendiri secara emosional dan mental.
Dalam perspektif Al-Qur’an, imbauan untuk menjaga diri sendiri maupun orang lain serta menjaga pandangan keburukan yang terdampak pada diri sendiri maupun orang lain juga telah disebutkan Q.S. Al-Isra’ (17): 7. Ayat tersebut menggambarkan prinsip bahwa konsekuensi dari perbuatan baik atau buruk seseorang tidak hanya berdampak pada orang lain, tetapi juga pada dirinya sendiri. Ketika seseorang melakukan perbuatan baik, manfaatnya akan kembali kepada dirinya sendiri, baik dalam bentuk kebaikan moral, spiritual, atau materiel, yang diperoleh di dunia ini. Sebaliknya, jika seseorang melakukan perbuatan jahat atau buruk, bahaya dan kerugian dari tindakan tersebut juga akan mengenai dirinya sendiri. Ayat ini menekankan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang tidak dapat dihindari, dan bahwa kebaikan atau kejahatan yang dilakukan seseorang tidak hanya memengaruhi hubungannya dengan orang lain, tetapi juga membentuk nasib dan akibat bagi dirinya sendiri di masa yang akan datang.
Menimpali persoalan tersebut, dinamika dalam dunia digital dihebohkan oleh segelintir netizen yang tanggap memberikan komentar. Hal ini sering kali berujung pada perilaku perisakan siber (cyberbullying) atau tanggapan-tanggapan sarkastis. Perisakan siber dilakukan oleh individu atau kelompok yang melancarkan penghinaan melalui pesan, mengunggah citra yang mempermalukan korban, merekam dan mendistribusikan video yang melecehkan korban, serta membangun situs web untuk menyebarkan fitnah. Perisakan siber terjadi ketika korban diancam, dipermalukan, dihina, diejek, atau mengalami peretasan. Tindakan ini dilakukan dengan sengaja dan berulang oleh pelaku, yang bertujuan untuk mengintimidasi korban dalam berbagai bentuk, baik secara verbal, fisik, maupun psikologis.[15]
Salah satu faktor pemicu utama munculnya cyberbullying adalah lemahnya kontrol sosial. Fenomena ini lebih relevan dikaitkan dengan kalangan remaja, yang sering kali terjerumus dalam tindakan tersebut sebagai bagian dari pencarian identitas diri. Masa remaja sering disebut sebagai masa transisi atau pancaroba (critical phase) ketika penyimpangan perilaku dapat terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan esensial seperti kebutuhan seksual, kebutuhan akan prestasi, kebutuhan akan konformitas sosial, kebutuhan yang berhubungan dengan keluarga, dan terutama kebutuhan akan identitas diri serta popularitas.[16]
Ihwal Braggadocian Behavior dalam Sikap Remaja Narsistik
Sehubungan dengan ihwal sadfishing, cyberbullying menjadi ancaman serius dalam dinamika media sosial. Ekspektasi yang diusung oleh pelaku sadfishing adalah mendapatkan belas kasihan dari para simpatisan terhadap tindakan tersebut. Upaya ini layaknya dengan braggadocian behavior, yakni kecenderungan individu untuk secara berlebihan menampilkan kehidupan mereka yang dianggap menarik atau prestisius; dalam artian yang lain adalah sikap narsistik yang berakar pada kebutuhan fundamental untuk memperoleh validasi dan pengakuan dari orang lain di dunia maya.[17] Fenomena ini tidak hanya terbatas pada pameran keberhasilan dan kebahagiaan, tetapi juga mencakup eksibisi kesedihan dan penderitaan, yakni sadfishing.
Sadfishing sebagai manifestasi individu membagikan pengalaman emosional atau tragedi pribadi mereka di platform media sosial dengan tujuan mendapatkan simpati dan dukungan. Perilaku ini, mirip halnya Braggadocian Behavior yang hanya memanfaatkan algoritma dan dinamika media sosial untuk menarik perhatian. Harapan utama dari perilaku sadfishing adalah respons empatik dari jaringan sosial mereka, yang diharapkan dapat memberikan rasa validasi dan penerimaan. Namun, di dalam praktiknya, konsekuensi dari perilaku ini seringkali berlawanan dengan yang diharapkan. Sebagai contoh, cyberbullying menjadi ancaman yang nyata. Alih-alih mendapatkan simpati, individu yang terlibat dalam sadfishing seringkali menjadi target komentar negatif, penghinaan, dan bahkan ancaman, yang semakin memperburuk kondisi mental mereka. Pada akhirnya, Fenomena ini memperlihatkan bagaimana media sosial dapat menjadi pedang bermata dua, yakni media sosial sebagai platform untuk mengekspresikan diri sekaligus membuka pintu bagi kritik dan serangan dari orang lain.
