Di dalam kehidupan fana ini, seyogyanya sebagai ‘abdullah, kita dituntut untuk selalu meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. Bila kita selalu berusaha untuk meningkatkan taqwa berarti kita sedang berusaha untuk menapaki kehidupan sebagai makhluk yang paling mulia di sisi Allah. Sebagaimana firman Allah:
إن أكرمكم عند الله أتقاكم
"Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu sekalian adalah kalian yang paling bertaqwa."
Predikat itu hanya akan diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang paling bertaqwa. Semakin tingi derajat ketaqwaan seseorang, maka semakin tinggi pula derajat kemuliaannya di sisi Allah. Sebaliknya, seorang hamba yang kadar ketaqwaanya sangat rendah, maka semakin rendahlah derajatnya di sisi Tuhannya. Orang semacam ini, masa depan akhirnya sangat berbahaya.
Senyampang kita masih diberi umur, diberi kesempatan meningkatkan taqwa, kenapa Tidak kita lakukan itu? Sebab bila kita sudah mati, maka kesempatan itu telah sirna. Kita harus mempertanggungjawabkan semua amal yang telah kita lakukan di sebuah pengadilan yang sangat adil. Semua amal maksiat yang pernah dilakukan harus dibersihkan terlebih dahulu dengan panasnya api neraka. Untuk itulah, sebelum terlanjur, marilah kita renungkan kembali sebagian perjalanan hidup yang telah kita lakukan. Sudahkah kehidupan kita sesuai dengan Allah SWT? Sudahkah kita melaksanakan ajaran yang dibawa oleh Baginda Rosul Muhamad SAW? Tentunya masing-masing pribadilah yang bisa menganalisa dan menjawabnya.
Sebenarnya Allah SWT telah menciptakan banyak sekali saat-saat yang bisa kita jadikan momentum untuk melakukan refleksi, meningkatkan kadar ketaqwaan sekaligus memperbanyak tabungan amal kebaikan. Termasuk dengan memupuk rasa cinta (mahabbah) kita kepada Muhammad, Rasulullah SAW.
Para ulama' telah memberi tuntunan, apa yang harus kita lakukan untuk mempertebal mahabbah kita kepada Nabi. Kita, para jama'ah diajak untuk kembali mengenang sejarah kehidupan nabi. Dibacakan semacam syair dan riwayat yang mengisahkan biografi nabi, mulai lahir sampai meninggal. Lewat pembacaan riwayat itu. Kita ketahui bahwa nabi sudah yatim ketika lahir. Dua tahun berikutnya ibunda tercinta, Siti Aminah menyusul kepergian sang suami, ayahanda Muhammad, yaitu Sayyidina Abdulah. Kehidupan yatim piatu yang dialami Muhammad kecil menggerakkan hati kakek tercinta, Abdul Muthollib untuk mengasuh cucunya Namun tidak lama, di usia 6 tahun, nabi harus merelakan kakeknya meninggalkan beliau untuk selama-lamanya.
Dari riwayat yang kita baca, diketahui pula bahwa nabi selanjutnya diasuh oleh pamannya, Abu Tholib sampai usia remaja dan akhirnya menikah pada usia 25 tahun dengan seorang janda dermawan berusia 40 tahun bernama Khadijah binti Khuwailid. Istri yang menyelimuti darinya saat menggigil kedinginan, tubuh gemeteran ketika baru pertama menerima wahyu pertama kali di Goa Hira' pada usia beliau berumur 40 tahun, riwayat itu juga melukiskan bagaimana kemuliaan akhlak nabi, ketampanan, kesederhanaan, keramahan, kesabaran, ketabahan, kejujuran, serta keberanian nabi dalam menyampaikan risalah ilahi kepada kaumnya saat itu. Sampai akhirnya turun ayat terakhir dari wahyu Allah yang isinya pujian, bahwa agama Islam yang dibawa beliau telah sempurna disampaikan kepada umat manusia. Sebagaimana firman Allah:
اليوم أكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسكم دينا
"Pada hari ini, telah aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku sempurnakan kenikmatan-kenikmatan-Ku, dan Aku ridloi islam sebagai agama".
Tidak lama setelah ayat ini turun, nabi dipanggil kembali menghadap Allah, meninggalkan sahabat, istri, puteri, cucu-cucu yang begitu dicintai Rosul terakhir ini. Dunia tertunduk lesu, para sahabat setengah tidak percaya akan kepergian junjungannya. Bahkan Sayidina Umar bin Khattab dengan berlinang air mata, mencabut pedang yang terhunus dengan tangan yan gemetar sembari berteriak lantang di hadapan sahabat yang lain:
"Barang siapa yang menganggap Muhammad telah mati, maka akan aku tebas lehernya."
Tuntunan para ulama yang mengajak kita untuk menembus putaran waktu, mengingat kembali kehidupan dan perilaku mendiang Rosulullah adalah agar kita mengenal dan betapa perjuangan dan pengorbanan nabi untuk merintis jalan kebenaran yang kita rasakan saat ini, dengan penuh jalan berliku. Dari situ, diharap terpatri dalam sanubari terdalam manusia untuk cinta, mahabbah kepada nabi kita, pemberi rahmat seluruh alam.
