Lalu lalang santri Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading pulang pergi sudah pasti melewati jalur ini. Kecuali kalau sudah maghrib sudah terkunci. Jalur yang dilewati selain gerbang tengah ini tepatnya berada di sepanjang belakang kantaor bawah memanjang sampai belakang komplek C. Bisa jadi jalur alternatif dan favorit. Bagaimana tidak lorong yang berukuran lebar kurang lebih 1,5 meter itu kini tampak berbeda dari sebelumnya.
Dahulu terlihat kumuh. Alpard roda dua (baca: gerobak sampah) pondok yang sehari-hari mengangkut sampah biasa mangkring disitu, nampak sesak. Belum lagi tumpukan sampah yang menggunung dari bak-bak sampah akumulasi kiriman dari beberapa komplek. Kadang absen kirim ke TPS sehari saja sudah membuat mata risih. Tambah lagi, sepeda motor yang nakal berjubel parkir disepanjang lorong. Pemilik motor yang katanya hanya sebentar masuk mampir pondok, adalah alasan klasik santri parkir di situ; sebentar mengambil sesuatu, sebentar kekamar mandi, atau sebentar-sebentar makan.
Kini terlihat menyejukkan ketika mata memandang. Ada rak tingkat di belakang komplek C. Sederhana memang. Hanya terbuat dari kayu yang alasnya dari bilahan bambu yang dipaku. Kemudian ditaruh bunga-bunga dan tanaman hijau di antaranya bunga mawar, puring, dan gelombang cinta. Sedangkan di sisi ujung dekat dengan jalan atau belakang kantor bawah lebih menawan lagi dengan pot yang menempel pada dinding memanjakan mata. Ada yang dari pot sungguhan, ada yang dari kreatifitas santri sendiri dari botol aqua bekas.
Tak perlu mewah untuk tampilan indah. Itu kalimat yang pas disematkan seksi kebersihan dan perlengkapan yang enggan namanya dipublikasikan. Dari sini kita bisa memulai dan mengubah presepsi publik. Bahwa pondok pesantren itu kumuh, serabutan, amburadul, kolot, atau apalah. Stigma negatif itu bisa saja benar bisa juga tidak, tergantung kepada kita sendiri sebagai santri; mau diapakan lingkungan kita. Terlebih hal terkecil pribadi diri kita sendiri sebagai santri.