Di dalam perspektif teoretis, sadfishing dan Braggadocian Behavior dapat dipahami sebagai respons terhadap lingkungan media sosial yang sangat terfokus pada visibilitas dan performativitas. Media sosial, dengan mekanisme like, share, and comment, menciptakan ekosistem pada setiap unggahan yang dinilai dan dievaluasi secara publik. Tentu hal ini mendorong individu untuk mencari perhatian dan validasi melalui berbagai cara, baik melalui pameran kebahagiaan maupun penderitaan. Akibatnya, media sosial tidak hanya membentuk interaksi sosial dan perilaku individu, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental. Ketika ekspektasi simpati tidak terpenuhi, atau ketika individu menjadi sasaran cyberbullying, efek psikologisnya bisa sangat merugikan. Oleh karena itu, memahami dinamika ini penting dalam mengembangkan strategi untuk memitigasi dampak negatif media sosial dan mendukung penggunaan yang lebih sehat dan konstruktif.
Berdasarkan anomali tersebut, eksploitasi akan berbagai rasa haus pengakuan masyarakat maya menimbulkan afeksi yang berlebihan. Tentu saja, ini berlawanan dengan prinsip-prinsip agama yang menganjurkan kesederhanaan dalam setiap aspek kehidupan. Agama islam sebagai manhajul hayah menilai sekaligus mengingkari sesuatu maupun segala dimensi naluri yang munkar, termasuk perilaku mencari-cari perhatian kepada selain Allah, yakni sadfishing mencari perhatian dan simpati orang lain. Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda,
يقولُ اللهُ عزَّ وجلَّ : أنا عند ظنِّ عبدي بي فليظُنَّ بي ما شاء
"Allah berfirman, ‘Aku sesuai prasangka hambaKu kepadaKu, maka hendaklah seseorang berprasangka terhadapKu”. Dalam hadist lain dari riwayat Muslim, bahwa Nabi bersabda,
و حَدَّثَنِي أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ مَعْبَدٍ حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ عَارِمٌ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يَقُولُ لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Telah menceritakan kepadaku [Abu Dawud Sulaiman bin Ma'bad] telah menceritakan kepada kami [Abu An Nu'man Arim] telah menceritakan kepada kami [Mahdi bin Maimun] telah menceritakan kepada kami [Washil] dari [Abu Az Zubair] dari [Jabir bin Abdullah Al Anshari] berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda tiga hari sebelum beliau wafat: "Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali ia berbaik sangka kepada Allah 'azza wajalla."
Hadis-hadis yang disampaikan menegaskan urgensi memiliki prasangka baik terhadap Allah dan mengindikasikan ketergantungan total kepada-Nya dalam berbagai keadaan. Fenomena sadfishing yang dilakukan untuk meraih atensi dan simpati dari orang lain, berkontradiksi dengan ajaran Islam yang mengajarkan ketawakalan dan ketergantungan eksklusif kepada Allah. Sebagai perilaku mencari validasi emosional dari sesama manusia melalui jejaring sosial, sadfishing merefleksikan ketergantungan afektif kepada makhluk ketimbang Sang Pencipta. Hal ini mengimplikasikan defisiensi keyakinan dan kepercayaan terhadap Allah, yang seharusnya menjadi tempat bergantung utama bagi setiap Mukmin. Rasulullah SAW dalam hadis tersebut menekankan signifikansi berbaik sangka kepada Allah, terutama menjelang ajal, bahwa seorang Muslim harus senantiasa memiliki keyakinan yang kokoh bahwa Allah akan menganugerahkan yang terbaik bagi hamba-Nya, bahkan dalam situasi yang paling genting sekalipun.