Telah banyak cerita dan riwayat yang sampai kepada kita menyebutkan, betapa orang yang mencintai Nabi Muhammad, maka dia akan diberi kenikmatan dunia dan akhirat. Adalah seorang Imam Al-Busyiri: seorang tua yang sakit keras, lumpuh tak berdaya. Di tengah sakitnya, beliau teringat akan kebesaran dan perjuangan Rosulullah saw. Sampai akhirnya dia mengarang syair pujian kepada nabi yang kemudian terkenal dengan shalawat burda. Begitu cintanya kepada nabi, Iman Al-Busyiri menganggap nabi sebagai kekasihnya yang telah lama tiada berjumpa. Puisi-puisi Indah yang dia ciptakan menyuarakan suara hatinya yang begitu memendam rindu, ingin segera berjumpa sang kekasih. Dia berdialog dengan dirinya, menangis tersenyum, dan berkeluh kesah sembari menghibur diri dari kesungguhan cinta yang menusuk kalbu.
أمن تذكر جيران بذي سلم # مزجت دمعا جرى من مقلة بدم
Mengapa kau menangis dengan mengalirkan air mata darah. Adakah itu pertanda teringatnya engkau selalu pada kekasihmu yang berada di Dzi salam.
Imam al-Busyiri mengakui, bahwa cintanya kepada Rasulullah adalah sebuah ekspresi kemanusiaan yang tiada mungkin dia tutup-tutupi.
أيحسب الصب أن الحب منكتم # ما بين منسجم منه ومضطرم
Apakah orang yang sedang dimabuk cinta dapat menyembunyikan cintanya diantara tangis derita dan hati yang membara? Mengingkari cinta adalah kesalahan yang amat besar.
Demikian pula, Al-Busyiri menceritakan bagaimana tersiksanya karena cintanya yan amat menghentak dalam jiwanya, kesempatan bertemu hanya dalam mimpi.
نعم سرى طيف من أهوى فأرقني # والحب يعترض اللذات بالألم
Ketika terlihat wajah kekasihku dalam mimpi, aku terbangun ketakutan. Sehingga susahlah diriku untuk memejamkan mata sekali lagi. Hati terasa pedih karena tak dapat berjumpa dengannya, memang cinta menghalangiku dari kegembiraan dan kenikmatan.
Syair-syair al-Busyiri terus mengalir hingga mencapai 162 bait. Syair-syair yang beliau ciptakan sebagai ungkapan mahabbah kepada kekasihnya, yang juga kekasih Allah. Dalam kitab Hashiatul Bajuri diceritakan: seusai merampungkan gubahan syair itu, dalam tidurnya Imam al-Busyiri bermimpi bertemu dengan nabi. Dalam mimpinya Imam al-Busyiri merasa diberi selimut surban yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan nama BURDAH. Dan keajaiban pun terjadi, ketika terbangun berkat kuasa Allah Imam al-Busyiri langsung bisa berdiri, sembuh dari penyakit lumpuhnya.
Itulah fadlilah, keutamaan orang yang sangat mencintai nabinya. Berangkat dari sini, marilah kita semua bisa meningkatkan mahabbah, rasa cinta menjadi baginda Rosulullah. Bentuk mahabbah kepada Rosullulah bisa ditunjukkan dengan berbagai cara. Pertama, memperbanyak baca serta mengerti perjalanan hidup dan kehidupan nabi. Kedua, banyak membaca sholawat. Sebagaimana yang disabdakan oleh Sayidina Aisyah r.a.:
من أحب النبي عليه والسلام أكثر من الصلاة عليه وثمرته الوصول إلى شفاعته وصحبتة في الجنة
Orang yang mencintai nabi alaihi salam adalah orang yang paling banyak membaca shalawat kepada beliau. Dan balasannya, dia akan mendapatkan syafa'at serta bersama-sama nabi nanti di surga.
Ketiga, menjalankan sunnah, seruan, larangan, serta tingkah laku keseharian nabi yang telah dicontohkan kepada kita. Dari Sahabat Anas, Nabi bersabda:
من أحب سنتي فقد أحبني ومن أحبني كان معي في الجنة
Barang siapa yang mencintai sunnahku, maka dia akan mencintaiku. Dan barang siapa yang mencintaiku maka dia akan bersama saya di surga.
Di bulan kelahiran Rasulullah saw, Semoga kita senantiasa mendapatkan hidayah dari Allah dengan selalu menjaga rasa mahabbah kita kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga dari mahabbah itulah, kita bisa meningkatkan ketaqwaan kita yang akhirnya kita akan bersamanya menikmati keindahan dan kenyamanan surga. Amin ya Robbal 'alamin.
*) Disalin dari tulisan KH. Ahmad Arif Yahya di Majalah MIFDA edisi 07/Thn.III/Oktober-Desember 1996 M
Penulis adalah Kepala Madrasah Diniyah Salafiyah Mathali’ul Huda, Pondok Pesantren Miftahul Huda, Malang