Begitu pula mengenai sikap narsistik dalam Braggadocian Behavior yang semakin merajalela di kalangan pemuda kontemporer. Arogansi semacam ini mencerminkan sebuah kecenderungan untuk mengagung-agungkan diri sendiri, dengan dorongan keyakinan yang berlebihan terhadap perhatian dan kepedulian dari orang lain, serta egoisme mendalam (acute egoism). Jika dikaitkan dalam pandangan Al-Qur’an, sebenarnya manusia telah di-nash sebagai makhluk yang lemah, tidak punya daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Hal ini disampaikan dalam surat QS. An-Nisa’ ayat 28 berikut:
وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَـٰنُ ضَعِيفً۬ا...
“...Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’ : 28)
Berkenaan dengan ayat di atas, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar dalam tafsir ‘Zubdatut Tafsir’ Min Fathil Qadir menjelaskan bahwa lemah tak mampu untuk mengendalikan diri dan melawan hawa nafsu yang bergejolak. Walaupun dalam konteks penafsiran ayat ini oleh para mufassir lainnya menyatakan perihal menikahi budak wanita karena lemah menghadapi syahwat yang sangat besar, akan tetapi penggarisbawahan persoalan ini adalah tabiat manusia yang pada dasarnya adalah lemah dalam hal pengendalian diri terhadap berbagai aspek kehidupan. Sebagai upaya preferentif menyoali perkara tersebut, perlu adanya penekanan terhadap sumber kebutuhan makhluk kepada Sang Pencipta. Maka, dalam hal ini Al-Qur’an kembali memaparkan kebutuhan yang sesuai dengan makhluknya sebagaimana Q.S. Fathir ayat 15 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلْفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلْغَنِىُّ ٱلْحَمِيدُ
Artinya: Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. QS Fathir:15
Melalui ayat tersebut, Syaikh Wahbah Zuhaili dalam tafsir Wajiznya menegaskan bahwa manusia memerlukan Allah dalam semua aspek kehidupan, baik yang bersifat duniawi maupun spiritual. Allah adalah Dzat yang tidak memerlukan pengakuan manusia; Dia layak menerima pujian atas segala tindakan-Nya dan diibadahi dalam segala kondisi. Di dalam tafsir As-Sa'di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, sebagaimana Q.S. Al-Ikhlas ayat 1-2 diperjelas bahwa Allah menunjukkan kepada manusia keadaan dan sifat mereka yang sebenarnya, yakni mereka sangat membutuhkan Allah dalam segala hal. Manusia butuh diciptakan dan diberi kekuatan serta kemampuan oleh Allah. Mereka bergantung pada-Nya untuk mendapatkan rizki dan nikmat, serta dilindungi dari bencana dan kesulitan. Allah juga memberi mereka petunjuk dan bimbingan, serta mengajarkan mereka untuk menghamba dan mencintai-Nya. Kefakiran manusia terhadap Allah meliputi segala aspek kehidupan, dan orang yang menyadari kebutuhannya yang mendalam kepada-Nya akan merasakan perlindungan yang sempurna dari-Nya
Menyikapi prinsip dasar tersebut, Al-Quran sebagai hudan wa rohmah kembali menegaskan kebijaksanaan yang sebenarnya tertanam dalam hati manusia, yaitu bertawakkal. Sehendaknya perilaku semacam sadfishing yang merepresentasikan ketergantungan hati dari anggapan orang lain seharusnya tidak lagi menjadi beban, meskipun dalam situasi yang sulit atau penuh penderitaan. Al-Quran menegaskan pentingnya tawakkal kepada Allah semata, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Furqan ayat 58:
وَتَوَكّل عَلَى ٱلۡحَىِّ ٱلَّذِى لَا يَمُوتُ
Artinya: Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati.” (QS. Al-Furqon : 58)
Imam Ibnu Rajab rahimahullahu mendefinisikan tawakkal sebagai bentuk kejujuran hati dalam bergantung/bersandar kepada Allah dalam meraih kebaikan dan menjauhkan diri dari kemadharatan dalam urusan dunia maupun akhirat.[18] Sedangkan menurut Imam Al-Jurnaani mengatakan Tawakkal adalah merasa yakin dengan apa yang disisi Allah dan tidak bergantung kepada manusia.[19] Ayat ini menegaskan tentang Allah adalah Dzat untuk bersandar dalam mengharap segala kebaikan yang tidak ada Dzat yang hidup kekal kecuali Allah menurut Syaikh Sulaiman Al-Asyqar dalam Zubdah Tafsirnya. Senada dengan esensi ayat tersebut, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: Ayat ini mengandung perintah untuk memohon pertolongan kepada Allah serta bergantung kepada-Nya dan tidak bersandar kepada diri sendiri. Oleh karena itu Allah berfirman “karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal”. Dan ketika Allah mendahulukan kata-kata “hendaklah kepada Allah” ini menunjukkan tawakkal harus kepada Allah saja dan tidak kepada yang lain. Karena Allah lah satu-satunya Dzat yang bisa menolong kita. Bergantung kepada Allah adalah bentuk tauhid yang akan mengantarkan kita kepada tujuan. Sedangkan bergantung kepada selain-Nya itu adalah syirik yang tidak bermanfaat bagi pelakunya bahkan bermadharat. Dan di dalam ayat ini ada perintah untuk bertawakkal kepada Allah saja. Sesuai kadar keimanan seorang hamba itulah tingkat tawakkalnya kepada Allah.
Melihat pertimbangan rasional yang hampir diabaikan dalam kondisi lemahnya iman seseorang, penting untuk meninjau kembali bahwa prinsip-prinsip yang diajarkan dalam ajaran agama memiliki cakupan yang luas dalam menawarkan solusi terhadap berbagai keburukan yang dihadapi individu. Sadfishing, sebagai fenomena di mana individu mencari identitas baru dengan mengeksploitasi ekspresi pribadi mereka secara terbuka, telah mengubah norma yang seharusnya menjadi bagian intim kehidupan mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa dorongan untuk memenuhi kebutuhan materialistik duniawi sering kali menggantikan kesadaran spiritual yang seharusnya menjadi fokus utama. Selayaknya menjadi hamba yang muttaqi, ketergantungan yang berlebihan harus diletakkan pada Allah semata, bukan pada perhatian dan ketergantungan terhadap makhluk lain.
Antara Keluh Kesah dan Citra Branding yang Lemah
Perilaku-perilaku konstan dalam tindak bermedia sosial sangat menentukan citra branding seseorang.[20] Konsistensi dalam aktivitas online seperti posting konten, berinteraksi dengan pengikut, dan merespons komentar dapat secara signifikan mempengaruhi persepsi dan penilaian orang lain terhadap individu tersebut.[21] Aktivitas ini tidak hanya memengaruhi bagaimana individu membangun identitas digital mereka, tetapi juga mempengaruhi bagaimana orang lain memahami dan meresponsnya secara sosial.
Apabila dikaitkan dengan perilaku sadfishing yang kerap dilakukan oleh para influencer atau masyarakat umum, perspektif psikologi media sosial menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam sadfishing dapat menerima respons empatik dari sebagian pengikutnya, yang pada gilirannya dapat memperkuat perasaan validasi dan penerimaan sosial.[22] Namun, keteraturan dalam perilaku sadfishing juga dapat menghasilkan dampak negatif, seperti stigmatisasi dan degradasi kredibilitas. Seiring waktu, para pengikut mungkin mulai menginterpretasikan perilaku ini sebagai manipulatif atau tindakan mencari perhatian secara berlebihan, yang dapat merusak citra personal branding individu tersebut.
Beberapa waktu yang lalu, jagad media sosial digemparkan oleh sosok remaja yang menjadi sorotan publik dan menjadi perbincangan luas. Berdasarkan laporan dari Liputan6.com, seorang remaja bernama Fajar Labatjo, atau yang lebih dikenal dengan julukan Fajar Sad Boy, menjadi pusat perhatian di kalangan pengguna media sosial. Videonya yang menampilkan dirinya mencurahkan isi hati dengan ekspresi kesedihan akibat diabaikan oleh perempuan yang ia sukai, menyebar luas dan menjadi viral. Kepopuleran video tersebut menyebabkan Fajar diundang ke berbagai acara televisi dan tampil di kanal YouTube beberapa konten kreator ternama.[23]
Layaknya fenomena Fajar Labatjo ini menarik perhatian kriminolog Haniva Hasna. Menurut Hasna, masa remaja adalah fase kritis dengan pencarian identitas diri dan emosi yang fluktuatif. Postingan emosional Fajar di media sosial, yang bertujuan untuk mendapatkan simpati, diidentifikasi sebagai sadfishing. Meskipun pada akhirnya dapat memberikan validasi sementara, perilaku ini berpotensi menimbulkan stigmatisasi dan cyberbullying. Dampak negatif ini memperburuk kondisi psikologis remaja yang sudah rentan, menjadikannya korban dari reaksi impulsif masyarakat online yang sering tidak memahami konteks penuh dari situasi tersebut.
Berkenaan dengan contoh kasus tersebut, dewasa ini, kompleksitas perilaku remaja dalam membentuk dinamika sosial, baik secara langsung maupun dalam komunitas digital semakin tidak terkendali. Islam memberikan pandangan yang kuat terhadap situasi ini yang menegaskan pentingnya kekuatan iman bagi umatnya. Hal tersebut dijelaskan dalam Q.S Ali Imran ayat 139:
وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya: Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.
Ayat ini secara umum menguraikan kesedihan umat Islam setelah kekalahan dalam Perang Uhud. Awalnya, mereka memimpin dengan ketangkasan dan dukungan 50 pasukan pemanah yang menguasai perbukitan Uhud. Namun, saat musuh mundur, pasukan Muslim tergoda oleh harta rampasan (ghanimah). Pemanah turun dari bukit untuk mengambil harta tersebut, memberi kesempatan musuh menyerang kembali dan menguasai wilayah strategis. Kegembiraan awal atas kemenangan berubah menjadi kesedihan yang berkepanjangan akibat kekalahan. Allah kemudian memotivasi umat Islam untuk bangkit dari keterpurukan tersebut.
Menurut Al-Baghawi dalam tafsir Ma’alimut Tanzil, ayat ini berfungsi sebagai dorongan bagi para sahabat Nabi Muhammad untuk terus berjuang dan bersabar dalam menghadapi musibah kekalahan dalam Perang Uhud. Lafaz "وَلَا تَحْزَنُوْا" mengindikasikan larangan bagi umat Islam untuk meratapi peristiwa yang telah berlalu atau terjadi. Sementara itu, kalimat "وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ" mengisyaratkan bahwa umat Islam akan memperoleh pertolongan dan keberuntungan dalam menghadapi serangan musuh di masa mendatang, dengan syarat "اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ," yakni jika mereka benar-benar beriman.
Imbauan ini sangat penting dalam era digital saat ini, ketika media sosial sering kali menjadi tempat bagi remaja untuk mengekspresikan emosi mereka secara berlebihan. Islam, melalui ayat ini, memberikan panduan yang jelas bahwa kekuatan sejati berasal dari iman dan ketergantungan kepada Allah, bukan dari perhatian dan simpati yang diperoleh dari dunia maya. Dalam ayat tersebut, seolah-olah mendorong umat Islam untuk tidak terjebak dalam kesedihan atas peristiwa masa lalu dan untuk tetap kuat dan optimis, yakin akan pertolongan Allah di masa depan. Pengendalian diri yang kuat dan iman yang teguh adalah kunci bagi remaja untuk mengatasi godaan sadfishing. Apabila pola hidup remaja telah menginternalisasi nilai-nilai ini, remaja diharapkan dapat mengembangkan ketahanan mental dan emosional yang lebih baik, sehingga mereka tidak mudah tergoda untuk mencari perhatian dan simpati dari orang lain melalui cara-cara yang tidak sehat.
Dukungan dari pendidikan agama, keluarga, dan komunitas lainnya juga penting dalam membentuk karakter yang mandiri dan percaya diri bagi remaja. Harapannya, mereka dapat menghadapi masalah dengan cara yang konstruktif, fokus pada solusi, dan tidak terpengaruh oleh godaan untuk melakukan sadfishing.
[1] Aisyaroh, N., Hudaya, I., & Supradewi, R. (2022). Trend penelitian kesehatan mental remaja di indonesia dan faktor yang mempengaruhi: literature review. Scientific Proceedings of Islamic and Complementary Medicine, 1(1), 41-51.
[2] Fakhriyani, D. V. (2019). Kesehatan mental. Pamekasan: duta media publishing, 11-13.
[3] Karim, F., Oyewande, A. A., Abdalla, L. F., Ehsanullah, R. C., & Khan, S. (2020). Social media use and its connection to mental health: a systematic review. Cureus, 12(6).
[4] Laka, L., Darmansyah, R., Judijanto, L., Lase, J. F. E., Haluti, F., Kuswanti, F., & Kalip, K. (2024). Pendidikan Karakter Gen Z di Era Digital. PT. Sonpedia Publishing Indonesia.
[5] Saputra, N. A. (2024). Peran Teknologi Informasi dalam Keunggulan Kompetitif. ULIL ALBAB: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 3(6), 113-121.
[6] Putri, C. E., Damayanti, N., & Hamzah, R. E. (2020). Sadfishing phenomenon of# Justiceforaudrey (hashtag) on Twitter. Mediator: Jurnal Komunikasi, 13(1), 58-67.
[7] Putri, C. E., & Hamzah, R. E. (2022). Analisis Fenomena Penipuan Identitas Diri (Catfishing) Pada Literasi Digital Pengguna Media Sosial. KOMUNIKATA57, 3(2), 67-78.
[8] Sanjaya, T., Rasmanah, M., & Fitri, H. U. (2024). Keefektifan Konseling Kelompok Dengan Teknik Cognitive Restrucuring Untuk Mengurangi Sadfishing Pada Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Sosial Dan Konseling, 2(1), 1-7.
[9] Hamzah, R. E., & Putri, C. E. (2022). Fenomena memancing kesedihan di media sosial (sadfishing) pada literasi digital remaja. WACANA: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 21(2), 311-323.
[10] Jargon, J. (2019). Sadfishing, Predators and Bullies: The Hazards of Being ‘Real’on Social Media.
[11] Hamzah, R. E., & Putri, C. E. (2020). Analisis Self-Disclosure Pada Fenomena Hyperhonest Di Media Sosial. Jurnal Pustaka Komunikasi, 3(2), 221-229.
[12] Cahyono, A. S. (2016). Pengaruh media sosial terhadap perubahan sosial masyarakat di Indonesia. Publiciana, 9(1), 140-157.
[13] Abdullah, A. (2019). Perkembangan Sosio-Emosional pada masa remaja. Inspiratif Pendidikan, 8(2), 417-429.
[14] Nurhanifah, N. (2021). Fenomena sensasi di media sosial dan dampaknya terhadap perilaku remaja. JURNAL SIMBOLIKA Research and Learning in Communication Study, 7(2), 116-124.
[15] Wijaya, C., Kusumaningrum, J. R., Nazara, V., & Herlianti, K. P. (2022). Analisis Tindakan Cyberbullying Di Kalangan Remaja. Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humaniora, 1(01).
[16] Ramadani, S. (2021). Pengaruh Sensation Seeking Terhadap Munculnya Cyberbullying (Studi Kasus Terhadap Selebgram Habib Ramadhan, Novi Wulandari Dan Rendy Sudigja) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Riau).
[17] Nurudin, N. (2018). Media Sosial Baru dan Munculnya Braggadocian Behavior di Masyarakat. Komuniti: Jurnal Komunikasi dan Teknologi Informasi, 10(1), 25-36.
[18] Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam hal.409 oleh Ibnu Rajab.
[19] At-Ta’rifaat hal.74 oleh Al-Jurjaani.
[20] AFRIANA, A. (2021). PENGARUH MEDIA SOSIAL DAN KONFORMITAS TERHADAP GAYA HIDUP SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PERILAKU KONSUMTIF (Survey Pada Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Siliwangi Tahun Angkatan 2017) (Doctoral dissertation, Universitas Siliwangi).
[21] Danuarta, G. W., Patrianti, T., Maulana, R. R., & Nugraha, M. F. (2024). Peran Public Relations Dalam Membentuk Persepsi Positif Terhadap Tiktok Shop. Jurnal Mahasiswa Kreatif, 2(1), 264-281.
[22] Rettberg, J. W. (2017). Self-representation in social media. SAGE handbook of social media, 429-443.
[23] Ansori, A. N. (2022, desember 29). liputan6.com. Retrieved from health: https://www.liputan6.com/health/read/5165875/fajar-sad-boy-viral-di-media-sosial-kriminolog-beri-pandangan-soal-sadfishing?page=2
Penulis adalah santri aktif di Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang